SEBAIKNYA di sini kita tidak membahas sloka, lontar, mantra atau Veda. Di zaman informasi yang demikian derasnya, ketidakpedulian hanyalah sebuah pilihan. Hal-hal yang bersifat pengetahuan dari makna Hari Raya Galungan hingga tutorial pembuatan sarana upakara sudah tersedia dalam satu ketukan jari saja. Bahkan pemesanan bebantenan online sudah bisa diunduh aplikasinya.
Tapi pernahkah kita bertanya, (bertanya benar-benar bertanya bukan bertanya lalu membiarkan Google yang menjawabnya) bahwa, untuk apakah semua perayaan Galungan ini? Untuk merayakan kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (ketidakbaikan)? Benarkah kita sudah benar-benar memenangkannya?
Sejenis dengan perayaan kemerdekaan Indonesia yang setiap tahun selalu dipertanyakan dan diulas dengan pertanyaan yang sama: Benarkah kita sudah merdeka? Benarkah? Dan hal itu selalu dikaitkan tidak hanya terlepas dari penjajahan semata, tetapi juga kemerdekaan dalam pikiran yang seluas-luasnya.
Terkait dengan hal tersebut tak ada salahnya jika kita sedikit mempertanyakan pula perayaan yang kita laksanakan dengan banyak persiapan dan suka cita yang terus kita lakukan berulang-ulang selama kita hidup di dunia. Benarkah Dharma sudah menang melawan Adharma? Benarkah?
Perang yang kita hadapi kini bukan perang yang terjadi seperti pertarungan Duryudhana dan Bima, Rama dan Rahwana dan segala ikon baik dan buruk di luar sana tapi perang melawan apa yang ada di dalam diri kita.
Sampai kapankah kita menyalahkan Bhuta Kala ketika amarah menguasai, sampai kapankah kita menyalahkan pihak di luar diri karena keegoan kita tidak mau mengakui ada sisi yang buruk pula dalam diri?
Setiap manusia berpotensi untuk menjadi baik dan menjadi buruk dalam hal yang berbeda. Bisa saja dia adalah karyawan yang baik tapi ia suami yang buruk. Bisa jadi dia adalah ibu yang baik tapi menantu yang buruk dan masih banyak contoh yang lainnya yang bisa kita lihat di kehidupan nyata.
Bisakah kita mentoleransi baik dan buruk yang ada dalam diri kita dan memenangkan salah satunya? Bisakah kita mentoleransi baik dan buruk yang ada di dalam diri orang lain dan tidak mengeneralisasikannya? Bisakah Dharma menang melawan Adharma?
Hari Raya Galungan ini semacam pengingat. Bagi yang sibuk untuk jeda menata langkahnya, bagi yang gila kerja untuk kembali ke keluarga, bagi yang lupa agar kembali ke hakikatnya. Jika memang bahagia yang dirasakan hari ini, maka sudah sepatutnya kita merayakannya dengan suka cita.
Namun apabila ada yang tidak berbahagia dengan berbagai sebab, misalnya saat Hari Raya kita bersedih tidak punya uang membeli banyak buah, jajanan atau daging babi; Hari Raya membuat mertua marah kepada menantu yang tidak cakap membuat bebantenan; Hari Raya membuat seorang anak marah kepada ibu yang cerewet karena banyak ritual yang harus dikerjakan; Hari Raya menimbulkan prasangka dan kemarahan ketika ritual, libur panjang dan jawaban “nak mule keto” dipertanyakan, maka benarkah kita sudah menang, atau kita masih berperang?
Selamat Hari Raya Galungan.
Selamat menjawab pertanyaan keabsahan kemenangan yang dirayakan. (T)