“Sudah mau mulai teaternya?” Aku bertanya pada seorang pemain. Ia menjawab “sudah sekarang yuk”. Lalu pemain itu berlari ke halaman depan. Aku mengikuti dengan rasa penasaran dan bingung. Semakin bingung lagi saat aku melihat seorang pemain wanita duduk di atas tembok dengan memakai pakaian serba putih sambil membawa payung. Sontak aku kaget dan juga penasaran. Tak lama, penonton yang sudah sedari tadi berkumpul di halaman tengah dipersilakan keluar oleh sang sutradara, I Wayan Sumahardika alias Suma menuju halaman depan. Dengan cepat mereka mengambil alih tempatku tadi dimana aku bisa leluasa berdiri menikmati kebingunganku. Halaman depan menjadi ramai, agak sesak. Mungkin mereka juga penasaran dan bingung sama sepertiku.
Pemain wanita itu mulai meliuk-liukkan tangan mengikuti alur benang-benang yang tergantung di hadapannya. Musik dan lampu dihidupkan membuatku merasa lega karena aku bisa melihat dengan jelas dan suara musik yang dihidupkan mampu membuat suara bising kendaraan semakin samar-samar.
Ya, begitulah pembukaan pentas Teater Kalangan di hari pertama Parade Teater Canasta di Canasta Creative Space, Jalan Tukad Sanghyang, Denpasar, Senin 29 Oktober 2018.
Pembukaan penampilan teater ini dimulai di halaman depan yang bersebelahan dengan ramainya jalanan. Entah apa tujuan dibalik lokasi yang dipilih. Tak lama, gerbang halaman depan dibuka oleh seorang pemain pria dan pemain wanita turun dari panggung temboknya itu. Di beberapa adegan, para penonton diminta untuk berpartisipasi aktif dengan cara ikut selfie dengan para pemain saat pemain pause. Jelas dominan para penonton malu – malu untuk berselfie ria dengan para pemain. Tapi ada juga penonton yang bersemangat untuk selfie bersama pemain mungkin mau diupload di Facebook. Ya, mungkin supaya sesuai dengan tema naskah penampilan tetaer ini yang diangkat dari komentar-kometar di Facebook.
Tak lama para penonton digiring menuju ruang tamu. Penonton saling bersesakkan menikmati dansa mesra para pemain. Lampu remang – remang menambah keintiman para penonton menikmati pertunjukan kedua pemain teater itu. Tapi entah mengapa aku justru terpusat dengan rok kain brokat yang digunakan pemain wanita, yang tersorot lampu.
Tanpa diduga seorang pemain pria mengambil salah sebuah handphone milik penonton dan membawanya lari ke sebuah ruangan, dengan segera penonton lainnya menyusul. Ternyata di ruangan itu sudah tergeletak tubuh lunglai pemain wanita ditemani payung dan bahan – bahan masakan, diiringi dengan kerasnya suara adzan. Semua terlihat sangat berantakan. Menurutku mungkin sang sang sutradara ingin menyampaikan bahwa jika kita terlalu sibuk di social media maka kehidupan kita di dunia nyata akan terabaikan atau bahkan bisa menjadi berantakkan hingga lupa akan kewajiban untuk berdoa.
Hanya beberapa saat penonton dapat menikmati pertunjukkan, seorang pemain pria dengan seenaknya mengambil alih dengan kata “Cut! Cut!”. Sontak aku merasa kecewa karena belum puas menonton. Tapi para penonton dipersilahkan memasuki ruangan, dimana ruangan itu lebih kecil dibandingkan ruang-ruang sebelumnya.
BACA JUGA:
- Hal-hal Kecil yang Teater? – Pertanyaan di Parade Teater Canasta 2018
- Melalui Kesunyian Suara Bisa Terdengar – Bersama Wanggi Hoed di Parade Teater Canasta 2018
Kami semakin berdesakan dan para pemain mengajak penonton untuk duduk melingkar sambil berdiskusi tentang pendapat kita terhadap dunia maya. Sama seperti netizen yang tanpa sengaja membentuk suatu regu di dunia maya tanpa memandang ras untuk saling menilai pribadi lainnya di social media. Lalu kedua pemain itu memberikan kapur pada penonton untuk segera mencoret-coret tembok dengan kata-kata apapun yang mungkin penonton buat di wall Facebook pribadinya. Nampak jelas campur aduk wajah kebingungan dan sumringah para penonton. Para penonton dengan cepat menyerbu tembok, mencoret-coret sesuka hati. Ada yang sambil senyum-senyum sediri, ada yang tertawa bercanda dengan teman dan ada juga yang nampak serius menulis kata-kata yang mungkin bisa menunjukkan identitas dirinya.
Tembok penuh dengan coretan. Perhatiannku berpindah dari rok brokat ke coretan-coretan tembok dan semangat bahagia para penonton yang gembira bisa ikut mengekspresikan dirinya melalui coretan dinding yang diumpamakan sebagai status facebook. Benar saja, pertunjukkan teater yang berjudul “Tiga Lapis Kesedihan” ini diangkat dari naskah-naskah yang bersumber dari komentar facebook.
Pada sesi diskusi, sutradara menjelaskan bahwa para pemain tidak melakukan latihan gerak tubuh sebelum pentas, melainkan hanya berupa diskusi-diskusi bertemakan social media khususnya facebook. Pementasan Teater Kalangan memang seringkali membuat penonton merasa bingung dan penasaran namun selalu memberikan kesan yang mendalam. Penonton diajak untuk berpartisipasi langsung di dalam pertunjukan dan bebas tanpa sekat mengikuti alur yang telah dibuat oleh sang sutradara dan dimainkan oleh tokoh-tokoh yang membuat penonton selalu ingin hadir di setiap pertunjukannya. (T)