SAYA tergelitik membaca berita di salah satu media online Nasional. “Jokowi: Banyak yang susah membedakan hujatan dan kritik” begitu kira-kira judulnya. Saya pikir memang benar. Akhir-akhir ini di Bumi Nusantara, khususnya di ranah maya, banyak hal yang sebenarnya “kritik” malah dianggap sebagai hujatan. Malangnya lagi, dibalas pula dengan hujatan yang kadang berperikehewanan saja tidak.
Ambillah satu contoh, salah seorang calon pemimpin mengkritik kinerja, program, bahkan tingkah laku lawan tandingnya. Eh, masyarakat kebanyakan menilai kritik itu sebagai hinaan. Cuma bisa mengutarakan keburukan orang, diri sendiri sudah bersihkah? Malaikat ya? Sosial media penuh dengan salah paham semacam ini. Menganggap kritik adalah hujatan. Akhirnya para pengkritik dianggap pesakitan yang hanya bisa menghujat.
Padahal banyak profesi “pengkritik” yang dicari orang. Kritikus film yang penilaiannya selalu ditunggu penonton sebelum memutuskan menonton sebuah film. Ada lagi kritikus bola yang ditunggu analisisnya dalam sebuah pertandingan. Dan juga kritikus yang selalu diundang di TV untuk menilai kinerja pemerintahan. Pengkritik-pengkritik ini sangat dihormati. Lalu mengapa kita jadi sensi jika yang megkritik adalah publik figur, calon kepala daerah, bahkan kita sendiri?
Debat calon pemimpin saja biasanya masih malu-malu kucing untuk mengkritik lawannya. Terlihat sangat antikritik. Bahkan ketika moderator sudah mengarahkan topik untuk saling kritik, mereka main aman dengan out of the topic. Sudah kentara, jika dikritik, maka hal selanjutnya bukanlah evaluasi diri. Melainkan kebencian kepada sang pengkritik.
Tapi secara harfiah memang sebagian besar manusia telihat anti kritik. Lebih menyukai apresiasi ketimbang kritik. Sering kita lihat, manisnya wajah orang yang diapresiasi, dan sepetnya orang terkritik. Jarang kita temui orang yang menerima kritik dengan senyuman. Mendengar dengan seksama dan diingat untuk dievaluasi. Yang ada masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.
Padahal keduanya, apresiasi atau kritik, sama-sama penting. Yang satu memuji ketika sesuatu dilakukan dengan sangat baik, yang satu menunjukkan kesalahan dan memberi saran agar lebih baik. Kan tidak mungkin, orang hanya diapresiasi karena sudah baik semua. dan juga sebaliknya, di kritik karena tidak baik semuanya. Diberi apresiasi dan kritik agar semangat memperbaiki yang berlum baik, dan yang sangat baik sudah dinilai lebih.
Sudah pasti orang mengejar apresiasi. Tapi para pendengar kritik, adalah pengejar apresiasi yang tinggi. Karena dengan mengetahui banyak hal yang salah, banyak juga yang dapat diperbaiki. Andai semua manusia pemburu kritik, amanlah sudah dunia ini.
Satu lagi, kadang kita lupa mengapresiasi sesuatu tanpa kritik, dan itu juga sangat berbahaya. Menganggap seakan-akan figur tanpa cela. Yang dibela makin melayang, yang membela lupa tengok kiri kanan. Akhirnya jatuh cinta, tai kucing rasa coklat. Yang buruk terlihat baik. Yang memalukan terlihat mulia. (T)