“Karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa” — isi dari Pembukaan UUD 1945 ini kerap kali kita dengar bahkan kumandangnkan. Namun mari berkaca pada negeri ini, berkacalah melihat ke atas dan ke bawah.
Ketika kita melihat ke atas, kita melihat kuasa tirani di atas gedung yang mengatasnamakan kekuasaan di atas segalanya, bertopang kaki menikmati hasil jerih payah rakyat. Melihat ke bawah, kita bisa melihat kaum terenggut, mereka kehilangan hak, mereka kehilangan tanah ibu pertiwinya sendiri, mereka kehilangan hakikat kemerdekaan.
Negeri ini belum merdeka seutuhnya, kita masih di jajah oleh si pemegang kekuasaan. Kita masih selangkah mundur. Negeri kita perlu dibangunkan, kita terlalu lena di ninabobokan dan di butakan keadaan, kita menolak jeli.
Penghancur negeri kita bukan dari mereka yang bersenjata dan berontak keras namun sebagian mereka yang memimpin dan berdasi, bukan dari mereka yang datang dari luar, namun penghancur negeri kita adalah mereka yang memegang kendali negeri, mereka yang diberi kepercayaan rakyat, mereka yang dilabelkan dengan nama koruptor.
Berawal dari jumlah yang kecil berujung merampok hak rakyat, berawal dari anggapan biar saja tak tahu menjadi candu menghisap jumlah angka yang bernominal angka nol menjajar.
Ibu pertiwi kerampokan, negeri celaka, bangsa ini kehilangan moral. Kemana perginya sumpah di atas kitab suci, jika masih saja membuat busung lapar di negeri? Satu manusia tak berperasaan membunuh banyak jiwa, kepentingan individualis dinomorsatukan.
Negeri kita sudah kehilangan orang-orang jujur, mereka hilang tergiur oleh lembaran bertuliskan nominal rupiah. Bukan saja orang-orang besar berdasi yang melakukan tindakan bernama korupsi tersebut, kitapun tanpa sadar sering melakukan kegiatan memanipulasi rupiah ini. Penyogokan, pemberian suap, membayar sesuatu yang gratis hingga mencuri hak yang tak seharusnya. Kita harus mulai menyalahkan diri sendiri, berkaca ke bawah, agar kita dapat melihat dampak apa yang kita lakukan saat itu.
Mengatakan tidak bukanlah hal yang mudah, kita kerap kali sulit mengatakan kata-kata ini untuk menolak hal instan yang mempermudah kita dalam segala hal, namun dengan hal yang tidak seharusnya. Inilah yang harus kita refleksikan kembali, karena tugas mengawasi hal-hal kecurangan kasus korupsi bukan saja tugas para KPK, namun ini adalah tugas kita masyarakat yang kritis dan berani. Karena perubahan bukanlah di mulai dari angka makro, namun dimulai dari individualis yang mau dan mampu melawan bangsanya.
Kekebalan hukum tidak menjadi hak siapapun, semua adalah sama di muka hukum, status jabatan tidak berpengaruh. Seseorang yang bersalah harus dihukum sesuai dengan kesalahannya, bukan jabatannya. Begitulah seharusnya hukum berjalan, namun seringkali terjadi ketidakseimbangan, tak berjalan seiringan dan lebih memihak penguasa. Hukuman bisa dibeli dengan uang, bahkan di beli memakai uang yang asalnya dari rakyat itu sendiri.
Kita begitu naïf, meneriakan semboyan anti korupsi, mengutuk setiap koruptor negeri, sampai lupa untuk mengkoreksi diri, bahwa selama ini kita masih berpihak di belakang para pelakon. Kita sering melakukan penawaran berupa rupiah untuk pembebasan dari suatu masalah, kita masih menginjak harga diri rakyat pertiwi, kita masih tega menjual harga republik ini. Menanggalkan kepentingan pribadi, pergilah untuk menjadi penyelamat negeri, jangan biarkan NKRI kerampokan dihisap kuasa tirani. (T)
Catatan: Esai ini peserta Lomba Penulisan Esai, Festival Anti Korupsi Bali, 2017