#Judul Buku: Penulis Mantra #Penulis: Dewa Putu Sahadewa #Penerbit: Dedari Foundation dan Penerbit HW Project #ISBN: 978-602-14750-4-1
Tanpa pintu, aku memasuki kenangan
gambar tak bergerak kasur setengah
rusak
Begitulah penyair Dewa Putu Sahadewa memulai antologi puisi Penulis Mantra lewat puisi “Memasuki Akhir Tahun”, dan penggalan bait pertama itu menjadi pintu masuk ke proses kreatifnya,semacam konklusi untuk keseluruhan ‘statemen poetic’ yang ditulis penyair yang juga menulis antologi sebelumnya berjudul “69 Puisi di Rumah Dedari”.
Bukan tanpa latar belakang kesadaran diri, jika angka 9 tetap menghadirkan efek misteri bagi pemilihan jumlah puisi dalam antologinya. Antologi “69 Puisi di Rumah Dedari” yang terbit tahun 2015 berjumlah 69. Sedangkan antologi “Penulis Mantra” yang terbit tahun 2016 berjumlah 29.
Angka 9 sebagai angka akhir jumlah pada antologi ini bisa multi tafsir jika dikaitkan dengan interpretasi personal dalam format zona sosio-kultural dan sosio-religius baik di tataran penyairnya yang berinterelasi dengan sosio-kultural-religius tempatnya berproses maupun di tataran pembaca dalam perspektif resepsi sastra.
Sahadewa seakan membantah tesa IA Richard yang telah naif mengasumsikan bahwa puisi tidak lebih dari sekadar medium transparan dimana kita dapat menjamah proses-proses psikologis pengarang, dan membaca hanya merupakan perrmasalahan menciptakan kembali kondisi mental pengarang dalam benak kita.
Puisi dikatakan lebih menjadi fitur spasial ketimbang proses temporal. Tentu statemen ini masih bisa diperdebatkan lebih proporsional jika kita memandang betapa besar arti ‘temporal’ bagi proses kreatif yang disebut banyak pengarang sebagai sebuah perjuangan dan (bahkan) bukan lagi pilihan hidup,tapi jalan hidup.
Dalam “Penulis Mantra” dapat dirunut, berbagai kenangan sebagai eksplorasi gambar tak bergerak dapat dirasakan pembaca berdasarkan kumpulan rasa yang ditulis dengan instrumen terpilih dari penyairnya, mulai dari diksi, objek, kontemplasi, style, dan instrumen poetic.
Keseluruhan itu menggambarkan –sekali lagi seperti pada antologi sebelumnya- kegelisahan penyair Sahadewa dalam melacak dan mereguk secara substansial sangkan paraning dumadi; eksistensial diri. Konsistensi diri inilah membuat Sahadewa bisa menghadirkan keberagaman tematik, baik secara prismatis maupun secara transparan dalam puisi-puisinya.
Puisi Sahadewa bisa merepresentasikan impuls mistis-religius atau hasil pembacaan sekaligus penyikapan terhadap interelasinya dengan sosio-kultural. Keduapuluh sembilan puisi Sahadewa dalam “Penulis Mantra” tetap dapat dipandang sebagai ruang tempat terimplementasikannya ketegangan, paradoks dan ambivalensi dan dapat dipandang sebagai ruang refleksi diri.
Di ketinggian Ende//tubuhkku tenggelam dalam lapisan lembab//Taman perenungan, rumah pengasingan//beberapa sloki minuman dan beratus puisi. (hal.15).
Bahasa puisi yang dibuat sebagai sarana estetika untuk memberikan tenaga ekspresif serta emotif dalam mengungkapkan gambaran suasana batin penyairnya .Maka untuk dapat mengungkapkan nuansa konkretisasi pengalamannya, penyair memunculkan kata-kata metaforis,simbolis.Bahasa kiasan puisi dapat menunjukkan sejauh mana interaksi pengarang dengan lingkungannya.Kemampuan sebuah puisi dalam memberikan kemungkinan interpretatif.
Hal menarik lainnya pada sebagian puisi Sahadewa pada “Penulis Mantra” adalah upaya menampilkan eksplorasi majas.
Pada puisi “Insomnia” (hal.11) Sahadewa menulis:
aku telah kehilangan lembut bantal
segala yang meredup
kini berdenyar seperti cermas
yang digulung berutas kabel
menghubungkan aku dengan siang
dengan ruang dan gelisah
Memang secara psikologis ada kegelisahan dirasakan penyair Sahadewa ketika merasakan rasa lembut bantal yang merepresentasikan objek yang lepas dari referensialnya. Bantal yang mengejawantahkan kelembutan telah begeser secara semantis dari tataran rasa.Ada rasa yang tereliminir atau tergradasi sehingga ketumpulan rasa menjadi gempuran secara ekstesial dirasakan penyair.
Atau Sahadewa telah menggeser posisi ‘aku’ personalnya menjadi ‘kalian’ atau ‘kita’ yang mengalami pergeseran bahkan kehilangan substasi rasa sehingga imun/kebal terhadap sensibilitas sekitar. Ini yang menimbulkan kita kehilangan spirit humanis, spirit kebersamaan dalam ruang tempat berinterelasi di masyarakat.
Aksentuasinya pada beberapa puisi Sahadewa beragam, lebih naratif dan linear.Interelasi yang kuat antara aku dan kamu dalam petualangan imagi Sahadewa membuat puisi-puisinya menimbulkan kesan yang impresif untuk membangun suasana dialogis. Bangunan dialogis ini terkadang tampak sebagai igauan penyair yang merefleksikan kegelisahan dirinya.
Igauan itu bisa menjadi sarana catharsis untuk mencari jawaban atas sejumlah pertanyaan tentang sesuatu. Ikon yang digunakan instrumen menimbulkan keluasan ruang untuk merefleksikan hasil perenungannya. Memainkan fungsi poetic adalah salah satu perjuangan penyair untuk menimbulkan impresi yang mendalam, sementara pada puisi yang bernuansa kritik Sahadewa bisa leluasa lebih ekpresif ‘berteriak’ mengadakan perlawanan. Prinsip proyeksi ekwivalensi dalam beberapa hal bergerak dari poros seleksi ke poros kombinasi.
BALI HILANG KENDALI
kau beri luka kecil kepadaku
sungguh tikaman di perutku
tanpa darah bercucuran
tanpa kerasnya jeritan
hanya kejadian tak menentu
pengeboman Bali yang pilu
ledakan surgawi
ciuman gila tak terperi
……………………………………….
(hal. 41)
Penyair seakan memotong abstraksi pemikiran rasionalitas terhadap realita ketika daya impresinya begitu kuat untuk mempercayai paradigma mistis-religius, misalnya pada puisi Penulis Mantra (hal.19)
PENULIS MANTRA
orang-orang telah dipilih
untuk menulis
kata yang mengurai e3mbun
menjadi cahaya
kecil dan ligat
menumbuhkan bunga hanya dari
semburat cinta
sadarkan aku
: bagian kecil darikisah
yang berulang dinyanyikan
hanya karena satu tulisan
tinta telah digoreskan
sebelum dan setelah perjalanan
Perjalanan diri dalam mengarungi kehidupan real, diungkapkan Sahadewa seperti sebuah catatan diri secara metaforis; merasa dilahirkan sebagai bayi, segera mengingatkan masyarakat Hindu pada konsep dwijati, kelahiran kembali dalam konstruksi baru, esensi baru, tugas dan kewajiban baru dalam konsep ngayah.
DEDARI
sebelum tahun berakhir
kau memulainya sebuah perjanjian
ditulis dengan nyanyian
…..dilahirkan sebagai bayi
yang menangisi
kegelapan
dan dingin dunia
tapi segala cahaya terang di jiwanu
menyinari matahari
memutar semua planetku
kau menjadi kata dalam bahasa
menjadi ibu bagi dirimu
dan tanah bagi orang-orang susah
…………………………………………….(hal 21)
Secara humanis, Sahadewa menghargai sebuah interelasi personal yang memberi warna dan arti bagi perjalanan hidupnya. Sosok mahaguru Umbu Landu Paranggi menjadi warna yang inspiratif sehingga Sahadewa ingin membangun dialog yang membangunkan spirit personalnya.
BANGUNLAH UMBU
Umbu bangunlah
jangan berbaring di ranjang kering
membuat puisi berhenti berdenyut
dengan apa kami menulis nasib
jika tubuhmu tak mendengar gurau
dan bisik cemas
kata takkan mengalir lewat cairan
yang ditusukkan dipenamu
tapi kata takkan khianatimu
jadi kita kaji ulang
pertemuan anak-anak sajak
seperti gambar kuda
ditenunkainSumba
tak perlu kau sebutkan warna
kami dengar ringkiknya kami tahu kaulah gembalanya
…………………………………………………………………….(hal.45)
Ada beberapa puisi pendek Rumah Dedari terdiri dari 5 baris (hal,23), Di Ayunan Waktu, 3 baris (hal.25), Bermain Angin, 3 baris (hal. 27), Dalam Satu Nafas, 5 baris (hal.31). Sekalipun puisi ini ditulis pendek, tetap saja imagi dibangun melalui tata kata terjaga sehingga secara sublim, Sahadewa menghadirkan permenungan yang dalam untuk memberi aksentuasi diri pada posisi aku dan Kau liris.
Demikianlah Sahadewa menyajikan puisinya dalam antologi puisi “Penulis Mantra”. Secara analogis saat membaca 29 puisi Sahadewa dapat dirasakan ketika kita membuka pintu, begitu terkuak beraneka hasil perenungan dari akumulasi kegelisahan poetic dan refleksi diri pada sebagian besar puisi-puisinya, sekalipun sejujurnya Sahadewa menulis: tanpa pindu aku memasuki kenangan,gambar tak bergerak,kasur setengah rusak. Sahadewa dalam antologi puisi keduanya ini memang kembali sedang ‘menari’ menarikan kata dengan seperangkat instrumen dalam puisi-puisinya, mengalir seadanya.Dan kita nyaman menikmatinya. (T)
Singaraja, Desember 2016