DENPASAR era sebelum kemerdekaan setidaknya terdapat 2 pasar besar: Pasar Payuk dan Pasar Kreneng.
Pasar Payuk adalah tempat penjualan segala macam peralatan payuk dan peralatan tanah lainnya. Selanjutnya Pasar Payuk di-rebranding (diubah namanya agar lebih ‘segar’) menjadi Pasar Kumba Sari. Kumba artinya payuk (periuk), juga bermakna tempayan air. Konon nama ini diusulkan oleh sastrawan alm. I Gusti Bagus Sugriwa.
Tentang nama Pasar Kreneng ada beberapa versi. Ada yang mengatakan karena letaknya di wilayah Kreneng. ‘Kreneng’ konon berasal dari kata “kĕrĕng ĕnĕng” = sering tak dapat air. Dulunya ini adalah areal persawahan yang sering tidak dapat air sehingga “nĕng” (tidak ditanami). Sumber lain mengatakan begini bahwa ada perbedaan antara Pasar Kreneng dengan Pasar Kamboja. Jika Pasar Kreneng adalah relokasi dari pasar yang dulunya terletak di pertigaan Surapati dan Melati sejak tahun 1963, Pasar Kamboja pindahan dari Lilabuana yang dulunya buka setiap sore hari.
Ada juga yang mengkaitkan dengan dahulunya di pasar ini ada berbagai macam ‘kreneng’. Tentunya tak banyak lagi generasi muda Bali tahu apa arti ‘kreneng’.
Kreneng adalah alat pembungkus berupa anyaman berbagai buah, daging, periuk, dan berbagai benda lainnya layaknya kantung plastik sekarang. Dengan ‘kreneng’ itulah dahulu orang Bali dan Jawa (sampai kini) membungkus berbagai belanjaan atau bawaan. Kalau tidak memakai ‘kreneng’ (kereneng) para leluhur Bali memakai sok keranjang, penarak, besek, dan berbagai anyaman bambu lainnya.
Tradisi hidup organik dengan bungkus ‘kreneng’ di Bali telah punah. Terkait atau tidak, nama Pasar Kreneng ini tinggal nama. Itupun tak banyak orang Denpasar yang paham artinya.
Tidakkah sekiranya kembali Denpasar bisa menghidupkan atau memperkenalkan kembali ‘tradisi kreneng’? Sebagai solusi atau alternatif pembungkus belanjaan di pasar?
Di Jawa sendiri, terutama di Jawa Tengah, masih kerap kita lihat ‘kreneng’ dipakai tas daging, tas buah, tas makanan lainya, wadah saat membeli bibit tanaman, bahkan saat membeli periuk tanah masih ada pasar atau penjual yang membungkus jualannya (periuk) dengan kreneng.
Alangkah baiknya Pasar Kreneng kembali menjual kreneng. Kembali mengenal dan memperkenalkan identitas aslinya sebagai pusat penjualan kreneng. Jika perlu ada semacam perayaan atau festival kreneng. Setidaknya Festival Denpasar semua transaksinya dibungkus dengan kreneng, atau diperkenalkan kembali kreneng lewat hajatan budaya tersebut.
Kreneng di pasar-pasar di Jawa Tengah dijual kisaran 600-1000 rupiah. Setara dengan tas kresek tebal, tapi kreneng ini keren dan ramah lingkungan.
Menghidupkan kreneng sebagai sebagai pengganti kresek plastik bisa menjadi terobosan persoalan sampah plastik yang menjadi persoalan serius Denpasar dan Bali. (T)
Catatan Harian 15 Desember 2016
Catatan:Foto-foto kreneng dalam tulisan ini diambil dari berbagai sumber online, setidaknya memberikan gambaran bagaimana ‘wajah kreneng’, fungsi dan pemakaiannya secara tradisional, serta pemanfaatannya sebagai kemasan cantik cenderamata.