PERSOALAN Pariwisata di Gumi Delod Ceking adalah persoalan seputar SMA (Sampah, Macet, dan Air). Persoalan itu mencuat dalam Focus Group Discusion (FGD) di Wantilan ITDC Nusa Dua (Senin,9/6/2025). FGD yang diinisiasi Camat Kuta Selatan, Dr. I Ketut Gede Artha, A.P.,S.H., M.Si. dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat Kuta Selatan dari 9 Desa Adat dan 6 Desa/Kelurahan di Gumi Delod Ceking. FGD yang berlangsung selama 3,5 jam dimulai tepat waktu pada pukul 09.00 Wita tetapi berakhir molor 30 menit, dari jadwal yang ditetapkan pukul 12.00 Wita. Itu pertanda menariknya FGD dengan isu-isu pariwisata di seputar Kuta Selatan.
FGD yang melibatkan para tokoh masyarakat Kuta Selatan (DPRD Bali, DPRD Kabupaten Badung, Lurah/Perbekel, Bandesa, dan akademikus) itu berlangsung hangat dialogis dengan tiga pembicara sebagai pemantik ; Prof. Dr. Dasi Astawa (Undiknas), Ketua PHRI Badung I Gusti Agung Rai Surya Wijaya, dan General Manager ITDC I Made Agus Dwiatmika.
Prof. Dasi Astawa yang memantik diskusi menyampaikan kegundahannya dengan perkembangan Pariwisata Bali secara masip dan dampaknya amat terasa di Badung dan Kodya Denpasar. “Ketika berbicara pariwisata Bali, pikiran orang Bali tertuju pada Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita). Badung terutama Kuta, Kuta Selatan, dan Kuta Utara. Dampaknya belum optimal sesuai dengan harapan. Bali belum mengoptimalkan DOA (Dana, Orang, dan Aset) yang telah dipunyai. Akibatnya, sektor informal diambil alih kaum urban. Orang Bali menjadi penonton. Bahkan, BALI diplesetkan “Belog Ajum Lengeh Inguh”, kata akademikus Undiknas yang vokal menyuarakan kebijakan pemerintah seraya memberikan solusi.

Kegundahan Dasi Astawa sebenarnya sudah dirasakan segelintir krama Delod Ceking sejak Nusa Dua dijadikan Kawasan Wisata Elite pada awal 1970-an oleh Presiden Soeharto pada era Orde Baru. Tokoh dari Gumi Delod Ceking, Ir. I Nyoman Glebet sudah sering menyuarakan keberpihakannya kepada masyarakat lokal agar tidak tercerabut dari akar budayanya yang bersumber dari tradisi agraris dan maritim. Ia tidak ingin Gumi Delod Ceking kehilangan alas kekeran, alas bengang, alas buhu (sepi), umah jangkrik, ngampan (tebing), lampan (daratan di tengah laut), sampan, dan sekeh. Penanda budaya itutelah diguratkan dalam ingatan kolektif masyarakatnya sejak dahulu kala, sebagai penanda budaya agraris dan maritim. Penanda itu kini sebagian tinggal kenangan, sebagian lagi masih ada, tetapi bentuk, fungsi, dan maknanya berubah.
Tinggalan itu akan menguap dalam ingatan kolektif krama Delod Ceking bila tidak ada generasi tua yang mau menuturkan ke anak cucunya. Distransformasi informasi dari orang tua ke anak cucu tak terhindarkan. Apa yang dikhawaritkan Ir. I Nyoman Glebet, seorang arsitek tradional Bali, kini menjadi kenyataan. Wong sunantara makin eksis, wong pribumi makin sembunyi (mengkeb) sembari melempar wacana. Berisik. Mereka gengsi mengambil peran informal yang makin hari makin dikuasai pendatang. Akibatnya, mereka lebih sebagai penonton alih-alih menjadi penuntun.
Terlepas dari paparan Ketua PHRI Badung dan General Manager ITDC Nusa Dua yang menunjukkan optimisme kunjungan wisatawan ke Bali, sejumlah persoalan yang mencuat akibat dampak pariwisata perlu dicarikan solusi secara tepat dan cepat. Solusi yang ditawarkan peserta adalah Pariwisata berbasis masyarakat dengan pemberdayaan masyarakat lokal melalui Bhaga Utsaha Padruen Desa Adat (BUPDA) yang sudah ada di masing-masing Desa Adat dan nyata hasilnya dirasakan masyarakat.

Selain itu, budaya bermain layang-layang bagi anak Bali jangan sampai dilarang hanya demi memanjakan wisatawan yang konon berkelas. “Malayangan adalah simbol rare angon yang terhubung dengan tradisi upacara berbasis agraris”, kata Bandesa Adat Peminge, I Wayan Warsa. Melarang Nak Bali malayangan sama dengan mematikan sebagian kebudayaan Bali. Kerianggembiraan para pengangon malayangan adalah bagian dari pelestarian olah raga tradisional berbasis spiritual. Dalam konteks kekinian, inilah yang disebut membangun 7 kebiasaan Anak Indonesia Hebat.
Selain itu, persoalan SMA (Sampah Macet Air) perlu dicarikan solusi terbaik. Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber Palemahan Kedas (PSBS Cadas) yang digagas Pemerintah Provinsi Bali perlu dijalankan dengan membangun teba modern seraya mengedukasi masyarakat menumbuhkan kesadaran bersama di masing-masing Desa. Bila di masing-masing keluarga belum mampu secara optimal, setidaknya Desa Adat memiliki pengelolaan sampah di desa/kelurahan masing-masing, seperti dimiliki Desa Adat/Kelurahan Tanjung dan Desa Kutuh. Sampah tuntas di masing-masing Desa. “Desaku bersih tanpa mengotori desa lain. Desaku lestari tanpa sampah plastik”, demikian ajakan Gubernur Wayan Koster yang tertuang dalam SE Nomor 9 Tahun 2025.
Persoalan berikutnya adalah kemacetan yang belum menemukan solusi. Dalam jangka pendek, tampaknya perlu segera dibangun underpass di simpang Mcdonal dan Kampus Unud Jimbaran. Jalan lingkar Nusa Dua Selatan tembusan Kutuh – Ungasan – Pecatu – Jimbaran perlu segera direalisasikan. Selain itu, jalan-jalan yang sudah ada perlu perawatan dan pemeliharaan secara berkelanjutan termasuk trotoarisasi secara menyeluruh. Kualitas jalan jalur utama pariwisata di Gumi Delod Ceking sering menjadi sorotan publik. Jika musim hujan, banjir pula.
Pemasangan lampu penerangan jalan dan CCTV juga mendesak dilakukan. Keluhan jalan gelap dan tidaknyamannya pengguna jalan itu sudah sering disampaikan tokoh-tokoh masyarakat dari Gumi Delod Ceking melalui grup WA Kecamatan Kuta Selatan. Keluhan itu perlu segera dijawab.
Lalu, persoalan air yang belum terselesaikan dari dulu hingga sekarang. Dulu, krama Gumi Delod Ceking memuliakan air dengan bak penampungan air hujan dan kubangan air yang disebut bangbang. Bangbang kini hilang. Kearifan tatakelola air masa lalu, kini tiada diimani. Air melimpah pada saat musim hujan terbuang percuma menyebabkan banjir. Bersamaan dengan hal itu, mereka krisis air PDAM yang tidak layak diminum. Bahkan untuk mandi pun, perlu pengendapan agar tidak keruh. Artinya, air PDAM juga memerlukan penampungan. Pertanyaan pun menggelinding : Mengapa air di lapangan golf, villa, dan hotel mengalir deras ? Anehnya, forum air dunia (World Water Forum) pada 2024 di Gumi Delod Ceking dinyatakan sukses, sementara keluhan tentang air belum terjawab. Sungguh paradoks.
Begitulah pariwisata di Gumi Delod Ceking, mewah di permukaan. Keropos di kedalaman. Tanah-tanah petani yang terblokir dengan harga pindang, meninggalkan kisah sedih. Tanah bagi manusia Hindu Bali adalah sanan. Kewajiban ritual-spiritual secara berkala adalah tategenan. Jika sanan patah, apa yang dipakai negen?

Habitat tanaman lokal pun tergusur. Juwet, bekul, kem, bangkuang, blatung menghilang dari habibatnya. Tempat komunitas kera juga terganggu. Kawanan kera demo ke rumah-rumah penduduk. Belum ada solusi. Petani kehilangan lahan, bersamaan dengan itu ritual berbasis agraris – maritim makin marak. Pastinya perlu biaya tidak sedikit. CSR hotel mestinya memberikan kontribusi bagi Desa Adat setempat.
Moratorium pembangunan pariwisata dan perumahan di Gumi Delod Ceking perlu dan mendesak diberlakukan. Izin berbasis On line Single Submission (OSS) perlu ditinjau kembali. Legislator dan eksekutor perlu menyamakan persepsi. Pelibatan masyarakat adat dan hak-haknya perlu diperhatikan sebagai bagian dari partisipasi publik. Penting juga dipikirkan lahirnya “Piagam Gumi Delod Ceking” untuk pariwisata budaya berkelanjutan, sebagai mana diusulkan akademikus Undiksha, I Wayan Suwendra dari Desa Adat Peminge, seraya mengusulkan FGD seperti ini perlu ditradisikan secara berkala. [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT