21 April 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Opini
photo by : ricky

photo by : ricky

Kelak Apakah Jokowi Tak Berkenan Dikenang Sebagai Penyair?

Riki Dhamparan Putra by Riki Dhamparan Putra
February 2, 2018
in Opini
15
SHARES

Fakta, tak berselang lama setelah Presiden Jokowi meluncurkan “kabinet kerja”nya pada akhir Oktober 2014 lalu, saya juga mengumumkan peluncuran buku puisi saya yang kedua, Mencari Kubur Baridin (Akar Indonesia, Yogyakarta, 2014). Sepintas, kedua hal ini tidak terkait untuk dihubung-hubungkan, meskipun sama-sama diumumkan agar diketahui masyarakat. Ruang, kapasitas dan tujuan antara keduanya sangat berlainan. Jokowi yang Presiden, meluncurkan sebuah produk struktural dengan tujuan-tujuan struktural untuk mempermudah kerjanya sebagai presiden. Sementara saya yang Penyair, meluncurkan sebuah produk budaya dengan tujuan-tujuan budaya untuk bersama masyarakat Indonesia memahami kecemasan-kecemasan, mitologi, absurditas, visi, mimpi dan harapan-harapan terdalam  dari dirinya sebagai manusia persona maupun sebagai manusia masyarakat atau manusia budaya. Titik temu yang mungkin antara buku saya dengan kabinet Pak Jokowi adalah pada kegiatan menemukan kembali bahasa.

                   Kabinet Presiden Jokowi, seperti slogan yang didengungkannya, diluncurkan untuk memastikan pemerintah hadir melayani masyarakat. Walaupun Pak Jokowi tampaknya lupa, bahwa kalimat “pemerintah hadir” dan “melayani masyarakat” dalam slogan tersebut adalah dua frasa yang kerap bertentangan dalam realitasnya, ia pede saja.   Presiden Jokowi tentu sadar, bahwa “kehadiran pemerintah” dalam suatu ruang masyarakat, kerap menjelma ungkapan yang korup. Yang pada moment tertentu berpotensi untuk menjadi kegiatan represif. Akibatnya dalam kenyataan cenderung mereduksi (bahkan mendestruksi) arti kata “melayani” itu sendiri.

                   Hal ini terjadi bukan saja karena tingginya tingkat inkonsistensi, tetapi juga karena ada prosedur kerja di dalam birokrasi pemerintah yang cenderung berkhianat kepada kata itu sendiri. Contoh, kata melayani masyarakat di bidang keamanan sering melompat artinya menjadi “86”. Kata melayani masyarakat di bidang perizinan, sering melompat artinya menjadi “pelicin”. Kata melayani masyarakat di bidang perhubungan, UKM, pembinaan kesenian, sering melompat artinya menjadi “proposal dan anggaran”.  Kata melayani masyarakat di bidang perbankan dan asuransi kesehatan, melompat artinya pertengkulakan. Jarak yang tercipta akibat adanya inkonsistensi antara makna dasar dan makna yang diterapkan dari kata melayani itulah yang disebut slogan. Prosedur birokrasi, kalau demikian adalah salah satu pangkalbala dari munculnya budaya slogan di kalangan pemerintahan.

                   Dalam riwayat birokrasi kita, jarang sekali terjadi lembaga pemerintah mengevaluasi kata-kata yang telah menggelembung menjadi slogan. Yang terjadi malahan mereka meningkatkan aspek kesloganannya, dan ketakbermaknaannya. Harus saya akui, rupanya kabinet Jokowi bukanlah “perintis” dalam rantai persloganan kabinet pemerintahan ini. Malahan menjadi bagian dari proses yang hakikatnya destruktif bagi perkembangan bahasa itu. Ini bisa terlihat dari pernyataan-pernyataan kekecewaan pada pemerintah Jokowi – JK pada saat seratus hari – dua ratus hari – tiga ratus hari – dan hingga hari ini terhadap kinerja kabinetnya.

                   Masalah kita terkait persloganan ini cukup jelas. Yakni masalah bahasa. Satu-satunya cara yang bisa ditempuh Jokowi untuk keluar dari rantai persloganan itu – dalam cara pandang kita – adalah menemukan kembali bahasa. Itu berarti kita menuntut pemerintahan Jokowi (terus menerus) agar melakukan apa yang dijanjikannya untuk kita masyarakat Indonesia. Sebab eksistensi makna bahasa dalam politik, dibangun di atas keterkaitan antara harapan, janji dan pembuktian atas janji itu. Pada saat Jokowi berjanji (dan bahkan bersumpah), sesungguhnya ia sedang membangun daya hidup bahasa. Apabila ia tidak melaksanakan janji yang sudah dikatakannya itu, bahasa itu pun menjadi padam eksistensinya. Maka kita namakan slogan, karena di dalamnya terdapat pengelabuan, pembohongan, dan iming-iming yang menghancurkan arti kata harapan yang dibangun manusia dengan susah payah dalam masa yang sangat lama. Slogan tidak hanya destruktif terhadap sebuah kata, tetapi juga durhaka kepada proses waktu, leluhur, generasi demi generasi, serta darah yang mungkin tumpah untuk menegakkan makna kata itu.

Barangkali, itulah beda yang tajam antara penyair dengan Pak Jokowi dalam posisinya selaku politisi yang telah menjadi Pemimpin Bangsa. Walaupun penyair adalah tipe profesi yang sepenuhnya mengabdikan diri pada kegiatan menemukan bahasa, penyair tidak bisa dituntut karena memang ia tidak memberi janji. Penyair, menghargai kehidupan melalui rasa hormat dan penjagaan kepada capaian bahasa pendahulunya dalam usahanya melakukan “refreshing” (baik melalui kalanguan, eksplorasi, kontekstualisasi maupun  aktualisasi) di jagat bahasa. Dengan cara demikian, penyair mendorong terciptanya kesinambungan budaya sambil tetap mengidamkan “hidayah” yang disebut karakter otentik.

            Pak Jokowi, tentu tak perlu menjadi penyair untuk mencapai ke-otentikan itu. Namun ia perlu “refreshing” seperti penyair, terlibat dalam suka duka masyarakatnya dan tunai membayar utang-utang bahasanya. Apakah Pak Jokowi tidak berkenan jika suatu kali kami kenang sebagai Penyair (maaf) – Presiden Yang Otentik? Jika berkenan, temukanlah kembali kami: puisi itu, bahasa itu. (T)

Tags: BahasaJokowiPenyair
Riki Dhamparan Putra

Riki Dhamparan Putra

Lahir di Padang, pernah tinggal di Bali, kini di Jakarta. Dikenal sebagai sastrawan petualang yang banyak penggemar

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi dari penulis
Dongeng

Si Manusia Kodok

by I Ketut Suar Adnyana
April 17, 2021
Foto: Putik
Esai

Sirih dan Sejarah Budaya Kita

”Berbeda-beda, tetapi mengunyah sirih.” Semboyan ini mungkin cocok untuk menggambarkan kesatuan masyarakat Indonesia. Mengingat, bahasa dan etnik yang berbeda-beda ternyata ...

February 2, 2018
Foto: Putu Eka
Opini

Buleleng Terkaya di Bali, Sesungguhnyalah Tak Perlu Investor

DI Bali hanya dua kabupaten yang memiliki danau sekaligus laut: Buleleng dan Tabanan. Bangli punya danau besar tapi tak punya ...

February 2, 2018
Pameran "Blackscape  Series Gus Sindu" di Yogyakarta
Ulasan

Blackscape Series; Momentum Sindu Memaknai “Hening“

“Saya menampilkan seri karya yang sekarang (Black Scape Series) dengan kesadaran penuh. Dalam membaca dan merespon tema pameran “Peacefull Seaker ...

November 13, 2018
Ulasan

Buku Puisi “Penulis Mantra”: Eksplorasi Kegelisahan “Poetic” Sahadewa

#Judul Buku: Penulis Mantra #Penulis: Dewa Putu Sahadewa #Penerbit: Dedari Foundation dan Penerbit HW Project #ISBN: 978-602-14750-4-1   Tanpa pintu, ...

February 2, 2018
Ilustrasi tatkala.co || Nana Partha
Esai

Ketika Tim Kreatif Tak Lagi Kreatif

Di era modern seperti sekarang, televisi tak lagi menjadi idola. Saya masih ingat betul ketika nenek saya bercerita soal bagaimana ...

June 15, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Dok Minikino | Begadang
Acara

[Kabar Minikino] – Indonesia Raja 2021 Resmi Diluncurkan Untuk Distribusi Nasional

by tatkala
April 17, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Esai

Gejala Bisa Sama, Nasib Bisa Beda

by Putu Arya Nugraha
April 13, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (69) Cerpen (163) Dongeng (14) Esai (1456) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (11) Khas (353) Kiat (20) Kilas (203) Opini (481) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (10) Poetry (5) Puisi (108) Ulasan (343)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In