—Catatan Harian Sugi Lanus, 13 Juni 2025
***
Ini adalah sebuah jejak “peradaban jagung”.
Tampak seorang ibu berasal dari pulau Nusa Penida, Bali, merantau ke Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, NTB, menyuguhkan sesaji (banten) di depan karung-karung berisi jagung. Berdoa dengan “gaya bercakap-cakap”. Gaya ini disebut “masaha” atau “masasontengan”.
[Buka IG: https://www.instagram.com/reel/DK06gfMT5BP/?igsh=MWR0eWs5aWMycmQ1OA%3D%3D]
Isi doanya:
— Membangunkan pada “leluhur jagung” dengan banten sesaji ayam panggang dan tumpeng.
— Ijin mau merontokkan jagung lalu dimasukkan ke dalam karung nantinya.
— Sang ibu meminta kepada leluhur jagung agar membantunya menjadi berat seberatnya jika datang tukang timbang.
— Sebab, hanya sang jagung yang ditanam dan dirawatnya yang bisa meringankan bebannya dari kemelaratan. Tidak ada yang lain harapannya adalah si jagung membantu meringankan beban hidupnya.
— Kalau tidak engkau wahai jagung, lalu siapa yang meringankan bebanku?
Doanya berbahasa Bali bercampur Bali kuno, ditandai dengan penggunaan kata ‘’la’ atau kola” (yang berasal dari kata ‘kaula’) untuk kata ‘aku’. Aku = ‘la’ = ‘kola’. Kata ‘ta’, dalam ungkapan “katung ta” terasa nuasa Bali kuno-nya.
—
Seha/Sesonteng atau ucapan lengkapnya seperti ini:
BAHASA BALI
Nah
kaki-dadong
Kumpi-Buyut
leluhur jagung
Le bangun sayang…
Ne kola teka mai
lakar mapuaran
ngabang Ida banten ayabang
banten ayabang matumpeng dadua
mabe siap panggang
Nah
kola kal ngerontok
nah disubane ba peragat ngerontok
penpen sik karung ta
ada pengidih la
tulungin kola
Ada anak nimbang mai
apang ngidang Ida
baat sebahat-bahata
apang nyak Ida mesari
sesarine tune
apang ngidang Ida ngeringan beban la ne
Anak Ida dang tajuk la ne
garap la ne
bertahun-tahun ne
lamen dong Ida ngeringanang beban la ne
men nyen?
Nah
ingetang Jagung
apang nyak Ida mesari
Swaha-swaha-swaha…
BAHASA INDONESIA (terjemahan)
Wahai
kakek-nenek
nenek moyang
leluhur jagung
Wahai bangun sayang…
Ini aku datang ke sini
hendak memberitahukan
membawakan Engkau sesaji ayaban
sesaji ayabang berisi dua tumpeng
dengan ayam panggang
Nah
aku akan merontokkanmu
nah setelah selesai merontokkamu
akan disimpan dalam karung
ada permintaanku
bantu aku
Ada orang ke sini menimbangm
semoga Engkau bisa
seberat-beratnya
agar Engkaiumembawa isi rejeki
mejekimu itu
agar bisa Engkau meringankan beban hidupku ini
Engkau yang kutanam
kugarap
bertahun-tahun
Jika bukan Engkau yang meringankan bebanku ini
lantas siapa?
Nah
ingat wahai jagung
agar sedia Engkau memberi rejeki
Tercapai-tercapai-tercapai….
—
Begitulah, di benak orang Bali, jagung dan segala tumbuhan memiliki ‘jiwa’ dan leluhur. Bisa diajab bercakap-cakap, seperti yang dilakukan saban 210 hari di hari Tumpek Tanaman.
Jagung dan tanaman, bagi petani Bali adalah partner hidup. Sandaran kehidupan petani. Dihormati dan bisa biasa diajak bercengkrama.
Manusia Bali di dalam hatinya selalu terbuka untuk bekerjasama dengan alam beserta isinya, untuk meringankan beban hidupnya. Keberadaan tumbuhan dan hewan di muka bumi adalah modal hidup yang membuat orang Bali (dulunya) tidak mengenal menyerah. Tanah tegalan dan sawah adalah partner dan saudara terdekatnya yang harus dihormati dan diajak berkerjasama. Patang dan haram untuk menjual “saudara” yang berupa modal hidup, yang bernama tanah tegalan dan sawah.
Tanah tegalan dan sawah adalah modal terbesar peradaban Bali. Yang lain adalah modal tambahan. Upakara, seni, tari, dll, hanya tambahan. Tanah, tegalan dan sawah adalah modal dasar awal hidup dan kehidupan. Yang diperlukan di atas tanah-tegalan-sawah adalah keseriusan diri untuk bekerjasama dengan mereka (tanah-tegalan-sawah) agar bisa melampaui atau mengatasi beban hidup sehari-hari yang dihadapi sebagai manusia di bumi ini. Bukan mengkonversi, apalagi menjualnya. Begitulah manusia Bali (dulunya). [T]
[Buka IG: https://www.instagram.com/reel/DK06gfMT5BP/?igsh=MWR0eWs5aWMycmQ1OA%3D%3D]
BACA artikel lain dari penulis SUGI LANUS