SAYA geli membaca berita tentang razia warung saat Ramadhan. Razia yang katanya demi “mengamankan” masyarakat saat bulan puasa. Ini dilakukan setiap tahun. Ada apa dengan warung? Apa dosanya? Sampai-sampai warung menjadi kambing hitam saat bulan puasa begini. Mengapa hanya warung yang menjadi sasaran? Kok tidak restoran misalnya. Atau iklan-iklan sirup yang ditayangkan di TV siang hari.
Misal, ketika kita di jalan, terkena panas, lalu tak sengaja melihat warteg yang seakan menggoda. Lalu kita memutuskan untuk ke warung itu karena sudah tak tahan. Siapa yang salah? Warung yang menggoda atau diri kita yang memang tidak tahan? Coba kita renungkan baik-baik. Sudah jelas dirilah yang salah karena tak mampu menahan hawa nafsu. Ketika diri sudah tak mampu menahan, meski tak ada warung, mie instan di rumah pun jadi kan?
Iklan sirup yang dengan bangganya menayangkan seorang anak menikmati sirup segar, tidakkah sirup dengan campuran buah-buahan itu juga menggoda? Atau iklan restoran yang banyak “mana lagi”-nya itu, tidakkah burger itu menggoda? Mengapa tidak ada yang ribut soal itu? Misalnya ribut-ribut minta agar dirazia pabriknya dan disita produknya. (Ya itung-itung lumayanlah untuk buka puasa…)
Hakikat puasa bukan sekadar menahan hawa nafsu dari rasa lapar dan haus. Namun hakikat puasa adalah pengendalian diri secara total dengan kendali iman. Lalu, bisakah orang yang merazia warung sehingga pemilik warung itu dirugikan dapat dikatakan orang yang beriman? Warung yang dirazia disita semua dagangannya. Pemilik warung juga manusia yang butuh uang. Butuh uang untuk sekolah anaknya. Butuh uang untuk berbuka. Uang untuk bayar utang. Lalu orang beriman yang bagaimana yang tega merusak nafkah orang lain?
Mereka yang merazia beralasan bahwa di daerahnya mayoritas orang-orang menjalankan ibadah puasa. Duh. Ini yang saya takutkan. Mengapa masih membicarakan mayoritas-minoritas di negara yang demokratis ini?
Saya sejak melek di dunia ini sudah biasa melihat warung buka setiap saat sepanjang hari sepanjang bulan sepanjang tahun. Saya biasa melintasi warung sate ayam yang sengaja mengarahkan asap satenya agar tercium orang di jalan. Kampus saya di Singaraja sebagiannya seolah dipagari pedagang. Pedagang itu berderet di sepanjang Jalan Tasbih. Dan pedagang di situ buka setiap saat termasuk saat bulan puasa. Tapi saya biasa melintasi Jalan Tasbih yang fenomenal itu. Toh, alhamdulilah belum pernah sampai sekarang itu menjadi alasan saya untuk membatalkan puasa. Saya selalu sukses puasa meski di kampus, di kost, dan di jalan seakan dikurung warung.
Teman-teman saya yang non muslim memang biasanya menghindari makan atau minum di depan saya yang berpuasa. Nah, kalau saya tidak sengaja kepentuk teman sedang makan di warung, apa yang harus saya lakukan? Apa saya diam saja untuk menghormati haknya makan, atau saya dengan brutalnya merazia warung beserta isi-isinya? Saya kira teman-teman bisa memilih sendiri.
Selain itu, banyak juga orang muslim yang membuka warung di Bali saat puasa. Lalu bagaimana dengan mereka? Apa iya, mereka “berdosa” dengan menggoda diri sendiri dengan makanan yang dijual sendiri? Alamaak…
“Bangsa ini tidak dirancang untuk melindungi mayoritas. Bangsa ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Bangsa ini dirancang untuk melindungi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.” Begitu kata Anies Baswedan dalam salah satu orasinya.
Jelas bahwa semua masyarakat memiliki hak di negara ini. Segala suku, ras, dan agama yang diakui punya hak. Jadi, ketika orang berpuasa ingin dihormati dalam menjalankan ibadahnya, hormati juga hak orang yang tidak menjalankan ibadah puasa. Tanpa terkecuali! (T)