SALAH satu karya musik Ludwig van Beethoven yang saya sukai, selain Moonlight Sonata – adalah Eroica, symphony No.3 in E flat major (op, 55). Karya yang diselesaikan Beethoven pada Agustus 1804 ini — menurut Ferdinand Ries, sahabat Beethoven – semula bertajuk Sinfonia Grande Intitolata Bonaparte del Sigre. Ia, kata Reis, sangat kagum pada Napoleon Bonaparte. Oleh karenanya, tambah Reis, Beethoven khusus mencipta Eroika untuk ‘hero’ kebanggaannya.
Memang, sebelumnya, karya ini hendak didedikasikan pada Napoleon Bonaparte. Namun, Beethoven kecewa karena Napoleon mengangkat dirinya sendiri menjadi kaisar Perancis. Ia, lantas merobek judul tersebut dan menggantinya menjadi “Sinfonia Eroica composta per festiggiare il sovvenire de un grand uomo”. (Simfoni Eroika ini ditulis untuk mengenang seseorang yang agung). Eroica, pertama diperdengarkan ke publik pada 7 April 1805 di Theater an der Wiendi, Wina.
Saat merobek judul pada partitur itu, Beethoven berkata ; “Ternyata Napoleon Bonaparte hanyalah manusia biasa”. Kemarahan Beethoven tidaklah lama, ia kemudian menulis surat pada Breitkopf & Härtel – penerbit musik yang berbasis di Wiesbaden (kantor pusat), Leipzig dan Paris – bahwa karyanya itu sebenarnya bertajuk “Bonaparte”. Beethoven akhirnya menyadari, bagaimanapun juga Napoleon tetaplah manusia biasa. Maka, ambisi yang mewarnai prestasi Napoleon adalah hal yang wajar saja. Namun, bagaimanapun juga, saya tetap mengaggumi sikap kritis Beethoven terhadap ambisi kekuasaan Napoleon.
Kekecewaan Beethoven terhadap tokoh idolanya, tentu tak jauh berbeda dengan perasaan tiap individu yang mengidolakan Ahok saat ini. Ahok, mantan gubernur DKI –‘petarung politik’ ulung yang acap sendirian — juga menjadi idola banyak orang. Tokoh yang tegas dan jujur ini, semula juga dikagumi keharmonisan hubungannya dengan istrinya Veronika Tan, Meski Ahok, terlihat jelas waktunya banyak tersita oleh kesibukannya sebagai gubernur.
Selama menjadi pejabat, ia betul-betul menjadi pelayan masyarakat. Jarang sekali terlihat Ahok berkumpul bersama keluarga. Saat liburan hari raya pun, ia memilih pulang kampung dengan penerbangan kelas ekonomi. Bukan rekreasi ke luar negeri bersama keluarga, seperti kebanyakan pejabat di ‘negeri sebelah’. Saya kurang paham, apakah dengan kegiatannya menjadi pelayan rakyat, membuat perhatiannya pada keluarga sedikit terganggu? Tentu adalah kurang sopan jika saya ingin tahu hal itu.
Demikian juga dengan berita gugatan cerai Basuki Cahaya Purnama pada Veronika Tan, adalah kurang sopan jika saya ingin menelisik lebih dalam. Pasalnya, perceraian itu adalah wilayah privat. Bagi saya, berita tentang gugatan cerai itu memang mengagetkan. Sama mengagetkan ketika Lady Diana Princess of Wales meninggal dalam suatu kecelakaan yang tragis 31 Agustus 1997. Putri Diana dan pacarnya Dodi Al Fayed tewas dalam kecelakaan mobil di sebuah terowongan di ibukota Prancis itu. Putri Diana akhirnya dimakamkan dalam sebuah upacara pemakaman di Westminster Abbey pada 6 September, 1997.
Saat Lady Diana menikah dengan Pangeran Charles pada 29 Juli 1981, gaun putih dengan trail panjang megah mungkin yang menjadi fokus jutaan mata yang menyaksikan pernikahan Diana dan Charles kala itu via televisi yang disiarkan di 74 negara. Perkawinan megah abad itu, menjadi fokus seluruh dunia. Diana Spencer yang merupakan guru TK dianggap sebagai sosok ideal untuk mendampingi Charles karena sosoknya sebagai perempuan yang baik hati.
Lebih lanjut, berbagai aktifitas kehidupan Lady Diana kemudian menjadi mode yang di-copy tanpa seleksi. Gaya potongan rambut Princess of Wales ini pun selanjutnya menjadi model yang cukup populer di seluruh dunia saat itu. Gaun panjang juga menjadi mode bagi pengantin yang hendak melaksanakan upacara pernikahan. Lady Di lantas menjadi idola bagi masyarakat dunia, sebagai putri kerajaan yang fantastis seperti bayangan kita tentang Cinderela atau cerita-cerita 1001 malam. Kisah kasih kedua mempelai, tentu saja membuat muda-mudi dan calon pasutri di seluruh dunia terpana.
Namun, anganan bahwa Pangeran Charles dan Lady Diana sebagai pasangan yang harmonis, akhirnya runtuh juga. Banyak pihak menyesalkan peristiwa perceraian itu. Dunia dikagetkan dengan perceraian Lady Diana dan pangeran Charles pada 28 Agustus 1996. Usia pernikahan mereka hanya berusia 15 tahun. Publik ikut bersedih. Diduga, Pangeran Charles lebih mencintai pacar lamanya Camilla Parker Bowles dibanding Lady Diana yang memberinya 2 orang putra, Pangeran Wiliam dan Pangeran Harry. Pangeran Charles akhirnya menikahi Camilla 9 April 2005.
Beethoven kecewa pada Napoleon, penggemar pasangan Lady Diana dan Pangeran Charles yang kecewa pada akhir kisah pasangan kerajaan Ingrris ini, juga penggemar Ahok yang kecewa dengan berita yang sedang merebak tentang gugatan cerainya – adalah bukti kegaguman mereka yang luar biasa terhadap tokoh-tokoh di atas. Kekaguman yang berlebihan itu, membuat para penggemar menuntut kesempurnaan berlebihan pula. Sebaiknya, mari kita biarkan Ahok dan Bu Vero berproses dalam penyelesaian problem rumah tangga mereka. Saya percaya, baik Ahok maupun Bu Vero sudah punya pilihan yang terbaik bagi kedua belah pihak, dan anak-anak mereka. Kita tak bisa menuntut lebih dari batas-batas kemampuan mereka.
Kendatipun demikian, apapun yang menjadi keputusan mereka berdua – hal itu tak akan mengurangi rasa hormat dan kekaguman saya pada sosok Basuki Cahaya Purnama. Bagi saya, dia tetap salah satu putra terbaik yang dimiliki bangsa ini. Oleh karenanya, saya ingin menyitir kata-kata Beethoven saat merobek judul partitur Eroika tersebut. “Bagaimanapun juga, Ahok tetap manusia biasa”. Ah….dari pada saya berharap dan menuntut hal-hal yang berlebihan dari pasangan Ahok dan Vero, sebaiknya saya nikmati saja karya Beethoven, Eroika. (T)