Fakta, tak berselang lama setelah Presiden Jokowi meluncurkan “kabinet kerja”nya pada akhir Oktober 2014 lalu, saya juga mengumumkan peluncuran buku puisi saya yang kedua, Mencari Kubur Baridin (Akar Indonesia, Yogyakarta, 2014). Sepintas, kedua hal ini tidak terkait untuk dihubung-hubungkan, meskipun sama-sama diumumkan agar diketahui masyarakat. Ruang, kapasitas dan tujuan antara keduanya sangat berlainan. Jokowi yang Presiden, meluncurkan sebuah produk struktural dengan tujuan-tujuan struktural untuk mempermudah kerjanya sebagai presiden. Sementara saya yang Penyair, meluncurkan sebuah produk budaya dengan tujuan-tujuan budaya untuk bersama masyarakat Indonesia memahami kecemasan-kecemasan, mitologi, absurditas, visi, mimpi dan harapan-harapan terdalam dari dirinya sebagai manusia persona maupun sebagai manusia masyarakat atau manusia budaya. Titik temu yang mungkin antara buku saya dengan kabinet Pak Jokowi adalah pada kegiatan menemukan kembali bahasa.
Kabinet Presiden Jokowi, seperti slogan yang didengungkannya, diluncurkan untuk memastikan pemerintah hadir melayani masyarakat. Walaupun Pak Jokowi tampaknya lupa, bahwa kalimat “pemerintah hadir” dan “melayani masyarakat” dalam slogan tersebut adalah dua frasa yang kerap bertentangan dalam realitasnya, ia pede saja. Presiden Jokowi tentu sadar, bahwa “kehadiran pemerintah” dalam suatu ruang masyarakat, kerap menjelma ungkapan yang korup. Yang pada moment tertentu berpotensi untuk menjadi kegiatan represif. Akibatnya dalam kenyataan cenderung mereduksi (bahkan mendestruksi) arti kata “melayani” itu sendiri.
Hal ini terjadi bukan saja karena tingginya tingkat inkonsistensi, tetapi juga karena ada prosedur kerja di dalam birokrasi pemerintah yang cenderung berkhianat kepada kata itu sendiri. Contoh, kata melayani masyarakat di bidang keamanan sering melompat artinya menjadi “86”. Kata melayani masyarakat di bidang perizinan, sering melompat artinya menjadi “pelicin”. Kata melayani masyarakat di bidang perhubungan, UKM, pembinaan kesenian, sering melompat artinya menjadi “proposal dan anggaran”. Kata melayani masyarakat di bidang perbankan dan asuransi kesehatan, melompat artinya pertengkulakan. Jarak yang tercipta akibat adanya inkonsistensi antara makna dasar dan makna yang diterapkan dari kata melayani itulah yang disebut slogan. Prosedur birokrasi, kalau demikian adalah salah satu pangkalbala dari munculnya budaya slogan di kalangan pemerintahan.
Dalam riwayat birokrasi kita, jarang sekali terjadi lembaga pemerintah mengevaluasi kata-kata yang telah menggelembung menjadi slogan. Yang terjadi malahan mereka meningkatkan aspek kesloganannya, dan ketakbermaknaannya. Harus saya akui, rupanya kabinet Jokowi bukanlah “perintis” dalam rantai persloganan kabinet pemerintahan ini. Malahan menjadi bagian dari proses yang hakikatnya destruktif bagi perkembangan bahasa itu. Ini bisa terlihat dari pernyataan-pernyataan kekecewaan pada pemerintah Jokowi – JK pada saat seratus hari – dua ratus hari – tiga ratus hari – dan hingga hari ini terhadap kinerja kabinetnya.
Masalah kita terkait persloganan ini cukup jelas. Yakni masalah bahasa. Satu-satunya cara yang bisa ditempuh Jokowi untuk keluar dari rantai persloganan itu – dalam cara pandang kita – adalah menemukan kembali bahasa. Itu berarti kita menuntut pemerintahan Jokowi (terus menerus) agar melakukan apa yang dijanjikannya untuk kita masyarakat Indonesia. Sebab eksistensi makna bahasa dalam politik, dibangun di atas keterkaitan antara harapan, janji dan pembuktian atas janji itu. Pada saat Jokowi berjanji (dan bahkan bersumpah), sesungguhnya ia sedang membangun daya hidup bahasa. Apabila ia tidak melaksanakan janji yang sudah dikatakannya itu, bahasa itu pun menjadi padam eksistensinya. Maka kita namakan slogan, karena di dalamnya terdapat pengelabuan, pembohongan, dan iming-iming yang menghancurkan arti kata harapan yang dibangun manusia dengan susah payah dalam masa yang sangat lama. Slogan tidak hanya destruktif terhadap sebuah kata, tetapi juga durhaka kepada proses waktu, leluhur, generasi demi generasi, serta darah yang mungkin tumpah untuk menegakkan makna kata itu.
Barangkali, itulah beda yang tajam antara penyair dengan Pak Jokowi dalam posisinya selaku politisi yang telah menjadi Pemimpin Bangsa. Walaupun penyair adalah tipe profesi yang sepenuhnya mengabdikan diri pada kegiatan menemukan bahasa, penyair tidak bisa dituntut karena memang ia tidak memberi janji. Penyair, menghargai kehidupan melalui rasa hormat dan penjagaan kepada capaian bahasa pendahulunya dalam usahanya melakukan “refreshing” (baik melalui kalanguan, eksplorasi, kontekstualisasi maupun aktualisasi) di jagat bahasa. Dengan cara demikian, penyair mendorong terciptanya kesinambungan budaya sambil tetap mengidamkan “hidayah” yang disebut karakter otentik.
Pak Jokowi, tentu tak perlu menjadi penyair untuk mencapai ke-otentikan itu. Namun ia perlu “refreshing” seperti penyair, terlibat dalam suka duka masyarakatnya dan tunai membayar utang-utang bahasanya. Apakah Pak Jokowi tidak berkenan jika suatu kali kami kenang sebagai Penyair (maaf) – Presiden Yang Otentik? Jika berkenan, temukanlah kembali kami: puisi itu, bahasa itu. (T)