GELI juga membaca berita tentang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang menggagas sistem “full day school” untuk pendidikan dasar (SD dan SMP), baik negeri maupun swasta. Memangnya untuk apa anak-anak seharian di sekolah? Belajar?
Sebelum Bapak Menteri mengeluarkan statamen itu sesungguhnya sejak beberapa tahun belakangan ini banyak anak-anak sudah seharian belajar, meski bukan di sekolah. Mereka harus mengikuti les pelajaran tambahan, sejak pulang sekolah bahkan hingga malam hari. Betapa kasihan anak-anak itu?
Saya sempat ngobrol dengan adik sepupu yang masih duduk di kelas 5 SD. Saat itu di sore hari, dia terlihat sangat lelah, tas punggungnya terasa berat pada punggungnya yang kecil. Belum sampai satu jam dia di rumah dari tambahan jam belajar, katanya dia harus pergi lagi untuk les privat.
Wajahnya saat itu begitu lesu, padahal seharusnya pada usia itu adalah puncak dari masa penuh semangat dan keceriaan. Namun, yang nampak pada wajahnya adalah tatapan lesu dan setiap hari dia menjalani hari yang sama. Bahkan tidak hanya dia, hampir semua teman sebayanya juga mengalami hari yang sama. Belajar di sekolah, kelas tambahan, les privat, dan berbagai jenis les lainnya. Hari-hari yang membuat mereka kehilangan semangat masa anak-anak yang ceria dan penuh warna.
Saat itu juga muncul bayangan masa anak-anak yang telah saya lewati belasan tahun lalu. Masa itu adalah masa yang paling indah bagi saya. Bermain bersama dengan teman. Menangkap capung, mekorot layangan, memancing belut, mencuri mangga, dan diakhiri dengan berendam sepuasnya di sungai sembari memancing ikan kecil yang entah apa namanya. Sungguh masa kecil yang indah.
Jika anak-anak seharian di sekolah, mereka akan kehilangan masa-masa indah, masa mengenal lingkungan rumah, lingkungan desa, dan lingkungan tetangga. Mereka mungkin hapal bahasa latin padi, tapi mereka tak mengenal rupa padi dan kentalnya lumpur sawah.
Itu sudah terbukti ketika anak-anak harus berkutat dengan pelajaran sekolah dan pelajaran tambahan di bilik-bilik les. Les, belajar, belajar lagi, les lagi, dan begitu seterusnya. Sebagai seorang guru, saya melihat adanya beban yang belum semestinya ditanggung oleh anak usia sekolah dasar. Usia tersebut seharusnya dilalui dengan riang dan penuh keceriaan. Biarkan anak-anak menikmati masa belia mereka, jangan bebani mereka dengan tambahan belajar apalagi harus seharian di sekolah.
Saya yakin, tidak hanya adik saya beserta teman-temannya yang mengikuti pelajaran tambahan di luar sekolah. Masih banyak lagi anak lain yang menghabiskan waktu usai sekolah mereka dengan mengikuti berbagai macam les. Les Matematika, bahasa Inggris, bahasa Jerman, Fisika, Hitung Cepat, sampai les membaca. Belajar-belajar dan belajar, menimbulkan tekanan yang luar biasa pada usia belia. Wajar jika wajah anak-anak tampak lebih tua, kacamata menggelayuti wajah kecil mereka. Beban begitu besar sudah bersandar di bahu mereka yang ringkih. Beban belajar yang berlebihan telah merenggut senyum kecil pada wajah anak-anak masa kini.
Belajar Seharian
Jika dihitung-hitung, anak-anak sudah belajar seharian. Hitungannya, waktu sekolah mencapai 7-8 jam, ditambah dengan les sekitar 5 jam. Sampai di rumah mereka tak sempat bermain karena harus mengerjakan pekerjaan rumah yang menumpuk dan bisa mencapai puluhan soal untuk masing-masing mata pelajaran. Tanpa disadari, kegiatan belajar yang sangat sibuk dapat mengakibatkan stres pada anak-anak. Anak-anak dengan mental yang masih labil dipaksa untuk terus belajar dan terus ditekan untuk mendapatkan nilai yang bagus. Itupun standar yang ditetapkan adalah standar nilai yang begitu tinggi. Dengan ekspektasi yang demikian tinggi, wajar anak usia sekolah dasar begitu stres.
Dampaknya adalah mereka mulai ogah-ogahan untuk sekolah. Selalu merasa capek dan lemas saat beraktivitas. Bahkan mereka bisa menarik diri dari pergaulan sosial akibat rutinitas yang membosankan. Sangat disayangkan apabila pada anak-anak sudah mengalami stres dan depresi hanya karena beban belajar yang terlalu mencekik leher dan otak mereka.
Melihat beban belajar yang ada, muncul pertanyaan, apakah memang perlu anak-anak “dikarantina” di sekolah seharian. Saat ini les tambahan pun perlu dipertanyakan, apakah les merupakan kebutuhan mendasar siswa saat ini?
Jujur diakui les pelajaran yang berlebihan bagi siswa sekolah dasar itu belum penting dilaksanakan. Terlebih siswa harus les pelajaran yang sudah mereka dapat di sekolah. Mereka akan sangat bosan dengan rutinitas yang monoton dan tidak bervariasi. Rutinitas yang membosankan ini akan semakin menambah tingkat stres siswa dalam belajar.
Paulo Freire, dalam bukunya, Pendidikan Kaum Tertindas, mengatakan saat ini sistem pendidikan di dunia memperlakukan siswa seperti bejana kosong. Siswa diisi dengan pengetahuan sehingga bejana mereka penuh. Guru bertanggung jawab mengisi mereka dengan pengetahuan dan pengetahuan sehingga penuh dan siap digunakan.
Freire juga mengatakan ini tidak ubahnya seperti pendidikan sistem bank (banking concept of education). Siswa dianggap sebagai sebuah deposito dan guru bertugas mengisi deposito itu yang berupa pengetahuan. Konsep pendidikan ini sangat ditentang oleh Freire yang menganggap ini hanya sebuah penindasan pendidikan dan perbudakan pada pendidikan. Namun, sistem inilah wajah pendidikan di Indonesia secara umum.
Siswa adalah bejana kosong yang dianggap selalu siap untuk diisi pengetahuan dan menjadi pintar. Ada anggapan jika anak belajar lebih sejak kecil akan menjadi lebih pintar. Selalu seperti itu sejak dulu kala.
Anak belajar terlalu banyak seakan seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi anak memang akan menjadi pintar. Akan tetapi, di sisi lain banyak menimbulkan efek domino yang bersifat negatif. Efek negatif ini seakan saling berkaitan akibat beban berat yang mereka terima. Selain stres dan depresi, dampak domino yang muncul adalah dari sisi psikologi.
Percuma jika nanti anak itu pintar tetapi justru dia memiliki hati yang kosong. Ini yang berbahaya, mereka akan menjadi orang jenius yang gila dan tidak berperasaan. Ditambah lagi mereka tidak bisa bergaul dengan baik membuat mereka dijauhi dan dikucilkan pada pergaulan. Lambat laun mereka akan semakin mengasigkan diri dari dunia sosial dan tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Bukankah lebih baik jika mereka tidak hanya memiliki otak yang bagus tetapi juga memiliki hati yang terbuka dan penuh cinta?
Berikan Anak Kesempatan Bermain
Dengan beban yang berat, wajar kalau banyak siswa yang stres. Sebaiknya anak dibiarkan berkembang sesuai dengan umurnya dan jangan dibebani dengan pelajaran berlebihan. Anak-anak pada dasarnya harus diberikan kesempatan untuk bermain.
Papalia (1995) menyatakan dunia anak-anak adalah dunia bermain. Jadi, sudah sepantasnya anak diberikan waktu untuk bermain tanpa dibebani oleh les pelajaran tambahan yang membenani masa kecil mereka yang indah.
Secara alami, dunia anak adalah dunia bermain. Saat bermain mereka akan menemukan banyak hal megenai hidup. Mereka akan belajar soal organisasi, kerja sama tim, dan juga pentingnya kebersamaan bersama teman.
Papalia juga menyatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Bermain bersama teman membuat anak lebih berkembang dari sisi mental dan juga sosial.
Mereka akan berkembang dengan cara yang alami dan perkembangan mental mereka juga bagus. Tidak dipaksakan dewasa sebelum waktunya.
Selain itu, bermain juga melatih jiwa kepemimpinan dan juga melatih kepekaan mereka terhadap teman. Meskipun bermain terlihat seolah-olah hanya membuang waktu, tetapi juga secara tidak langsung melatih jiwa kepemimpinan mereka.
Mereka akan belajar untuk memimpin dalam kelompok kecil dan merasakan kenikmatan masa kecil mereka. Dengan bermain anak-anak juga melatih fisik mereka. Mereka tidak hanya terkungkung di dalam ruangan sempit bersama materi pelajaran. Wajah dan pikiran mereka akan lebih segar. Ide kreatif akan banyak bermunculan dan generasi penerus akan menjadi generasi yang lebih baik.
Sebagai sebuah contoh mungkin apa yang dilakukan Kepala Sekolah Kobayashi dalam Novel Toto-Chan dapat ditiru. Tuan Kobayashi tidak hanya memberikan materi pelajaran pada siswanya, tetapi juga memberikan kesempatan untuk bermain. Kepala sekolah Tomoe Gakuen yang dipimpin Tuan Kobayashi menyadari bahwa pada tahap pendidikan dasar anak harus lebih dibuat menggali potensi mereka tanpa paksaan. Mengalir secara alami dan menyenangkan. Hingga pada akhirnya seluruh siswa menemukan bakat mereka.
Dan yang lebih penting, karakter yang akan mereka bawa sampai dewasa tertanam dengan baik di sekolah dasar. Rasa empati, saling menghargai, rasa percaya diri yang tinggi, sekaligus kerendahan hati. Seluruhnya didapatkan dengan komposisi yang pas antara belajar dan bermain bersama dengan teman. Bukan hanya dengan banyak mengikuti les yang menambah beban pada masa kecil yang indah.
Semoga saja wajah pendidikan dasar di Indonesia bisa lebih manusiawi terhadap anak-anak saat ini. Semoga juga orang tua semakin menyadari bukan hanya nilai matematika atau nilai akademis yang paling penting pada pendidikan awal siswa.
Semua komponen kebahagaiaan anak-anak juga menjadi sebuah fondasi penting bagi pembentukan karakter mereka. Bermain bersama teman di luasnya dunia menjadi salah satu pembentuk karakter paling ampuh yang pernah ada. Mari berikan komposisi yang pas bagi perkembangan anak di Indonesia. Jangan hanya jejali mereka dengan doktrin-doktrin akademis yang membuat mereka stres. Buatlah mereka menyayangi kehidupan mereka yang berharga. (T)