Bayangkanlah tahun-tahun tanpa matahari bulan, betapa gelapnya dunia tempat kita hidup ini.
Tak akan tampak, bahkan sesuatu yang ada di depan kita, yang ada hanya kegelapan, lalu kita saling bingung, tobrok sana dan tobrok sini, berbenturan satu dengan yang lainya.
Kadang kepala di atas namun tak jarang kepala dan kaki bersilang sengkarut tak karuan. Lalu semuanya saling oceh dan maki, saling injak dan sikut, dan mengeluarkan segala suara tak jelas. Betapa kacaunya tahun-tahun seperti itu.
Waktu gelap, oleh sebab seorang raksasa, yang bernama Rau telah menelan matahari atau bulan, menjadi mitologi gerhana dalam tradisi di Bali. Saat seperti itu adalah saat yang tidak mujur. Warga desa keluar membunyikan kentongan dan menumbuk lesung bertalu-talu agar sang kala rau melepasakan matahari atau bulan, dan dunia bisa terang kembali.
Begitulah Indonesia di tahun-tahun belakangan ini, bagaikan gerhana berkepanjangan. Langit siangnya tanpa matahari, dan malamnya tanpa bulan. Sebabnya tiada lain, persaingan politik yang seakan tiada berujung.
Pemilu yang mana seharusnya menjadi panggung orang-orang terpilih, menjadi rusak karena hadirnya para bandit-bandit yang menyamar menjadi budiman, persis seperti Raksasa Rau yang menyamar menjadi Dewa dalam antrian untuk mendapatkan tirta amerta.
Karena ambisi untuk mendapatkan tirta amerta atau air keabadian itu kandas oleh karena tipu muslihatnya diketahui oleh Dewa Aditya dan Dewa Candra, Raksasa Rau menyimpan dendam berkepanjangan, dan setiap saat siap menelan matahari dan bulan, lalu menjadikan bumi menjadi gelap di bawah bayang-bayang kuasanya.
Raksasa Rahu yang kepalanya telah terpisah dengan tubuhnya, mengembara, menyebarkan kebencian, hoak, dan fitnah. Mengacaukan logika berpikir rakyat, hingga kebenaran menjadi kabur.
Orang-orang kehilangan pegangan, seniman menjadi gila, konglomerat tambah rakus, filosof dan politikus mengoceh tak karuan juntrungnya.
Raksasa Rahu dan pengikutnya juga memakan apa saja, jabatan, kursi, tanah, lahan luas, tambang, kebun sawit, hutan, gunung dan bukit. Uang rakyat ditilep, emas digondol, dan suara rakyat dikebiri.
“Hoooi, Kala Rau… sing betek-betek cai…! “ [T]