MASKOT sekolah di Bali Dewi Saraswati. Patung megah dewi ilmu-pengetahuan dibangun di hampir setiap sekolah. Warga sekolah memuja dewi ilmu. Ironisnya, Saraswati seakan dibuat mati, tidak diaktualisasi dalam belajar dan mencintai ilmu.
Kecantikanya sepertinya tidak mampu menarik minat cinta siswa terhadap ilmu dan belajar. Belajar sebagai paksaan dan bukan cinta penuh gairah setiap insan sekolah. Ilmu, pengetahuan, dipahami sebatas teori dan hafalan. Berkah ilmu bagi harkat dan martabat kemanusiaan sebagaimana termaktub dalam surat pendek Albert Einstein (1938) dan kebijaksanaan yang ditawarkan karena menjadi api bagi kehidupan manusia, tidak pernah tercapai.
Ilmu dan pengetahuan tidak bertuah sebagaimana ungkapan Foulcault, pengetahuan itu kekuasaan. Siswa mengetahui plastik terurai setelah ratusan tahun namun tetap membuang plastik sembarangan. Pelajaran di sekolah tidak mampu membentuk tindakan siswa sejalan dengan pesan aksiologi ilmu apalagi cara kerja ilmu (epestemologi). Hubungan segitiga logika, sikap, dan tindakan-nyata terhenti pada ingatan dangkal atau hafalan tes pilihan ganda.
Sekolah tidak sepenuhnya lembaga ilmu memang, lebih cocok sebagai lembaga belajar formal administrasi belajar. Di sekolah, belajar diformalkan, sistematis, dan politis. Hakikat belajar otentik dalam kehidupan hilang sama sekali. Peran guru mengalami dekadensi dan stagnasi. Para guru menderita berbagai persoalan jiwa, seperti merosotnya dedikasi yang tampak dalam ketidakberdayaan menjalin hubungan humanis dengan para murid.
Dewi Saraswati kurang tepat sebagai maskot belajar. Yang lebih cocok, Krisna dan Arjuna ketika berdialog panjang dalam Bhagavad-gita. Krisna guru dan Arjuna murid. Krisna menuntun Arjuna pemberani (bertindak) namun bertolak belakang dengan tindakan guru dewasa ini, mendidik siswa jadi penakut dan patuh.
Guru merasa profesional setelah menginformasikan hal teknis dan teoretis, minus tindakan nyata. Karena kegelapan jiwa para guru, tidak terjangkau olehnya mengembangkan kesadaran diri siswa atas hidup otentik. Seluruh pertanyaan guru kepada siswa, hafalan, ingatan dangkal, tingkat terendah aktivitas berpikir manusia menurut taksonomi Bloom, disampaikan dengan retorika intimidasi. Jangan harap siswa menerima tawaran berpendapat mengenai filosofi eksistensi dalam Bhagavad-gita, “Tidak pernah ada suatu waktu dimana Aku tidak ada […] (seloka II.12) atau “Apa yang tidak ada tidak pernah akan ada. Apa yang ada tidak pernah tidak ada […]” (seloka II.16].
Guru berceramah sepanjang hayat dan siswa pasif tetapi Krisna menyampaikan pengetahuan suci, lewat percakapaan. Memang segala alasan dimiliki para guru bergeming pada ceramah. Segi politik pendidikan, administrasi rumit, dan jumlah siswa terlalu banyak, membenarkan hal itu. Dalam ceramah otoriter, ilmu dan pengetahuan mengalami instanisasi.
Pengetahuan instan tidak mampu mengubah apapun sehingga sekolah menerima “gugatan” sosial, para tamatan tetap saja “bodoh”. Untuk membuat Arjuna bangkit atau bertindak, perintah tidak diperlukan oleh Krisna. Namun sebaliknya bagi sekolah. Guru seakan tukang perintah.
Krisna memadukan konsep (pengetahuan tertinggi), sikap (keyakinan), dan tindakan otentik untuk membangkitkan Arjuna. Jika akhirnya Arjuna bertindak dalam perang besar di antara para sanak saudara, bukan karena perintah tetapi tuah pengajaran yang diterimanya dari Krisna. Kiranya tujuan akhir pendidikan: menyiapkan siswa hidup di dunia nyata di atas landasan integrasi pikiran, hati, dan tangan/kaki. Keadaan ini disebut inkulturasi oleh Romo Driyarkara.
Proyek perbaikan mutu pendidikan, dari sertifikasi guru berbagai perubahan kurikulum hingga Kurikulum 2013, belum mampu memotong lingkaran setan: tujuan belajar naik kelas dan lulus, ditentukan oleh kemampuan siswa menjawab soal tes objektif.
Terhadap hal ini, kata Krisna kepada Arjuna, “Hanya pada pelaksanaan engkau mempunyai hak dan tidak sama sekali pada hasilnya” (Bhagavad-gita, seloka II.47), bisa dijadikan dasar. Guru mengambil peran besar pada proses belajar dan sekaligus menjadi bagian dari proses itu.
Bukan sebaliknya, guru menggiring siswa mengabaikan proses, mencapai hasil belajar daftar angka (nilai), wujud nyata orientasi pembelajaran pada hasil. Pernyataan Krisna bertentangan dengan landasan belajar berkiblat pada tujuan dangkal. Seharusnya, tujuan belajar berkiblat pada pengalaman otentik unggul.
Otoritas dan kegelapan jiwa guru juga sangat buruk bagi pendidikan. Guru mengintimidasi siswa atas nama disiplin visi hampa, mengambil seluruh waktu untuk berceramah, memberi rasa bosan dan muak siswa sehingga siswa bisu, apatis.
Namun Krisna Guru Agung menjadikan Arjuna kritis terhadap dirinya, “Jika Engkau menganggap bahwa jalan pengetahuan lebih mulia dari jalan perbuatan, mengapa Engkau mendesak aku untuk melakukan perbuatan yang biadab ini, O, Krisna?” tanya Arjuna (Bhagacad-gita, seloka III.1).
Sedikit dari mutiara pendidikan yang berkilauan dalam Bhagavad-gita yang diacu esai ini, untuk menunjukkan, pemilihan Dewi Saraswati sebagai maskot pendidikan (di Bali) kurang relevan jika dibandingkan dengan hubungan Krisna dan Arjuna dalam Bhagavad-gita. Krisna dan Arjuna, hubungan guru dan murid yang dinamis. Seperti itulah sedikitnya guru mengajar di kelas. Ketika guru merasa sudah bekerja keras dengan “ngomong” satu kali namun ternyata murid bergeming, sehingga tidak perlu lagi “ngomong” kedua, ketiga, dan seterusnya.
Guru sekaliber Krisna membutuhkan 700 seloka, untuk membuat Arjuna bertindak. Semua siswa tahu kebenaran ilmu namun menjadikan siswa meyakini kebenaran ilmu, membutuhkan kerja keras guru sehingga pengetahuan dan keyakinan atas kebenarannya berubah menjadi energi bagi siswa dalam bertindak. Di situlah peran guru, membangun keyakinan sehingga siswa memetik berkah pengajaran: senyawa teori, sikap, dan tindakan pada dirinya. (T)