SIAPA yang percaya ada janji cinta setia sepasang suami-istri hinga maut menjemput? Janji setia, bahwa mereka hidup bersama dalam suka maupun duka dan kemudian mati pun bersama?
Tentu ada yang percaya. Tapi banyak juga yang tidak.
Kisah-kisah romantis semacam itu biasanya ada dalam dongeng, drama, dan lakon-lakon seni pertunjukan. Dalam kenyataan, janji yang diucapkan mungkin ada, tapi apakah janji itu ditepati, siapa yang tahu.
Percintaan memang penuh bumbu penyedap. Bumbu itu biasanya kata-kata “Aku tak bisa hidup tanpamu”, dan “Aku berjanji akan sehidup semati denganmu”. Ah, memang kedengaran seperti dalam dongeng atau dalam roman-roman picisan.
Tapi, tunggu dulu. Di desa saya, di Desa Pakraman Yehtengah, Kelusa, Payangan, Gianyar, ada bukti bahwa pasangan yang saling mencintai bisa sehidup-semati. Hidup bersama dalam segala suka dan segala suka, kemudian meninggal bersamaan dan jasadnya diupacarai bersama-sama.
Ida Cokorda Gede Raka (70) dan Anak Agung Niang Alit (68) adalah sepasang suami istri dari Puri Yehtengah, Kelusa, Payangan. Setelah menjalani hidup bersama penuh kasih dan cinta, seakan berjanji, mereka menghembuskan nafas terakhir dalam waktu yang hampir bersamaan.
Pasangan suami-istri itu adalah orang tua dari seorang undagi barong, Ida Cokorda Gede Suparsa atau biasa dikenal dengan sebutan Cokorda Barong. Pasangan petani itu berjuang bersama dengan sakit yang mereka derita sejak satu tahun lalu.
Diawali dengan sakit berkepanjangan yang diderita oleh sang istri, disusul kemudian sakit yang diderita oleh sang suami. Tepat pada Sabtu, 11 Februari 2017 Anak Agung Niang Alit menghembuskan napas terakhirnya di Puri Yehtengah.
Tidak ada yang menduga bahwa sang istri akan mendahului sang suami, karena dalam waktu bersamaan sang suami, Ida Cokorda Raka, masih terbaring lemas melawan sakit di Rumah Sakit Prima Medika, Denpasar.
Keluarga Puri pun bergegas menyiapkan upacara palebon Gung Niang Alit. Berdasar pada hari baik, palebon digelar Rabu 22 Februari. Di tengah persiapan upacara, tepatnya Jumat 17 Februari, Ida Cokorda Gede Raka menyusul menuju tempat peristirahatan terakhir.
Rentetan peristiwa sedih itu memang menyakitkan dan mencengangkan bagi anggota keluarga Puri Yehtengan. Namun Tuhan memberi jalan bagi mereka berdua untuk “berjalan bersama”. Tidak ada kata lain selain iklas yang harus diucapkan di balik rasa sedih dan tetesan air mata keluarga Puri Yehtengah.
Jalan menuju kematian memang tidak pernah diketahui. Namun kisah lebarnya Ida Cokorda Gede Raka dan Anak Agung Niang Alit seakan memberikan cerminan terhadap cinta dan kesetiaan. Mungkin peristiwa itu hanya kebetulan, namun harus dipercaya bahwa setiap kebetulan selalu memberikan pelajaran sekaligus makna-makna..
Di Bali ada istilah “Semaya Pati”. Artinya, sepasang kekasih atau suami istri berjanji akan bersama-sama selalu sampai maut menjemput. Mereka berjanji bersama dalam hidup, berjanji bersama juga dalam kematian.
Ida Cokorda Gede Raka dan Anak Agung Niang Alit, mungkin tak pernah mengucapkan janji dari bibir mereka untuk melakukan “Semaya Pati”. Tapi kekuatan cinta, ketulusan untuk saling melayani, saling berbagi, saling menyayangi, adalah janji yang amat kuat, meski tak terucapkan. Rasa kuat saling mencintai bisa menjadi janji teguh, dan Tuhan mengabulkan janji mereka.
Dan kekuatan cinta yang mereka berdua miliki tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sangatlah luar biasa seperti mengikar janji suci sehidup semati dengan ketulusan hati.
Sepasang kekasih abadi itu diupacarai Rabu 22 Februari 2017 secara bersamaan. Mereka berdua diantarkan menuju peristirahatan terakhir dengan penuh kedamaian dan kebahagiaan. Dengan satu wadah bade dan satu petulangan lembu hitam, beliau berdua diantarkan menuju sunialoka.
Setiap orang memiliki kisah cinta namun tak seperti mereka, yang selalu berdampingan hingga maut menjemput. Kesederhanaan yang membalut segala sisi kehidupan mereka telah menunjukkan pandangan di mana cinta tak harus dibubuhi dengan materi semata.
Kepergian pasangan itu seakan mendedahkan kisah yang harus bisa kita pahami. Mulai dari kekuatan yang menyatukan mereka hampir 40 tahun lamanya sampai jasad mereka dibakar oleh kobaran api tanpa bekas yang membara menuju kehidupan yang sesungguhnya.
Seperti yang diujarkan Cokorda Gede Supasra: “Ada Pertemuan maka akan ada perpisahan”. Ujaran itu mencerminkan keihklasan menghadapi kepergian ajik dan biang yang ia sayangi. Memandang semuanya dengan ketegaran jiwa dan raga, logika dan nalar, yang menyatu dalam kisah kehidupan yang begitu banyak menyimpan kenangan dan amanat bagi orang-orang disekelilingnya.
Yang bisa kita pahami dari semuanya adalah perjalanan kisah cinta yang berhakhir bersama sampai maut memisahkan. Jadi, jika memiliki pasangan janganlah pernah menyakitinya dengan tidak menepati janji yang sudah diucapkan. Karena apabila kalian ditinggalkan oleh pasangan kalian, itu akan meninggalkan kesedihan, dan tak akan mudah kalian dapatkan kembali pasangan seperti mereka. (T)