MOBIL Pusling (perpustakaan keliling) Perpustakaan Kota Denpasar tampak parkir di bawah tenda putih. Sejumlah buku tampak bersusun kurang rapi di dalam mobil tersebut. Dari buku anak-anak hingga filsafat ada di sana, tapi tempatnya acakadul, jadi cukup sulit untuk mencari buku yang diinginkan.
Tenda sebelahnya sejumlah meja panjang berbungkus kain putih, satu di antaranya berbaris buku fotokopian, bersampul plastik, koleksi Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kota Denpasar. Buku yang dipamerkan seluruhnya berbahasa Belanda dan Inggris (merupakan hasil riset orang Belanda saat tiba di Bali).
Di pojok meja satu spanduk berukuran kecil berisi keterangan tentang perpustakaan terpasang sekenanya. Juga tampak sejumlah origami burung warna-warni tergantung di atas atap tenda.
“Kok buku yang dipajang tidak ada terjemahannya, Pak?” tanya saya kepada petugas stan yang saat itu mengenakan jas endek berwarna merah marun.
“Iya, terjemahannya ada di Perpustakaan Nasional, Jakarta. Kalau mau ke sana saja lihatnya,” jawabnya sambil tertawa.
“Lalu buat apa buku ini dipamerkan, kan pengunjung tidak mengerti bahasanya, Bapak memang bisa bahasa Belanda, bisa terjemahin ini?” tanya saya sambil menyodorkan satu halaman buku yang menampilkan gambar acara ngaben di Denpasar.
“Susah bahasa Belanda, kayak guten tag, guten morgen, susah, Dik,” jawab petugas sejurus tertawa lebar (maksudnya agar lucu)
“Itu bahasa Jerman, Pak, saya belajar sedikit dulu saat kuliah,” sambar saya dengan ketus.
Heniiiiing……
Sederhana dan kurang persiapan begitulah kesan saat saya berkunjung ke stand yang berada di depan Pura Jagatnatha tersebut. Sepertinya stand (sekali lagi) Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Kota Denpasar memilih menyunyi sendiri dari kemeriahan Denpasar Festival (Denfest) ke-9, pada 28-31 Desember 2016 itu.
***
Sementara di pameran kuliner, beberapa stan benar-benar mempersiapkan segalanya dengan matang, Kuliner nasi tekor contohnya begitu memukau dengan pernak-pernik kelampauannya. Saat memesan makanan di sana, saya jamin pengunjung langsung merasakan atmosfer masa lalu yang pekat. Dindingnya bedeg bambu warna coklat, tempat duduknya kayu berumur, gelas bercorak hijau putih, ceret air tanah liat, dan sejumlah tumpukan kayu ditata sedemikan rupa menguatkan kesan dapur tempo dulu. Ciamik.
Ada pula stan fashion yang berlomba menyusun produknya sedemikian cermat, tidak tanggung-tanggung lemari display berlampu LED digotong pemiliknya, agar terlihat menarik di mata calon pembeli. Warna-warni produk endek, baju, kamen, keben, kerajinan perak, serta sejumlah produk lainnya menambah suasana festival menjadi kian semarak.
Belum lagi segala hiburan yang disajikan panitia, mulai dari pementasan musik, operet, hingga tarian tradisional pun turut andil dalam rangka meriuhkan suasana beberapa hari sebelum pergantian tahun.
Tanda tanya besar nyangket di kepala saya, kok stan Perputakaan Kota Denpasar terkesan ala kadarnya? Kok tidak ditempatkan di area utama? Kok begitu saja? Kok tidak megah? Kok tidak aeng? Dan pertanyaan kok lainnya.
Padahal keberadaan perpustakaan yang menghadirkan koleksi buku terlebih lagi buku yang berkaitan langsung dengan sejarah kota Denpasar sangat penting. Agar masyarakat tahu hakikat, asal-muasal, seluk-beluk kotanya sendiri. Apalagi jika penyajiannya keratif, menarik dan inovatif tentu pengunjung jadi senang, Pulangnya tak hanya bawa oleh-oleh manusiawi tapi juga asupan gizi untuk ilmu pengetahuan otaknya.
Saya sudah bertanya kepada petugas yang menjaga stand saat itu, kenapa display-nya tidak ditata meriah dan wah. Tapi petugas hanya menjawab sekedarnya bahwa jika ingin melihat koleksi yang lebih lengkap, langsung saja datang ke kantor arsip.
Kenapa ya sang penjabat tidak melihat kesempatan ini sebagai ajang promosi untuk meningkatkan minat baca dan mencerdaskan. Juga bentuk penyeimbang dari kegiatan hura-hura tahun baru yang menyeret manusia ke budaya hedonisme. Ingat sekali lagi..! Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara yang di-survey terkait budaya membaca dan menulis lho. Miris nok. Nyakit keneh ..!
Saya berandai beberapa hal menjadi pejabat di institusi tersebut, tentu stan yang saya tampilkan tidak sembarangan, berkonsep, matang, dengan konten yang sesuai.
- Sejumlah buku koleksi terkait sejarah kota Denpasar akan hadir di rak-rak etalase pameran
- Buku berbahasa Belanda berikut terjemahannya akan saya usahakan, bagaimana pun caranya, kendati harus ke Perpustakaan Nasional, sebab ini untuk kepentingan bersama.
- Film-film dokumenter Bali Tempo Dulu akan diputar secara beruntun dengan menggunakan TV atau LCD proyektor.
- Foto Denpasar/Bali Tempo Dulu tentu juga ambil andil, lumayan untuk mempercantik dinding ruang pameran.
- Salah satu peninggalan Kota Denpasar yang dianggap paling mewakili kota ini, semisal keris saat perang puputan, akan saya hidupkan lewat teknologi video mapping.
- Akan saya display pula buku/lontar tua yang asli, tentu display ini menggunakan kotak khusus, agar tak mudah dijangkau pengunjung.
- Akun Sejarah Bali yang terkenal di dunia Instagram itu, saya ikut sertakan dalam pameran ini, untuk membuat konten sejarah Denpasar dengan konsep kekinian.
- Seluruh ruang pameran disulap menjadi rumah orang Denpasar zaman dahulu, beralas tanah, berdinding bedeg, beratap jerami atau duk, serta kelengkapan lainnya.
- Terakhir ada photobooth untuk berswafoto yang kemudian di-uploud dengan hastag #denfest #sejarahdenpasar #perpusdenpasar (ini dilombakan, yang paling menarik dan kreatif dapat bingkisan)
- Saya buat desain pamflet yang jenaka, kreatif serta menarik, misalnya pamflet bentuk bunga Jempiring, agar pengunjung tak bosan membaca pamflet yang biasanya berisi tulisan dan warna-warna paduan yang tak karuan.
- Pameran stan ini saya usulkan untuk berada di pusat keramaian, di Jalan Gajah Mada atau di area Patung Catur Muka. Ini penting lho, tempat menentukan keberhasilan promosi.
Saya tidak muluk-muluk, konsep pameran yang matang, kreatif dan menarik akan mendatangkan pengunjung yang banyak serta mencerdaskan. Usulan-usulan di atas bisa diwujudkan dengan mudah, apabila orang yang menjabat di instansi terkait memiliki cara pandang yang luas dan fleksibel.
Saya berani berkata seperti ini sebab sebelum pindah ke Bali saya sempat menjadi tim Museum Etnografi, Departemen Antropologi, FISIP, Unair. Setiap pameran kami akan selalu mendebat konsep dan konten hingga matang, sebab itu adalah harga mati untuk diperdebatkan.
Kendati ada acara lain yang menonjolkan pameran buku dalam pelaksanaannya, tapi apa salahnya menggunakan kesempatan yang ada sebagai ajang mencerdaskan warga Denpasar.
Nah, anggoang monto gen neh, yen be jadi walikota mare cang ngidang ngae kene asane!? Hahahaha. Minta dukungannya, nggih… (T)