#Film Pendek: Lemantun (2015) #Sutradara: Raphael Wregas Bhanuteja #Pemain: Tatik Wardiono, Den Baguse Ngarsa, Agus Kencrot, Titik Renggani, Trianto Hapsoro, Freddy Rotterdam
PERMISI nyilang margi para penggiat film, kritikus film, pembuat film, atau kawan-kawan yang fokus di dunia film. Saya hanya penikmat film yang suka ngomong ngarul-ngidul, sok-sokan berkomentar usai menonton film. Kadang sebagai bahan ringan pengantar minum kopi atau sebagai penyambung obrolan jikalau bertemu kawan-kawan lama. Jadi tulisan ini anggap saja sebagai curhatan, opini, atau dongeng belaka. Tabik Sugra….
***
Made Wianta pelukis asal Bali, pernah bercerita kepada saya (sekitar tahun 2008), dirinya lebih tertarik pada seseorang lewat karya ciptaannya. Tidak menyoal siapa senimannya, yang penting adalah karyanya hadir dan menggugah. pemahaman ini saya pegang dalam menelisik suatu karya seni, salah satunya film Wregas Bhanuteja.
Nama Wregas Bhanuteja sedang naik daun, sebagai sutradara muda berbakat. Tidak usah saya ulas raihan penghargaan yang ia peroleh ya, di dunia maya banyak sekali bertebaran informasi mengenai Wregas (Baca: malas mengulang tulisan sama) hahaha.
Saya pribadi mengenal nama Wregas usai membaca ulasan Putu Fajar Arcana tentang film pendek Prenjak di halaman Kompas Minggu beberapa bulan yang lalu. Apa filmnya? Bagaimana ceritanya? Gimana framing-nya? Kok bisa dapat penghargaan tertinggi di Cannes? Siaaaal.
***
Dua bulan yang lalu akhirnya saya bisa nonton film Prenjak dalam rangkaian Ubud Writer and Reader Festival (UWRF) di Betelnut, Ubud. Ada 5 film yang diputar saat itu yakni Senyawa, Lemantun, Floating Chopin, Lembusura dan Prenjak.
Dari kelima film tersebut yang masih melekat di hati dan pikiran adalah Lemantun, bukan Prenjak. Mungkin ulasan Prenjak sering saya baca sebelum menontonnya langsung, jadi telah ada konsep dan doktrin tertentu mengenai film Prenjak.
Film Lemantun berdurasi 20 menit dan diproduksi pada tahun 2014 itu berhasil mengganggu tidur saya setiap malam. Adegan film Lemantun seperti komedi putar di kepala. Apalagi kegelisahannya Tri dan logat Jawa sang ibu seperti dua monster yang bercokol begitu saja di ujung imaji saya.
Saya memutuskan untuk menulis serta memberi ulasan pribadi kenapa film tersebut kuat melekat hingga saat ini.
***
Tri, penjual bensin rumahan adalah anak ke-3 dari 5 bersaudara. Eko, Dwi,, Yuni, dan Anto. Keempat saudaranya memiliki gelar pendidikan yang cukup tinggi terbukti dari gelar yang bersanding di depan maupun di belakang nama mereka. Ibu dari kelima bersaudara ini hendak membagikan warisan, untuk itu mereka berkumpul di rumah masa kecilnya.
Warisan yang diberikan bukan tanah, perhiasan, atau uang tapi Lemari dalam bahasa jawanya disebut Lemantun. Sang ibu menjelaskan lemari tersebut beliau beli setiap melahirkan. Jadi lemari disimbolkan sebagai bentuk kehadiran anak di keluarga tersebut.
Lemari diundi berdasarkan nomor. Kelima anak mendapatkan “harta”nya masing-masing. Kemudian sang ibu meminta agar mereka segera memindahkan lemari itu dari rumahnya, hari itu juga. Jika tidak akan dikenakan denda. Alhasil Eko, Dwi, Yuni dan Anto kelimpungan mencari bala bantuan untuk memenuhi perintah sang ibu. Sementara Tri bingung ke mana lemari miliknya dipindahkan, sebab ia belum memiliki rumah sendiri, ia masih seatap bersama sang ibu.
Setelah keempat saudaranya pergi bersama lemari warisan. Tri bersusah payah mengangkat lemari untuk di bawa ke rumah temannya. Ia bermaksud untuk menitipkan terlebih dahulu. Sebelum nanti ia benar-benar memiliki kediaman sendiri. Tapi sang ibu tak mengizinkannya, malah menyarankan Tri untuk menitipkan di rumah ibu saja untuk sementara waktu.
Singkat cerita sang ibu terjatuh di kamar mandi. Sehingga memerlukan bantuan jika hendak beraktifitas. Tri-lah yang menjaga dan membantu ibunya setelah insiden tersebut. Ia merawat ibu sama seperti ibu membesarkan dirinya, tulus dan penuh kasih sayang
Warisan Tri berakhir menjadi tempat berjualan bensin di depan rumah. Sementara lemari warisan yang lain berakhir di ruang kerja, di pasar loak, di pinggir sungai bahkan di toko barang bekas.
Adegan-adegan Ciamik
Film yang berlatar belakang keluarga kecil di Jawa ini begitu memikat, selain jalan cerita yang sederhana tapi kuat dan menggugah. Sejumlah adegan juga patut mendapat acungan jempol. Karena memiliki andil besar mengantarkan pemahaman penonton untuk menangkap maksud sang sutradara.
Ada sejumlah adegan menarik, layaknya bumbu pemanis dari keseluruhan film Lemantun. Misalnya adegan saat Tri memasukkan tubuhnya ke lemari. Berwajah bimbang, linglung, dipadu dengan warna coklat lusuh dari lemari tua, adegan tersebut berhasil membangun suasana muram di hati saya.
Ditambah pula setting dapur khas Jawa konvensional. Menambah kesan lampau dan begitu purbanya adegan tersebut. Tri seperti bermain teater di tengah ruang lemari, sembari menerka solusi akan dibawa ke mana warisan ibu ini. Adegan ini tak biasa, namun sungguh ciamik. Dasar film indie selalu ada absurd-nya. Hahaha
Jika lebih jauh menerka dapat ditafsir lemari sebagai simbol ibu dan Tri adalah anak dalam kandungan. Tri seolah menjadi bayi yang berpulang ke rahim. Lemari melindungi pakaian, ibu melindungi anaknya. Mereka pelindung. Adegan ini jeg teater sajan.
Selain itu sejumlah adegan lucu pun diporsikan secukupnya. Seperti adegan Dwi menjaili Anton. Dwi menceritakan lemari Anton isinya seekor naga. Dengan logat bahasa Jawa yang kental, percakapan mengalir serta diselipi kata-kata makian khas Jawa. Begitu pula adegan Dwi saat berswafoto dengan lemarinya, kekinian banget.
Itu adegan berhasil mengundang tawa penonton, swafoto begitu dekat dengan keseharian, mungkin tawa mereka dalam rangka menertawai diri sendiri. Hehehe.
Akhir film mengisahkan “rumah baru” lemari. Jika kita sepakati lemari warisan itu adalah simbol ibu, dalam ekspektasi saya warisan tersebut tentu mendapat tempat yang layak. Tapi senyatanya tak semua demikian, ada yang berakhir di pinggir jalan serta di toko barang bekas. Secara pribadi penggambaran visual adegan ini menyentuh hati.
Salah satunya, lemari berada di pinggir sungai bersanding dengan barang bekas lainnya, miris. Ada pula lemari yang berada di pinggir jalan, berjejer dengan benda usang berkarat. Satu daun pintunya bergerak terbuka ditiup angin. Entah sang sutradara meniati adegan itu atau memang tak sengaja. Tapi jelas, bahasa gambar ini top markotop. Salut.
Jadi bisakah disimpulkan kalau kasih sayang anak kepada ibunya hanya sepanjang galah?
Belum tentu. Ada Tri yang dikisahkan menjaga, merawat dan melindungi ibunya di rumah. Jadi walaupun sepanjang galah, tapi jangan lupa galah dapat di sambung-sambung hingga panjangnya menjulang. Tapi tak semua orang memperlakukan ibunya seperti Tri, ada pula yang acuh tak acuh. Penanda kesinambungan hidup di dunia, ada hitam ada putihnya. Jadi silahkan di pilih.
Dalam sesi tanya jawab Wregas menjelaskan film Lemantun ini merupakan kisah nyata yang diambil dari salah seorang keluarganya. Waduuuuh, film ini pernah terjadi di dunia nyata. Hidup kadang absurd yah, seabsurd imajinasi manusia.
Selain adegan, saya pula mencermati sudut pengambilan gambar Lematun. Sungguh sederhana, tidak banyak neko-neko. Bahkan cenderung statis. Terkesan lemah? Bagi saya tidak, karena cerita Lemantun cukup kuat. Jadi pengambilan gambar tak perlu ribet-lah. Tapi bahasa gambarnya yang digodok sedemikian rupa agar penyampaian pesan tercapai.
Satu pengambilan gambar yang saya suka saat keempat saudara memindahkan lemari menggunakan mobil pribadi dan kendaraan sewaan. Wregas mengambil adegan ini dari jauh (long shoot), memperlihatkan bentangan sawah, dan luasan langit. Mobil mereka berjalan beriringan di tengah frame. Gilaaaa, cakeeep bener ni gambar.
Hal-hal yang tak Saya Setujui
Sejujurnya saya penasaran kenapa ada lemari warisan yang diberikan ibu tidak dirawat baik oleh anaknya. Apa yang terjadi? Itu warisan, lho. Dari ibu pula. Pertanyaan memadat di benak saya. Apakah penonton diperintahkan merangkai ending sendiri atau dibiarkan mengawang sedemikian?
Selain ending, saya tidak suka karakter ibu dalam film ini, walaupun tutur kalimatnya lemah lembut, tapi mimik wajah tokoh yang memerankan ibu “tidak sampai”. Ada yang mengganjal di hati saya, setiap dialog tokoh ibu. Entahlah kurang soft paras mukanya kali yah.
Juga saya merasa ada missing link adegan, saat adegan pembagian lemari. Masing-masing anak mencari lemari sesuai nomor undian. Setelah menemukan lemarinya. Mereka menempelkan print nama sebagai penanda. Naaah pertanyaannya adalah dari mana print nama masing-masing tokoh berasal? Padahal nomor undiannya dibuat dadakan menggunakan angka kalender oleh Tri.
Tidak dijelaskan detail hal tersebut. Print nama ini cukup penting dalam menata imajinasi penonton, karena di sana tercantum nama lengkap tokoh beserta gelar sarjana yang ia raih.
Tapi tak apalah bisa termaafkan karena bobot ceritanya, mampu membuat mata saya berkaca-kaca. Hiks hiks
***
Seusai menulis, saya menelpon Mama. Menanyakan mau dibelikan apa untuk camilan malam hari.
“Jaje Bali yang di Peken Kreneng ya, belikan mama,” sahut Mama di seberang sana.
“Oke, siap. Sehat selalu ya, Ma,” tutup saya.
Saya bergegas menuju Peken Kreneng, Denpasar sambil memutar kembali film Lemantun dengan gambar-gambar yang melekat di kepala. Buiiiiiikkkk.
Selamat Hari Ibu. (T)