“Ngiring je sareng-sareng dados Balian,” kata teman saya minggu lalu, saat ngopi di bawah rindang pohon bambu, siang di belakang rumahnya.
Mimih, ucap saya spontan. “Kenapa harus begitu?” tanya saya penasaran.
Saat ini dan ke depan alam ini akan banyak memberi kita cobaan, sekala maupun niskala, karena kini manusia sudah lama tidak sadar, sehingga tidak mampu mengenali dan memahami lagi bentuk dan jenis masalah yang ada dalam diri dan di lingkungan sekitarnya.
Disebut masalah artinya sesuatu itu ada dalam kondisi atau keadaan yang tidak seharusnya atau tidak sesuai dengan hukum-Nya. “Kini manusia tidak sadar kalau dirinya tidak sadar,” imbuh teman saya.
“Kalau saya jadi ‘balean’ terus bagaimana caranya, bagaimana dengan pekerjaan saya, saya kan tidak bisa mengobati?” tanya saya lagi.
Ingat saya bilang dan saya maksud jadi “Balian” bukan “Balean”. Jadi “Balian” itu artinya orang yang menjalankan tata-titi atau parikrama jagat Bali dengan benar, dengan patut, ucap teman saya dengan nada pelan.
Sekarang banyak yang salah persepsi tentang “Balian” selalu dipersepsikan orang yang mampu mengobati atau melakukan pengobatan saja (balian usadha). “Balian” jenisnya banyak tergantung tujuan dan keahlian yang diperoleh, antara lain ada balian penengan, balian pengiwa, balian usadha, balian kapican, balian ketakson, balian sonteng dan sebagainya.
Demikian juga tentang obat dan pengobatan (usadha). “Obat” tidak selalu berarti pil, jamu, loloh, boreh dan sejenisnya. “Obat” bisa juga dalam bentuk “sastra” atau petuah/nasehat suci.
Jadi sesungguhnya semua orang yang meyakini, menghormati dan menjalankan tata-titi atau parikrama jagat bali dengan benar dan berdampak benar bisa disebut “balian”.
Oh, kalau begitu apakah investor, kontraktor, pejabat, politikus, pedagang, pedagang, tukang dan sebagainya jika menjalankan spirit “kebalian” dengan benar bisa disebut “balian”? tanya saya sedikit bercanda.
“Yap,” jawab teman saya.
“Balian asal katanya “bali”, jadi “balian” artinya kita kembali menyadari, memahami, dan meyakini tatanan dan budaya Bali dengan benar sesuai dengan sastranya atau tattwanya. Di Bali ada yang boleh ada juga yang tidak boleh, ada di sana ada di sini, dan seterusnya. Dengan demikian kita akan memahami etikanya (sesana) sehingga bisa menjalankan/melaksanakan (upacara) dengan benar.
Bali sudah memiliki tatanan, misalnya dalam wilayah parahyangan (panca yadnya,dll), palemahan (asta bumi, kawasan suci, dll) dan pawongan (asta kosala kosali, leluhur, kawitan, dll) dan sebagainya.
Sekarang banyak orang sudah tidak menyadari dan memahami “bali” dengan benar sehingga tidak meyakini “bali” yang sesungguhnya, maka wajarlah terjadi banyak malpraktek (termasuk maaf malpraktek menjalankan sesana balian), menghalalkan segala cara dan terjadi pelanggaran hukum yang berdampak jagat Bali tidak harmonis lagi, tidak seimbang lagi atau tidak ber-“Tri Hita Karana”.
Oleh karena itu, “Ngiring dados balian” dengan tujuan dan pengetahuan yang benar, sehingga kita sadar, paham dan yakin dengan budaya Bali, ujar teman saya.
Ya ya ya, kalau begitu saya belum jadi “balian”, dan semoga juga dengan adanya proyek Reklamasi Teluk Benoa, banyak orang Bali dan non-Bali kembali dan turut jadi “Balian”, guman saya dalam hati. Ngiring! (T)