20 April 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai
Foto: Ist

Foto: Ist

Thukul dan Paradoks Kata-kata

Raudal Tanjung Banua by Raudal Tanjung Banua
February 2, 2018
in Esai
19
SHARES

HILANGNYA penyair Wiji Thukul tidak membuat hal-ihwal menyangkut dirinya ikut lenyap. Justru ia makin mengendap di memori kolektif kita. Fisik-wadag-nya boleh saja sudah tak terlihat di pentas-pentas kampung, di komunitas-komunitas pinggiran atau arena massa, ketika dulu ia menyair dalam kesumpekan rezim Orba.

Kita tahu, senjakala kekuasaan rezim tertua di Asia Tenggara ini, diwarnai penculikan para aktivis, dan Wiji Thukul adalah salah satu mangsanya. Ia beserta sejumlah korban lainnya sampai saat ini masih berstatus sebagai “orang hilang”, meski rezim terus berganti, status itu tetap tak terganti.

Namun, selain namanya harum, hal lain yang muncul pasca-hilangnya Thukul ialah suara-suara kritis dalam karyanya. Puisi-puisinya terus mencuat di arena massa, tak bisa dibendung, persis baris paling populer darinya, “hanya ada satu kata: lawan!”

Puisinya lalu terbit secara lengkap dan yang belum terpublikasi lantas beredar luas. Buku kumpulan puisinya terbit secara anumerta, Aku Ingin Jadi Peluru (Indonesia Tera, 2000) dan majalah Tempo pernah membuat sisipan puisi yang ditulis Thukul selama pelarian.

Di luar karyanya sendiri, juga ada karya orang lain atau “para pihak” [sich!] yang didedikasikan untuk Thukul. Saya ingat, malam sebelum gempa besar menggoncang Yogya dan Klaten, 2006, para pecinta sastra dan aktivis menggelar acara mengenang Thukul di Galeri ISI Yogyakarta. Mbak Sipon, istri Thukul, hadir menyampaikan orasinya, dan Nganthi Wani membacakan puisi bapaknya.

Acara serupa tentu banyak untuk disebutkan.Pada awal 2017 ini, muncul sebuah film yang berangkat dari, dan didedikasikan untuk, sosok Wiji Thukul. Film itu ialah Istirahatlah Kata-kata, sutradara Yosep Anggi Noen.

***

Tapi tunggu dulu. Dua judul di atas, saya rasa kontras dengan sosok Wiji Thukul. Pada buku Aku Ingin Jadi Peluru, rasanya kok kurang pas Wiji Thukul justru ingin jadi peluru (yang notabene simbol militerisme). Bukankah selama ini ia menolak militerisme? Saya tidak tahu apakah judul bukunya itu berasal dari salah satu puisi si penyair atau pemberian penyunting atawa penerbit.

Lalu, pada Istirahatlah Kata-kata, saya merasa belum saatnya. Kata-kata masih dibutuhkan untuk terus tegak-berjaga di tengah kemaruknya situasi yang tidak kunjung membaik pasca ambruknya Orba. Apalagi kata-kata dalam konteks puisi Wiji Thukul yang kritis dan sarat perlawanan, pastilah tidak mengenal kata istirahat apalagi tidur.

Menjamurnya puisi-puisi cinta, kafe dan hujan belakangan ini, bukankah karena kata-kata sudah minta istirahat dan bobok sebelum waktunya? Sudah menuai sebelum khatam menanam? Belum dalam mengenal tekstur kertas lalu meraba mulus layar gadget lalu meluncurkan buku puisi yang isinya masih terkantuk-kantuk?

Namun karena ini berlangsung di tataran kesenian yang memiliki ambigusitas, tafsir dan arbitrasi, saya cobalah untuk belajar memahami. Jangan-jangan peluru yang dimaksud di sini adalah kata-kata yang secepat dan setajam peluru. Setidaknya semangat Reformasi 98 setara dengan vitalitas Chairil Anwar pada masa Revolusi 48 yang bilang “Aku ini binatang jalang…Biar peluru menembus kulitku…Aku tetap meradang, menerjang…”

Bisa pula peluru dimaknai sebagai amunisi rakyat, alat pertahanan negara (baca: alutsista) yang dibeli dengan pajak rakyat, karena itu jangan hamburkan sembarangan, apalagi buat nembak rakyat sendiri. Tembaklah sasaran yang tepat, setepat kata-kata dalam puisi gugat.

Kemudian Istirahatlah Kata-kata, saya pikir-pikir akhirnya juga tak salah. Kadang di tengah semua orang sudah pandai berkata-kata, tak hanya lewat lisan, juga tulisan yang tayang di medsos, yang penuh sesak, kata-kata sejati memang saatnya menyisih, mengambil ruang sunyi, jeda. Toh penyair juga manusia, butuh tidur atau mengaso.

Ini juga dilakukan Wiji Thukul. Tak lama setelah penyair pelo itu dinyatakan hilang, saya pernah berkunjung ke rumahnya di Solo, bertemu istrinya, Mbak Sipon. Mbak Sipon cerita, waktu Thukul dalam pelarian, ia masih sempat pulang dan sehari-hari ngendon di kamar, membaca dan istirahat—semacam jeda istimewa.

Ketika menjadi buruh pabrik, hari liburnya juga diisi dengan tamasya sederhana dengan keluarganya. Lebih dari itu, ketika wawancara saya untuk Jurnal Selarong berlangsung, Mbak Sipon saya lihat cukup tenang dan tak sungkan tertawa. Rasa sedihnya hanya terlihat sesekali, selebihnya ia tampak biasa, seolah ia sedang jeda dari situasi yang kalut atas hilangnya suami tercinta.

***

Kini, film Wiji Thukul—satu-satunya film tentang penyair Indonesia, setahu saya, setelah film Chairil Anwar yang digarap Sjumandjaja gagal—hadir di hadapan kita semua. Saya tidak tahu apakah kita nanti akan mendapati gairah percintaan Neruda dan romansa Chili seperti dalam film Il’postino, misalnya.

Apakah Hilmar Farid, rekan Thukul di Jaker, yang kini jadi Dirjen Kebudayaan dihadirkan? Juga Budiman Sudjatmiko, rekan separtai-se-PRD yang kini jadi wong parlemen dan sibuk mengurus undang-undang desa. Atau Halim HD, orang yang setia mendampingi Thukul di komunitas pinggiran dan sampai sekarang masih tetap setia tegak di pinggir? Apakah ada Fajar Merah dan Wani, sepasang buah hati Thukul yang paling terpukul dalam realitas hidup sehari-hari, pun Mbak Sipon?

Saya belum tahu. Saya menunggu diputar perdana nanti bertepatan dengan—kebetulan—hari lahir saya, 19 Januari. Tapi saya tahu sedikit tentang pelakon utamanya, yakni Gunawan “Cindhil” Maryanto. Nah, terhadap sosok pelakon ini, beberapa waktu lalu saya sempat membuat status di laman facebook saya. Izinkan saya kutip saja seutuhnya.

“Entah kenapa sy suka membayangkan (dan membandingkan) andik vermansyah dg gunawan ‘cindhil’ maryanto, terutama sepanjang timnas indnesia berlaga di aff suzuki ’16. Lebih krn kemiripan postur tubuhnya, keduanya memiliki keuletan dlm profesinya masing2. Andik di sepakbola, cindhil di kesenian. Keduanya punya skill personal yg mumpuni, sekaligus kuat dlm kerja kolektif.

Andik lincah n ciamik mngolah si kulit bundar, cindhil kreatif mengolah gerak n kata. Andik bbrapa kali ikut mmbela timnas hingga cidera di leg pertama final, cindhil dg ‘tim’ garasi-nya mmbwa karya2nya dlm brbagai forum/iven intrnsional (jika kita sepakat bhwa olahraga n kesenian sama pentingnya bagi bangsa).

Tak kalah menarik adalah proses kedua sosok ini yg relatif hening, jauh dari sorak, tp setapak demi setapak menuai hasil. Ketika sepakbola tanah air gonjang-ganjing, terutma saat dibekukan, andik ttp brthn di klub, sampai ia dipinang salah satu klub di jepang, lalu di selangor.

Cindhl bertahun2 mengembngkan diri di teater mnempuh masa2 sulit, sambil prlahan mengolah potensinya di sastra, dan dg kesabarn seorang aktor pula, baru era skrg ia main di film yg aktingnya sbi wiji thukul dipuji bnyak org. Artinya, utk ke sstra n film cindhl jalan brtahap, meski sedari awal teater amat dkt dg sstra n sinema dan peluangnya trbuka.

Demikianlah, andik n cindhil dua sosok yg layak diapresiasi (mewakili apresiasi atas yg lain) saat timnas siap brlaga lawan thailand nanti malam, saat kesenian n kebudayaan indnesia bergulat dg gencarnya serbuan imprealisme dan primordialisme ‘estetika’ dari mana2…semoga timnas brjaya, hiduplah kesenian kita!”

Meski kedua sosok ini, Cindhil dan Andik, banyak kesamaannya, tapi jangan sampai anda salah tujuan. Kalau mau nonton Andik, datanglah ke stadion (saat ini hanya beredar di Malaysia), kalau mau nonton Cindhil datanglah beramai-ramai ke bioskop kesayangan anda (mudah-mudahan beredar di seluruh Indonesia). Selamat menyaksikan! (T)

 

Tags: filmGunawan MaryantoPuisisastrawiji thukul
Raudal Tanjung Banua

Raudal Tanjung Banua

Lahir di Sumatera Barat, pernah merantau ke Bali dan kini tinggal di Yogyakarta. Menulis cerpen dan puisi sembari mengelola Komunitas Rumah Lebah, Penerbit Akar Indonesia, dan Jurnal Cerpen Indonesia.

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi dari penulis
Dongeng

Si Manusia Kodok

by I Ketut Suar Adnyana
April 17, 2021
Foto: koleksi Surya Pratama
Opini

Guru Inspiratif Masa Kini: Pemberi Nilai Kehidupan, Bukan Sekadar Nilai ABCD

GURU, diketahui atau tidak, disadari atau tidak dan diakui atau tidak, merupakan salah satu sosok yang paling berpengaruh bagi setiap ...

February 2, 2018
Lukisan Nyoman Erawan
Puisi

Iwan Setiawan# Laila O Laila, Kita Masih Sepasang Bocah

LAILA O LAILA di kota kecil dekat kebun anggur yang ranum kutumbuhi jendela-jendela angin untuk menghambur di segala sisi, airmata ...

February 2, 2018
Drama Gong. (Foto: Widnyana Sudibya)
Esai

“Raja Muda” dan “Raja Buduh” dalam Budaya Politik Kita #Kolom Made Metera

BUDAYA politik dimaksudkan sebagai pola prilaku yang dihayati masyarakat berkaitan dengan pemerintahan, hukum, dan kehidupan bernegara pada umumnya. Teater tradisional ...

November 6, 2018
Sumahardika
Esai

Lima Tahun Kalangan, Setelahnya Adalah Apa?

Mari berandai-andai jika suatu saat sebuah kelompok teater sudah tak lagi memproduksi pertunjukan, masihkah bisa kita sebut sebagai kelompok teater? ...

February 13, 2021
Oka Sudarsana, Ari Wicaksana dan Marlwe Bandem dalam workshop animasi di Taman Budaya Denpasar
Kilas

Kegagalan Belajar Animasi: Semangat Hanya Seminggu, Setelah itu Jenuh…

  Konsistensi dan ketekunan merupakan tantangan anak muda untuk terjun di industri animasi. Padahal konsistensi dan ketekunan merupakan modal terjun ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Dok Minikino | Begadang
Acara

[Kabar Minikino] – Indonesia Raja 2021 Resmi Diluncurkan Untuk Distribusi Nasional

by tatkala
April 17, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Esai

Gejala Bisa Sama, Nasib Bisa Beda

by Putu Arya Nugraha
April 13, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (69) Cerpen (163) Dongeng (14) Esai (1456) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (11) Khas (353) Kiat (20) Kilas (203) Opini (481) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (10) Poetry (5) Puisi (108) Ulasan (343)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In