MASIH ingat dulu orang tua kita sering menasehati dan melarang agar tidak duduk di bantal yang ada di tempat tidur. Jika hal itu dilakukan konon bisa membuat bisulan atau dalam bahasa Bali disebut “busul”. Mitos ini pun berhasil membentuk karakter anak-anak agar bersikap sopan dan selalu menjaga etika dalam kehidupan.
Di tempat tidur bantal adalah tempat kepala. Posisi bantal akan menentukan arah posisi kita saat tidur. Kalau bantal ada sisi timur tempat tidur, maka kaki kita akan mengarah ke bagian barat, demikian juga kalau bantal ada di sisi utara maka kaki akan mengarah ke selatan. Dari sini kita selalu diajak mengenal arah mata angin.
Berabad-abad mitos ini diyakini oleh masyarakat Indonesia khususnya di Jawa dan Bali. Belum banyak orang mampu menjelaskan secara ilmiah apa hubungan duduk di bantal dengan bisul. Namun faktanya banyak orang hingga kini masih meyakininya.
Menurut saya “larangan duduk diatas bantal” merupakan bentuk implementasi dari kesadaran, pemahaman dan keyakinan akan sesuatu. Jadi mitos tersebut sesungguhnya adalah pengetahuan lokal yang mengandung unsur kebenaran sehingga terus dimplementasikan secara turun temurun atau berkelanjutan. Istilah “bisul” hanya simbul atau bahasa sederhana agar anak-anak mudah memahami atas “sanksi” atau larangan yang dimaksud.
Bantal adalah tempat kepala kita saat tidur, “kepala” diyakini sebagai “hulu”. Hulu adalah sumber, pedoman, tertinggi, utama, terhormat, agung, mengayomi, pemberi hidup dan sumber kehidupan, dan sebagainya. Jadi orang tua selalu menanamkan pengetahuan itu kepada anak-anak agar selalu menghormati hulu sebagai sumber atau pedoman kehidupan. Jika dilanggar maka kita bisa “tulah” (pamali) atau bertentangan (melanggar) dari pedoman/aturan dasar kehidupan yang paling hakiki. Jika melanggar pedoman/aturan, diyakini hidup tidak akan sejahtera atau selalu mengalami petaka atau kerugian harta benda.
Dalam kesadaran dan budaya masyarakat Bali, salah satu yang diyakini sebagai “hulu” adalah matahari. Karena ada matahari-lah maka terjadi kehidupan di muka bumi ini. Dalam banyak tradisi dan pemujaan (khususnya di kalangan masyarakat Bali Hindu), banyak kita kenal bentuk-bentuk penghormatan kepada pemberi atau sumber hidup dalam hal ini yang utama dan pertama adalah matahari.
Matahari terbit dari timur ke barat, menyebabkan terjadinya siang dan malam. Karena ada siang dan malam maka ada hari. Ada hari maka ada tanggal, ada tanggal maka ada kalender. Kalender (Bali) merupakan salah satu pedoman hidup sehari-hari, demikian seterusnya.
Kembali ke soal posisi tidur, di tubuh kita kepala adalah hulu, maka sudah sepantasnya kepala kita letakkan pada bagian yang terhormat. Sejalan pula dengan bentuk-bentuk penghormatan matahari sebagai hulu, maka diyakini saat tidur letak kepala harus berada di posisi timur, sehingga tubuh kita terlentang dari timur ke barat atau ada juga dari utara ke selatan. Dari posisi ini kita diajarkan tentang filosofi hulu-teben, triangga, tri mandala dan seterusnya.
Lebih jauh, meyakini posisi tidur yang benar akhirnya menentukan perencanaan bentuk rumah yang benar pula (asta kosala kosali), kesadaran asta kosala kosali akhirnya membentuk kesadaran dan pemahaman yang lain seperti asta bumi dan panca raksa sebelum membangun rumah atau bangunan. Dengan sendirinya pengetahuan tersebut akan menentukan batas, jenis bangunan, lokasi, fungsi, bentuk, luasan dan sebagaianya di atas karang/pekarangan (wewidangan/palemahan) kita.
Esensi Tata Ruang
KESADARAN terhadap bentuk karang umah/pekarangan rumah akhirnya membentuk pula kesadaran tegak desa dan wewidangan desa, begitu seterusnya sehingga jika kita urai lebih mendalam maka dari larangan tidak boleh tidur di atas bantal, artinya secara terus menerus kita diingatkan bahwa penting memahami esensi dari tata ruang.
Pemahaman tata ruang secara langsung menyentuh dan berhubungan dengan visi keseimbangan yaitu; aspek Parahyangan (berketuhanan), Palemahan (ruang/wilayah) dan juga Pawongan (manusia/penduduk). Visi keseimbangan hidup tersebut terus membudaya, di Bali populer disebut Tri Hita Karana.
“Jadi Tri Hita Karana adalah dampak atau keadaan yang terjadi akibat adanya sikap dan kerja-kerja positif yang berlandaskan pada aturan/pedoman/hukum alam yang benar dan berdampak benar (selaras alam).” Tri Hita Karana adalah konsepsi dan filosofi hidup yang mengadung pengetahuan dan keyakinan universal-walau disebut dengan bahasa lokal.
Tri Hita Karana sangat populer dalam kehidupan masyarakat Bali, tetapi tidak semua yang populer di Bali pasti sejalan dengan filosofi Tri Hita Karana, contohnya Reklamasi Teluk Benoa, karena sejak awal hingga kini rencana reklamasi Teluk Benoa menimbulkan polemik dan kegaduhan karena rencana proyek reklamasi bisa jadi tidak mengacu pada aturan-aturan alam Bali yang menyentuh aspek Parahyangan (nilai keyakinan/pengetahuan lokal), Palemahan (peruntukan kawasan/tata ruang/sikut jagat) dan pawongan (masyarakat/pakraman).
Ternyata mempelajari “mitos” atau hal-hal lain yang sering disebut gugon tuwon sangatlah menarik, banyak pengetahuan universal yang bisa kita pelajari dari mitos tersebut. Dimanapun terbukti memulai sesuatu (ngawit) sangat berhubungan nyata dengan filosofi dan fungsi tata ruang. Mengenali tata ruang pada dasarnya adalah memahami panduan alam. Sehingga kita tahu di mana, dari mana, dan mau ke mana seharusnya kita melangkah atau bertindak.
Keyakinan tersebut dengan mudah bisa kita rasakan atau praktekkan dalam budaya pertanian subak di Bali. Dalam budaya pertanian (subak) posisi tidur dengan meletakan kepala di bagian hulu juga diterapkan dalam pola tanam padi yaitu; saat persiapan, penanaman hingga panen padi.
Misalnya saat ngawiwit atau megawali ngurit padi Bali (Padi Taun). Setelah lahan pembibitan dipersiapkan secara skala dan niskala, petani kemudian ngurit, yaitu meletakkan bulir padi di atas lahan pembibitan. Menurut salah seorang petani di Kecamatan Penebel Tabanan Bali, ngurit tidak boleh sembarangan. Cara yang benar adalah ngurit dimulai dari sisi barat ke timur. Malai padi atau ujung padi diletakkan di atas lumpur mengarah ke barat dan tangkai padi mengarah ke timur (mengarah ke matahari). “Tangkai padi adalah hulu dari bulir padi, pada tanaman, hulu adalah dari akar, batang, ranting, baru ke buah. Hulu adalah sumber, jadi dalam kesemestaan posisi hulu bisa di atas dan bisa juga di bawah tergantung dari mana sumber hidup atau alir hidup terjadi, akar/tana/pertiwi adalah hulu pada tanaman padi”.
Jika ngurit dilakukan terbalik, maka berdasarkan pengalaman para krama subak, pertumbuhan bibit padi tidak bagus dan pertumbuhannya tidak merata, bahkan konon jika ngurit-nya terbalik, diyakini kelak saat melakukan pembersihan gulma (mejukut) ujung daun padi sering mengenai mata/menusuk mata.
Demikian juga jika ngurit padi dilakukan dari arah selatan ke utara, jika ujung malai padi mengarah ke selatan dan tangkai padi mengarah ke utara, bibit tetap akan tumbuh tetapi keadaan bibit (bulih) menjadi lemah. Jika bibit padi ditanam konon nantinya padi mudah rebah sehingga pertumbuhannya akan terganggu, hasilnya pun akan berkurang. Pengetahuan lokal ini hingga saat ini masih diyakini dan dijalankan secara turun temurun.
Jika kita hubungkan antara pengetahuan ngawiwit atau ngurit di kalangan masyarakat Subak di Bali, maka mitos “tidak boleh duduk di bantal nanti bisa bisul” sangat berhubungan dengan pengetahuan selaras alam. Bahwa dalam setiap aktivitas atau kehidupan apapun kita tidak boleh menyalahi pedoman/hukum alam, salah satunya soal pengetahuan tentang tata ruang seperti hulu-teben, asta bumi, tri mandala, kawasan suci/tenget dan sebagainya.
Etika Kehidupan
MITOS “tidak boleh duduk di bantal nanti bisulan” secara langsung mengingatkan kita tentang etika kehidupan. Etika hidup terjadi akibat dimanapun hukum alam akan tetap berlaku. “Kita tidak bisa lepas dari pengaruh hukum alam, karena kita semua berada ditengah alam semesta raya.”
Dengan demikian, mitos atau legenda rakyat yang diwariskan secara turun temurun pada dasarnya mengajak kita untuk selalu “eling”/ingat dengan pedoman atau hukum alam itu sendiri. Jika kita sudah menyadari, memahami dan meyakini maka akan timbul rasa penghormatan dan niat untuk mewariskan secara turun temurun. Kesadaran itulah menyebabkan mengapa masyarakat Hindu Bali selalu menerapkan dan mempelajarinya secara rutin dan terus menenerus setiap hari, terutama pada hari-hari khusus yang dikenal dengan rerahinan atau rainan gumi.
Seiring dengan putaran waktu (wuku), rerahinan akan terus berulang. Dengan melakukan upacara suci secara berulang-ulang maka kita pun akan terus belajar dan berusaha agar selalu eling dan ngelingan (ingat dan mengingatkan) sesuai dengan tingkatannya.
Makna nasehat “jangan duduk di atas bantal, nanti bisul” bisa juga berarti bahwa sebelum melakukan aktivitas apapun di sebuah tempat atau wilayah (wewidangan/palemahan) kita wajib mengenali, memahami, dan meyakini norma, etika dan nilai-nilai budaya yang ada dan berlaku di atas wilayah tersebut. Jadi kita tidak boleh sembarangan memanfaatkan wilayah apalagi melakukan alih fungsi hanya karena di wilayah tersebut kita memiliki saudara, kenalan, teman, calo atau mentang-mentang kita sudah mengantongi ijin dari pihak yang berkuasa secara kedinasan (sekala).
Ijin secara niskala pun wajib dilakukan sebelum memanfaatkan atau melakukan aktivitas di sebuah wilayah. Tentu hal itu tidak mudah, apalagi kita tidak meyakininya. Jika kita tidak meyakini maka boleh dikatakan pembangunan yang dilakukan di atas wilayah tersebut tidak mungkin akan berwawasan budaya. Dari kesadaran itulah maka secara budaya orang Bali Hindu sebelum melakukan pembangunan atau aktivitas apa pun di atas wilayah/palemahan wajib melakukan upacara suci (yadnya).
Jadi upacara suci yang dilakukan di suatu tempat atau rerahinan bukan sekedar “event”, tetapi sebuah wujud bahwa kita selalu ingat (eling) terhadap hukum dan tatanan alam yang ada di tempat atau di wilayah tersebut. Demikianlah orang tua kita selalu mengingatkan dan mengajarkan bahwa dalam hidup ini kita harus selalu berjalan dan bertindak sesuai aturan yang benar, dan dalam waktu yang sama apa yang kita lakukan juga secara langsung bisa memberi dampak atau pengingat (ngelingan) bagi orang lain bahkan bagi seluruh mahluk di muka bumi.
Jadi rerahinan yang dilaksanakan di Bali bisa dikatakan sebuah aturan atau pedoman. Jika kita melupakan aturan maka sangat berpotensi melakukan pelanggaran. Jika melanggar maka diri kita, keluarga bahkan seluruh umat manusia di muka bumi ini bisa “bisul” atau “tulah” — kena sanksi atau dihukum oleh alam.
Sekali lagi, “aturanlah yang menjadikan kehidupan di muka bumi menjadi teratur”. Keteraturanlah yang menyebabkan keadaan menjadi “seimbang” seperti yang terkandung dalam filosofi Tri Hita Karana. (T).
Tilem Sadha, Soma Kliwon Landep, Kajeng Kliwon, 4 Juli 2016