Oh, Tuhan, seberat apa sesungguhnya beban hidup keluarga Kadek Artaya? Apakah memang sungguh-sungguh berat, sehingga hanya kematianlah yang bisa membuatnya jadi lebih ringan?
Kadek Artaya (35) bersama istrinya, Kadek Suciani, serta dua anak mereka Putu Wahyu Adi Saputra (7) dan Kadek Dwi Cahya Putri (3), ditemukan meninggal di rumahnya di Banjar Jro Kuta, Desa Bondalem, Kecamatan Tejakula, Buleleng, Kamis 23/2/2017, pagi. Mereka diduga bunuh diri secara bersama-sama dengan cara minum cairan pestisida.
Keluarga itu adalah keluarga sederhana. Dilihat dari tempat tinggalnya, mereka bukanlah keluarga amat miskin, meski tak bisa juga disebut kaya. Tapi tampaknya karena sakit yang diderita ibu dan anak secara bergiliran, mereka pun putus asa. Hidup mulai terasa berat.
Tak jelas apa sakitnya, namun disebutkan sang ibu kerap batuk-batuk dan tak kunjung sembuh. Batuk juga menyerang anak pertamanya, Adi Saputra. Bahkan bocah malang yang sudah masuk TK itu sempat menjalani rawat inap di RSUD Buleleng.
“Batuknya gantian, setelah ibunya, disusul anaknya. Ibu sembuh, anak sakit lagi, terus-terusan seperti itu,” cerita Made Suardana (52), ayah dari Kadek Artaya.
Untuk sementara, disimpulkan keluarga itu bunuh diri lantaran putus asa akibat sakit yang tak kunjung sembuh. Mereka diduga minum cairan pestisida dicampur minuman ringan.
“Diduga karena sakit tak kunjung sembuh, kemudian korban putus asa dan akhirnya bunuh diri dengan cara meminum racun pestisida yang di campur minuman, hingga satu keluarga yang berjumlah empat orang itu meninggal,” Demikian kata Kapolsek Tejakula AKP. Mangku Putu Yasa.
Seberat Apa Hidup Ini?
Apa sesungguhnya yang berat dalam hidup ini hingga bunuh diri harus dipilih sebagai cara untuk mati?
Bagi keluarga Kadek Artaya, batuk yang tak kunjung sembuh adalah satu hal yang membuat beban hidupnya jadi berat. Mungkin sebagian besar penghasilannya sebagai buruh serabutan habis untuk biaya pengobatan, tapi sakit selalu datang lagi dan sulit disuruh pergi.
Terasa lebih berat lagi apabila mereka tak menemukan jalan keluar, tak banyak tempat berbagi, tak banyak tempat untuk meminta pertimbangan. Maka, dianggap putuslah seluruh asa.
Keputusasaan menciptakan keberanian untuk memilih mati dengan sengaja, bukan hanya keberanian untuk bunuh diri sendiri, tapi bunuh diri bersama orang-orang yang dicintai.
Johann Gottlieb Fichte, seorang filsuf dari Jerman, mengatakan orang membutuhkan keberanian besar untuk mengakhiri hidupnya. Namun dibutuhkan keberanian yang lebih besar lagi untuk menjalani hidup dengan segala jatuh bangunnya.
Dan, Plato, filsuf Yunani, mengatakan tindak bunuh diri adalah tanda bahwa orang tidak melihat keluhuran kehidupan. Namun, ia tidak menolak bunuh diri ketika kehidupan justru menciptakan penderitaan besar yang tak tersembuhkan. (T/sumbangan data: hardiyanta)