PASAR, tempat jual beli yang hidup dan yang mati. Tentu ada harga yang mesti dibayar. Harga bergantung pada kualitas dan kuantitas barang, juga kemampuan pembeli. Semua itu seperti jaring laba-laba yang berkelindan. Sekarang tinggal menunggu, serangga jenis apa yang akan terperangkap.
Jual beli seperti hubungan yang saling menguntungkan. Tidak ada yang merasa dirugikan. Yang dirasa hanya untung. Lebih lagi jika yang kita bicarakan adalah Bali. Tidak ada orang Bali yang rugi. Semuanya untung.
Mungkin karena selalu merasa beruntung, tidak banyak orang menyangka akan ditimpa kerugian. Ruginya sampai titik rupiah penghabisan. Apa yang akan terjadi bagi orang-orang yang terlanjur merugi? Tentu saja keberuntungan. Untunglah orang merugi tidak banyak. Jika pun banyak, untunglah tidak sampai dijualnya rumah. Jika rumah telah dijual, maka untunglah tidak dijual dirinya. Jika diri terlanjur dijual? Jawablah sendiri, saya belum mampu menjawabnya. Maaf.
Siapa yang rela menjual diri? Saya tidak pernah merasa antipati pada orang-orang yang menjual diri demi kepentingan tertentu. Saya meyakini, tentu ada banyak sebab atas fenomena semacam itu. Saya merasa beruntung, pernah diajarkan untuk mencari-cari sebab. Sayangnya, belum sampai pada pelajaran pencarian solusi, sekolah tiba-tiba dibubarkan. Pelajaran selanjutnya harus saya tempuh pada sekolah sosial. Maksud saya, di tempat masalah-masalah itu muncul.
Untuk belajar di luar sekolah atau pun kampus. Bukan berarti tanpa biaya. Bayangkan, jika kemana-mana tidak pernah makan dan minum. Atau tidak pernah ganti baju. Andai saja, tiap hari tidak mandi. Meski mandi tapi tidak pakai sabun. Semua itu perlu biaya. Belajar di sekolah atau kampus, perlu membayar SPP [saya lupa kepanjangannya]. Setelah bayar SPP, harus ada biaya print out tugas. Jangan lupa juga membeli buku-buku, yang kadang ditawarkan dosen.
Saya selalu membayangkan, saya adalah ikan. Pengajar adalah burung. Tiba-tiba kolam tempat saya tinggal mengering. Maka saya tambatkan hidup pada kemampuan burung terbang dan mampu membawa saya ke kolam yang airnya berlimpah. Sayangnya saya lupa bertanya, apakah burung itu vegetarian dan tidak makan ikan?
Analogi yang serupa saya lakukan ketika seseorang menawarkan diri untuk menjadi pemimpin. Saya termasuk jenis ikan apa, saya tidak tahu. Tapi pemimpin selalu saya bayangkan sebagai seekor garuda. Di dadanya ada perisai, di kakinya ada pita bertuliskan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kata-kata itu konon ditulis seorang Mpu bernama Tan Tular. Ditulisnya kata-kata itu pada puisi berjudul Sutasoma.
Sutasoma dibuka dengan kata-kata Shri Bajra Jnana. Shri itu penguasa. Bajra adalah kilat. Jnana bisa berarti pengetahuan yang tidak pernah habis. Sebutan itu entah ditujukan pada siapa, mungkin saja Sang Buddha. Ketika membaca kata Buddha, saya selalu menghubungkannya dengan Buddhi. Pada suatu adegan di dalam kakawin itu, Sutasoma pergi ke Ksetra Gandamayu. Di tempat itulah ia mendapat anugerah.
Ksetra Gandamayu itu konon nama kuburan. Sehubungan dengan kuburan, ada cerita yang lucu bagi saya. Suatu ketika, saya sedang berjalan-jalan di pesisir pantai, bersama seorang teman. Dia tiba-tiba ia menunjuk ke suatu arah. “Itu Pasar”, katanya. Terus terang saya kebingungan waktu itu, sebab setelah saya perhatikan, tidak ada orang di sekeliling, apalagi pasar.
Ciri-ciri keberadaannya pun tidak ada. Sambil tertawa dia menunjuk ke gundukan tanah yang ditumbuhi ilalang. Barulah saya ngeh, yang dimaksudnya adalah Pemasaran: Kuburan. Dia menertawakan kebingungan saya, dan saya menertawakan diri sendiri. Kami sama-sama tertawa.
Kami menertawakan kebingungan, dan sekarang saya mungkin juga harus tertawa, sebab bingung melihat sekeliling sudah seperti pasar. Ada orang-orang menjajakan dirinya untuk dibeli oleh entah siapa. Bukan tubuhnya, tapi suara. Ia menjual suara, bahkan meski sekalipun tidak pernah bernyanyi. Apakah ia akan menjual suara-suara sumbang? Jika tidak, mungkin suara-suara demi sumbangan. (T)