PESTA Kesenian Bali (PKB) ke-38 tahun 2016 berakhir. Banyak pentas seni lewat begitu saja, tapi banyak juga meninggalkan bekas dan kesan di hati sejumlah orang. Para seniman, terutama seniman dari desa yang tumben-tumben menginjak karpet di panggung Taman Budaya Bali tentu mendapat kesan mendalam karena tumben-tumbennya juga mendapat apresiasi besar dari penonton. Kesan mendalam itu mungkin membekas terus di hati dan dibawa hingga mati.
Sejumlah penonton tentu juga mendapatkan kesan yang membekas di hati. Mungkin kesan mendalam terhadap seorang gadis belia yang begitu lihai main gender. Atau mengingat secara mendalam tentang dalang bocah yang lincah sabetkan wayang namun hanya ditonton segelintir orang di ceruk wantilan. Sejumlah pentonton lain bisa saja terkesan terhadap hal-hal di luar kesenian, misalnya tentang hujan yang beberapa kali merundung pementasan. Atau tentang lampu padam di suatu malam hingga sebagian areal Taman Budaya gelap gulita. Atau mungkin ada yang mengingat puing kebakaran di deretan stand kerajinan dan tangis pilu para pedagang.
Saya sendiri punya kesan tentang beberapa hal. Antara lain tentang sejumlah istilah serem alias seram alias aeng di PKB. Saat malam pembukaan di panggung terbuka Ardha Candra, saya ngon begitu istilah serem masuk telinga. Dengan gagah disebutkan PKB dibuka dengan “Pagelaran Oratorium ‘Markandya Bumi Sudha’ oleh Institut Seni Indonesia Denpasar”.
Oratorium? Adakah ia sepupuan dengan laboratorium atau krematorium?
Sejumlah istilah serem lain muncul dalam sejumlah pementasan berikutnya. Misalnya istilah seni rekonstruksi dan seni inovatif. Belum lagi istilah transformasi dan kolaborasi yang ditempelkan dengan mudahnya dalam sebuah garapan seni. Yang lebih gawat ada pementasan wayang listrik kontemporer. Istilah wayang listik saja sudah bikin telinga berpikir. Ditambah lagi kata “kontemporer” yang bahkan kaum intelektual pun hingga kini masih keblinger dengan arti istilah itu. Saya tahu dan pernah menonton wayang garapan Dalang Made Sidia itu. Dan saya pikir, tanpa embel-embel kata kontemporer, bahkan tanpa kata listrik pun, garapan itu memang layak disebut sebagai karya baru dalam proses perkembangan seni wayang di Bali. Apalagi garapan itu memang top.
Sejumlah istilah serem memang sudah sejak beberapa tahun lalu masuk dalam hingar-bingar PKB. Namun tahun ini saya tergelitik memikirkan terus-menerus. Terutama saat mendengar sejumlah seniman Bali mengucapkannya dengan lidah yang hampir selalu keseleo. Sampai-sampai saya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Pertama-tama saya cari kata oratorium. Dalam KBBI versi online saya temukan arti dari oratorium adalah: ora.to.ri.um, Nomina (kata benda),(1)Istilah Agama Katoliktempat sembahyang atau tempat berdoa; kapel; (2) jenis karya musik yang besar (yang tumbuh dari suatu kebiasaan di tempat peribadatan di kota Roma pada akhir abad ke-16) dengan bersumberkan Alkitab untuk penciptaannya.
Tak puas, saya telusuri Wikipedia. Di situ ada kata Oratorio. Saya kutip beberapa saja (selengkapnya buka sendiri Wikipedia). DisebutkanOratorio adalah tempat berdoa. Oratorio berasal dari bahasaLatin, orayang artinyadoa, sehingga dalam bahasa latin,oratoriumberarti tempat doa. Namun selain dikenal sebagai nama tempat untuk berdoa, biasanya juga dipakai sebagai nama jenis musik yang dimainkan di ruang doa.
Wawasan saya mungkin tak seluas doktor atau professor di bidang seni. Mungkin memang ada kamus lain atau sumber pengetahuan lain yang menyebut oratorium cocok untuk menamai pementasan kolosal di pembukaan PKB itu. Tapi istilah itu benar-benar membuat kuping tiluan mendengarnya, dan lidah bisa kejengklok saat mengucapkannya. Apalagi kata oratorium dipadu dengan kata-kata Markandya Bumi Sudha — betapa puruh kepala ini jika diminta menjelaskan seluruh rangkaian kalimat itu.
Apakah jero-jero sempat menonton pagelaran yang disebut oratorium itu? Jika tidak, tanyalah pada teman yang sempat menontonnya. Sebagian besar dari mereka mungkin akan menyebut pagelaran yang ditonton itu adalah sendratari. Karena memang istilah itu yang akrab di telinga mereka. Apalagi, pementasan itu memang tak jauh beda dengan sendratari yang dikenal selama ini, yang juga pernah menjadi primadona di PKB sekitar pertengahan tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an.
Eh, soal sendratari, ada teman penari ternyata tak tahu bahwa sendratari itu akronim dari “seni, drama dan tari”. Dia pikir itu nama tersendiri untuk menyebut satu bentuk kesenian semacam gambuh dan arja. Seperti kebanyakan orang Bali, teman itu biasa menyebut “senratari” (tanpa d). Dan dia marah ketika saya beritahu kebenarannya, mungkin marah karena menyadari ia sangat telat tahu, atau mungkin marah karena hal lain.
“Kleeee, jika begitu kenapa arja tak disebut sendratari, kenapa gambuh tak disebut sendratari. Bukankah arja dan gambuh juga termasuk seni drama dan tari?” katanya keras.
Saya hanya manggut.
“Bahkan arja bisa dinamai sendratarinyi,”
Saya mengernyit. “Apa itu sendratarinyi?”
“Seni drama tari dan nyanyi!”
Saya mekebris.
“Dan drama gong bisa disebut sendratatari!”
“Apa lagi itu?”
“Seni drama tanpa tari!”
Saya benar-benar ngakak.
Memang dunia kesenian Bali belakangan ini sangat sibuk dengan kata-kata, istilah-istilah. Dulu, betapa susahnya seni modern semacam teater dan film masuk ke PKB. Orang-orang yang merasa punya kekuasaan untuk menentukan arah dan tujuan pesta itu menganggap teater, sastra modern dan film adalah kesenian asing yang tak sesuai dengan visi dan misi awal PKB. Tapi sejak beberapa tahun lalu istilah-istilah asing dengan mudah masuk PKB bahkan kadang tak dipahami arti sebenarnya. Saya menduga semua itu dilakukan sebagai bentuk “pengalihan isu dan wacana” dari tidak muncul-munculnya bentuk kesenian baru yang bisa jadi primadona, setelah arja pingsan, drama gong mati ngereres dan sendratari kolaps.
Untuk menyebut kesenian langka sejenis tari-tari sanghyang, kini digunakan istilah seni rekontruksi. Menurut KBBI, rekonstruksi memiliki arti (1) pengembalian seperti semula, (2) penyusunan (penggambaran) kembali. Jika begitu, hampir semua tari-tari yang dipentaskan di PKB sesungguhnya hasil rekonstruksi. Bukankah tari-tarian itu digambarkan kembali seperti pada mula diciptakan? Itu mungkin logika bodoh, tapi coba jero-jero pikir berulang-ulang dari sudut pandang yang agak genit.
Seorang pejabat dinas kebudayaan dari satu kabupaten pernah menjelaskan bahwa seni rekonstruksi adalah bentuk kesenian yang sudah mati atau nyaris mati, yang dihidupkan kembali melalui program rekonstruksi yang dilakukan pemerintah. Pemerintah yang dimaksud adalah Dinas Kebudayaan/Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Jika memang begitu, koq nama proyek dijadikan nama baru, seakan-akan menjadi nama resmi sebuah bentuk kesenian.
Proyek pemerintah bisa saja bernama “program rekonstruksi untuk kesenian punah”, tapi ketika pentas tak perlulah pakai embel-embel rekonstruksi. Apalagi, ngomong-ngomong soal proyek rekonstruksi, saya curiga, jangan-jangan tujuan final proyek itu hanya untuk pentas di PKB. Setelah PKB jangan-jangan kesenian itu bobok lagi, lalu bangun lagi pada PKB berikutnya. Lalu, mati lagi.
Yang bikin ngon lagi adalah istilah seni inovatif. Buka KBBI lagi, inovatif artinya bersifat memperkenalkan sesuatu yang baru, bersifat pembaruan (kreasi baru). Sekitar tahun 1980-an muncul tari-tari ciptaan baru seperti Manukrawa, Gopala, dan Kidang Kencana. Tari-tarian itu disebut tari kreasi baru. Jika orang menciptakan tarian baru, misalnya dalam lomba gong kebyar, tarian itu langsung disebut tari kreasi baru. Bahkan kini, meski sudah tak baru lagi, tari sejenis Kidang Kencana dan Gopala masih tetap disebut dengan nama tari kreasi baru.
Jika begitu, di PKB, ada bermacam-macam “seni baru”. Ada tari kreasi baru, ada seni inovatif, ada seni kontemporer. Wah, hebat sekali. Jangan-jangan nanti ada seni up to date, seni mutakhir, seni masa kini. Kembali soal seni inovatif yang dipertunjukkan di PKB, saya pikir tidaklah baru-baru amat. Beberapa memang memberi penawaran ide baru yang lumayan mengejutkan, tapi sebagian besar masih meniru-niru gerakan tari kontemporer atau drama kontemporer yang sesungguhnya sudah tidak kontemporer lagi. Nah, bingung kan?
Yang boleh dianggap lucu, suatu kali saya berpapasan dengan seorang penari cantik dengan kostum tak biasa di PKB. Seorang remaja tanggung bertanya kepada penari itu lebih sebagai sebuah godaan. “Wuiih, cantiknya. Mau nari apa, Gek?” Saya dengar gadis itu menjawab tegas, “Tari Inopatip!,” dengan lidah yang sangat tidak inovatif.
Tapi tunggu dulu. Saya harus mengakui juga dengan malu-malu, bahwa saya sendiri sebenarnya baru tahu sejak sekitar sebulan lalu, bahwa Tari Kebyar Duduk pada awal diciptakan oleh Mario alias I Maria di Tabanan sesungguhnya tidak mempunyai nama. Orang-orang kemudian menyebutnya dengan nama Igel Jongkok. Tersebab tari itu dipertunjukkan ke mana-mana, termasuk ke luar negeri, mungkin para “penguasa kesenian” malu sehingga sebutan Igel Jongkok diganti dengan nama yang diambil dari bahasa Sanskerta sehingga jadi serem. Saking serem-nya saya tak bisa mengingatnya meski pernah diberitahu oleh Prof. Made Bandem. Saking serem juga, nama itu tak populer. Sehingga diganti menjadi Kebyar Duduk.
Saya sendiri lebih suka tarian itu tetap bernama Igel Jongkok. Lebih alami, lebih ndeso seperti saya, daripada nama-nama Sanskerta yang kemudian diisi embel-embel kata Indonesia, Inggris, atau Latin. (T)