BERANJAK dari karya dwi matra Diwarupa yang bertajuk “Metastomata 1& 2” ini, ia mengusung suatu bentuk abstrak. Menurutnya, secara empiris tema Metastomata dapat mewakili konsep dalam berkarya nya Ia, Dengan bebas, Diwarupa mencoba bentuk-bentuk improvisasi. Ini, tambahnya, cendrung mengalir dgn kebebasan yg alami, imajinasi mengalir tanpa framing imaji tertentu.
Melalui pemahamannya terhadap tema Metastomata, dapat di interpretasikan sesuai dgn tema kali ini, Diwarupa memadankan, dimana ia memposisikan sebagai regulator dlm segala aspek proses kreatifitasnya – baik itu berinteraksi secara fisik ataupun non fisik. Sedangkan kecendrungan kecenderungan akan effect yg di peroleh dari improve tadi memberi visual yg secara kasat mata. Yakni sesuatu yg tdk menggambarkan wujud yg realistis, tetapi menghadirkan bentuk-bentuk yang penuh perhitungan secara balancing dan proporsional sebagai elemen yg utuh (abstrct form). Jadi, tambahnya, wujud dalam karya ini tidak lagi berasumsi menggambarkan sesuatu realistik tetapi menghadirkan sesuatu wujud yg baru ( new form )
Karya yang dipamerkan dalam rangkap 29 tahun Kelompok Seni Galang Kangin (KSGK) di Neka Art Museum tanggal 18 April hingga 18 Mei ini, benar-benar mencerminkan kebebasan ekspresi dan improvisasi dalam seni abstrak. Proses kreatif yang di gambarkan – di mana bentuk dan elemen terjadi tanpa framing tertentu—menghadirkan sesuatu yang segar dan mengalir alami. Pendekatan ini menempatkan perupanya sebagai pengatur atau “regulator” yang menjaga keseimbangan dan proporsi dalam abstraksi tersebut.

Diwarupa, “Metaverse”, tri matra, bola dan bubur kertas
‘Pembacaan’ Diwarupa, tema “Metastomata” menekankan pentingnya membebaskan imajinasi mengalir tanpa batasan. Ini mendukung pendekatan seni yang tidak terikat oleh norma realistis, melainkan lebih pada energi dan intuisi kreatif. Dengan menghindari gambaran realistis, Ia berhasil menciptakan bentuk-bentuk unik yang mengundang interpretasi. “New form” ini menantang penikmat untuk menemukan hubungan visual dan emosional melalui elemen-elemen seperti garis, warna, dan tekstur.
Karya Metastomata 1 oleh I Nyoman Diwarupa ini adalah sebuah lukisan abstrak yang penuh dengan energi visual dan kompleksitas komposisi. Menggunakan akrilik di atas kanvas dengan ukuran 147 x 122 cm, karya ini menampilkan berbagai bentuk dan warna yang saling bertautan, menciptakan kesan kedalaman dan gerakan yang dinamis. Warna-warna dominan seperti merah, hijau, kuning, dan abu-abu berinteraksi dalam lapisan-lapisan yang kaya tekstur, memberikan nuansa yang kuat dan ekspresif.
Dalam konteks pameran Metastomata: Metamorphosis Manifesto Galang Kangin, konsep Metastomata sendiri merujuk pada perjalanan kreatif dan refleksi ekologi. Istilah ini berasal dari stomata, yaitu pori-pori kecil pada daun yang berperan dalam pertukaran gas dan pengaturan suhu. Dalam seni rupa, metafora ini menggambarkan bagaimana kreativitas seniman berinteraksi dengan lingkungannya, menciptakan keseimbangan antara ekspresi pribadi dan ekosistem seni yang lebih luas.
Penggunaan akrilik memungkinkan Diwarupa untuk memainkan intensitas warna yang tinggi dan menciptakan lapisan tekstur yang memberikan kesan kedalaman dan keberanian visual. Teknik layering yang tampak pada karya ini menunjukkan proses penciptaan yang intens dan spontan, di mana setiap lapisan menambahkan narasi tersendiri dalam dialog visual antara kekacauan dan keteraturan. Bagi saya, sungguh menarik ‘narasi visual’ yang dibangun oleh Diwarupa melalui medium karya abstraknya.
Judul “Metastomata 1” mengisyaratkan ide perubahan dan transformasi—suatu konsep yang sering muncul dalam kehidupan, baik secara emosional maupun eksistensial. Interpretasinya bisa sangat personal. Kedua karya ini mungkin mengajak kita merefleksikan tentang perubahan diri, pertumbuhan, atau transisi dalam hidup. Dinamika bentuk yang terus berubah dapat diartikan sebagai simbol perjalanan batin yang tidak pernah berhenti.

Para audiens merespon Metaverse, karya tri matra Diwarupa
Di balik ‘kekacauan’ tampak, ada struktur yang tersembunyi. Mengamati bagaimana elemen-elemen bertemu dan berinteraksi, pemirsa bisa merasakan adanya “aturan” di balik apa yang tampak seolah tidak teratur. Hal ini dapat merefleksikan realitas kehidupan modern yang penuh dengan ketidakpastian sekaligus memiliki pola tersembunyi di dalamnya. Kombinasi warna yang penuh semangat dan bentuk yang energetik juga membawa nuansa emosional yang mendalam. Mungkin karya ini merepresentasikan pergolakan batin, di mana setiap lapisan warna dan tekstur menggambarkan perasaan yang kompleks dan berlapis.
Selanjutnya, mari kita dalami karya “Metastomata 2” oleh Diwarupa. “Metastomata 2” merupakan karya abstrak yang dibuat dengan cat akrilik di atas kanvas berukuran 147 x 122 cm dan diselesaikan pada tahun 2025. Penggunaan akrilik memberikan kebebasan dalam menciptakan tekstur yang kaya serta lapisan warna dengan intensitas tinggi. Teknik layering dan penumpukan elemen visual mencerminkan proses penciptaan yang spontan dan penuh eksplorasi, di mana setiap lapisan tampak saling berinteraksi untuk menghasilkan narasi yang kompleks di atas kanvas.
Dalam karya ini, Diwarupa menghadirkan kombinasi warna yang menarik—dari nuansa biru dan hijau yang menenangkan hingga oranye dan ungu yang menyuntikkan semangat dan energi. Penggunaan warna-warna ini tidak hanya menciptakan kontras visual yang kuat tetapi juga mengatur ritme komposisi. Pola-pola swirling dan bentuk-bentuk tumpang tindih mengirimkan pesan tentang gerakan dan dinamika tanpa batas. Adanya dominasi warna-warna cerah yang berpadu dengan aksen gelap seperti hitam mempertegas dualitas antara kekacauan dan struktur.
Seperti halnya metamorfosis dalam alam, bentuk dan warna yang saling bertautan mengisyaratkan perubahan yang tiada henti. Kesan kedinamisan ini mengajak pemirsa untuk merenungkan perjalanan perubahan dalam kehidupan mereka sendiri, di mana setiap lapisan dan garis bisa menjadi simbol evolusi batin. Meskipun tampak liar dan acak, tatanan dalam lapisan dan pola menyiratkan bahwa terdapat struktur yang tersembunyi di balik kesan chaos. Hal ini dapat menjadi metafora kehidupan modern, di mana di balik ketidakpastian selalu ada pola yang menuntun kita menuju pemahaman dan kejelasan.
Kontras antara warna-warna yang menenangkan dan yang energetik menciptakan spektrum emosional yang luas. Karya ini mengundang setiap individu untuk menemukan resonansi pribadi; apakah itu perasaan damai, kegelisahan, atau bahkan semangat yang meluap, semua tersimpan dalam interaksi visual lukisan.

Diwarupa, “Metastomata 2”, acrylic on canvas, 2025
Ukuran yang besar dan kompleksitas elemen visual dalam “Metastomata 2” membuat karya ini menjadi pengalaman yang imersif. Saat berdiri di hadapan karya tersebut, penikmat seolah diajak menelusuri labirin emosi dan refleksi—mencermati detail-detail halus yang menampakkan perjalanan pikiran dan perasaan. Proses pengamatan ini memberikan ruang bagi setiap orang untuk menafsirkan karya sesuai konteks pribadi. Seperti menikmati sebuah puisi, menjadikan sebuah karya, baik karya rupa maupun puisi, setiap penikmat memiliki interpretasi unik dan mendalam. Oleh karenanya, karya Metastomata 1 & 2 ini saya identikkan dengan ‘puisi visual’.
Jika hendak memadankan karya Diwarupa dan perupa internasional, maka saya memadankannya dengan pelukis Amerika, Joan Mitchell. Saya tak memadankan secara visual, tapi spirit penciptaannya. Ia, salah satu tokoh penting generasi ke dua penggayaan Ekspresionis abstrak. Tak jauh berbeda dengan Diwarupa, Michel mengembangkan gaya khasnya: garis-garis berirama yang saling berlawanan dan bidang-bidang warna berlapis. Ini menjadi bahasa yang digunakannya untuk mengomunikasikan emosi dan pengalaman hidup.
Saat menggambarkan lukisan karyanya ‘Bonjour Julie’, tahun 1970-an, kurator Klaus Kertess menulis bahwa Mitchell mendapat inspirasi untuk gaya lukisan ini dari karya de Kooning, Arshile Gorky, dan Vasily Kandinsky. Namun, ia mencatat: “Seluruh pengaruh tidak sama dengan lukisannya. Penyebaran cahaya yang halus; sapuan kuas sebagai proyektil dalam pertempuran genting antara keteraturan dan kekacauan; dan kompresi sentripetal dari sapuan, warna, dan bentuk… mentransposisi berbagai polifoni, urban dan organik, dari Kandinsky, Gorky, dan de Kooning ke dalam orkestrasi yang secara khusus merupakan orkestrasi Mitchell.”, Tandas Klaus. Menurut saya, demikian juga perbandingan antara Diwarupa dan Joan Michell, yang saya padankan proses kreatifnya.
Selain itu, pendekatan gestural dan pemilihan palet warna yang dinamis dalam “Metastomata” kadang mengingatkan pada karya Joan Mitchell—di mana tiap goresan dan perpaduan warna tampak seperti hasil tarian emosi yang mendalam. Meski kedua perupa tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, keduanya berhasil mengungkapkan intensitas dan fluiditas pengalaman melalui abstraksi, sehingga paralel dengan semangat yang dihadirkan oleh Diwarupa.
Menurut saya, penting untuk diingat bahwa karya abstrak selalu membuka ruang bagi penafsiran personal. Bagi sebagian orang, kekuatan visual “Metastomata” memang mengaitkan pada mekanisme spontan dan ekspresif ala Jackson Pollock, sementara bagi yang lain, nuansa emosional yang tersaji bisa lebih dekat dengan karya-karya Joan Mitchell. Hal inilah yang membuat diskursus seni selalu hidup—setiap penikmat seni membawa interpretasi dan pengalaman yang berbeda ketika menyaksikan karya ini.

Nils Udo, “Vulcano”, karya instalasi, a choumont-sur-loire 2018
Sepanjang tahun 1950 – 1970, Mitchell mengembangkan gaya khasnya: garis-garis berirama yang saling berlawanan dan bidang-bidang warna berlapis yang menjadi bahasa yang digunakannya untuk mengomunikasikan emosi dan pengalaman hidup. Pada kritikus, Michel berkata tentang karyanya, “Hal tertentu yang saya inginkan tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Saya mencoba sesuatu yang lebih spesifik daripada film-film tentang kehidupan saya sehari-hari: Seperti puisi, saya ingin mengekspresikan sebuah perasaan, lewat bahasa visual, yang puitik”. Ujarnya. Michel juga membuat ilustrasi buku The Poems (1960), sebuah buku puisi karya temannya John Ashbery. Dan Diwarupa, juga mencipta puisi lewat karya rupa abstraknya.
Kendatipun demikian, meski karya Diwarupa mengedepankan spontanitas, ia tetap menjaga harmoni visual melalui balancing dan proporsi. Ini menciptakan keutuhan dalam komposisi, menjadikan karya tidak hanya ekspresif tapi juga menyenangkan secara estetis. Dalam proses kreatifnya, Diwarupa tidak hanya bekerja dengan elemen fisik seperti media atau tekstur, tetapi juga berinteraksi dengan aspek nonfisik—emosi, intuisi, dan inspirasi dari pengalaman. Hal ini menciptakan dimensi mendalam dalam karyanya. Karya Metastomata 1 & 2, serta Metaverse ini digelar di pembukaan pameran , ditambahkan elemen interaktif atau narasi singkat tentang perjalanan improvisasi perupanya. Ini menarik dan bisa memperkaya pengalaman batin penikmatnya. Terutama karya ‘Metaverse’nya.
Coba mari kita simak karya lainnya Diwarupa yang bertajuk “Metaverse”. Menelisik karya 3 dimensi dari Diwarupa dalam bentuk 36 bola bertekstur kasar dan berwarna cokelat muda, serta tertata pada lantai berubin ini – terasa ada kekuatan simbolik yang mendalam. Setiap bola tampaknya memiliki karakteristik unik, dengan tampilan sedikit kerut atau tekstur seperti permukaan organik. Penataan yang sedikit tidak beraturan memberikan kesan alamiah dan spontan.
Bola sepak yang dibungkus tissue ini, sebagai bentuk dasar bisa merepresentasikan kesatuan atau keutuhan. Jumlah 36 mungkin memiliki arti khusus—bisa simbol numerologi, budaya, atau konsep spiritual tertentu. Mungkin saja bisa dihubungkan dgn angka mistis Nikola Tesla 3,6 dan 9. Metode 3-6-9 melibatkan penulisan tujuan seseorang ; tiga kali di pagi hari, enam kali di sore hari, dan sembilan kali di malam hari untuk mewujudkan keinginan. Berdasarkan kepercayaan Nikola Tesla pada kekuatan mistis angka-angka ini, akan Membantu menyelaraskan pikiran bawah sadar dengan niatan.
Tekstur kasar pada setiap bola mungkin menunjukkan elemen alami atau perjalanan waktu, seperti lapisan makna yang terukir secara bertahap. Penataan yang tidak simetris dapat melambangkan harmoni yang muncul dari ketidakteraturan. Ini mungkin sebuah pernyataan tentang bagaimana kita menemukan keseimbangan dalam kekacauan atau ketidaksempurnaan. Bola dapat diasosiasikan dengan siklus kehidupan, keterhubungan, atau spiritualitas yang mendalam, terutama dalam konteks budaya atau tradisi tertentu.
Judul “Metaverse” yang diusung untuk karya tiga dimensi Diwarupa memberikan dimensi tambahan yang menarik untuk interpretasi. Kata “metaverse” memunculkan gagasan tentang ruang virtual yang terhubung, dunia yang tidak lagi terbatas pada kenyataan fisik, tetapi mencakup kemungkinan tak terbatas di luar realitas yang kita kenal. Hal ini memberikan karya tersebut makna yang futuristik, sekaligus metaforis.
Bola-bola dalam karya dapat direpresentasikan sebagai elemen-elemen dari dunia fisik yang bertransisi menuju realitas digital atau dimensi baru. Penataan yang tidak beraturan mungkin menggambarkan fluiditas dan kebebasan dalam “metaverse,” di mana batasan waktu dan ruang menjadi kabur.
Kombinasi tekstur organik dan kehadiran fisik bola ini dapat menjadi refleksi tentang bagaimana dunia nyata dan virtual dapat berinteraksi dan bertransformasi. Dengan judul “Metaverse,” karya ini dapat berbicara tentang hubungan manusia dengan dunia yang semakin digital—sebuah kritik atau refleksi terhadap cara kita terhubung dan berkomunikasi dalam era modern.
Gambaran Metaverse pada era kini, menurut Diwarupa menggambarkan dunia digital maupun dunia materi. Ini, suatu gambaran dgn pola yg sama, unsur-unsur yang satu dengan yang lainnya terkait dlm satu sistem indra kita. Ia, membentuk dimensi kesadaran yang berbeda-beda – dan dengan itu, imajinya menciptakan komitmen dunia nya secara individual. Seluruh aktivitas nya membentuk objek secara algoritma berulang menjadi wujud hidupnya.
Menurut perupanya, konsep karyanya ini live painting. Melibatkan audiens. Karya ini memberi ruang pada setiap pengunjung utk mengekspresikan imajinasinya, menggambarkan dunia yg dikehendaki, goresan kuasnya mengisyaratkan setiap mahluk memiliki andil dlm keberlangsungan dunia yg mereka pijak. Oleh karenanya, karya ini memiliki potensi besar untuk menantang interpretasi dan menciptakan dialog mendalam dengan penikmat.

Diwarupa, “Metastomata 1”, acrylic on canvas, 2025
Dan pada saat pembukaan, banyak audiens yang merespon karya ini, dengan menorehkan sketsa pada bola-bola kertas tersebut. Setiap audiens, menggoreskan karya sketsanya, sesuai pengalaman estetik dan intelektualnya. Karya ini, lantas ‘membuka’ dialog dengan penikmatnya. Mungkin audiens tertarik melihat susunan sejumlah objek sferis – bola-bola dengan permukaan kasar dan warna netral, seperti beige atau coklat muda, dengan beberapa bercak gelap. Bola-bola tersebut disusun di atas lantai ubin dengan pola yang tampak acak, di mana beberapa bola saling berhimpitan. Kombinasi antara bentuk yang alamiah dan latar geometris ubin menciptakan dialog visual antara ketidakteraturan dan keteraturan. Pola penyusunan yang tampak tidak terduga ini mengundang penikmat untuk menemukan ruang di antara kekacauan dan struktur yang mendasarinya.
Teknik yang dipilih Diwarupa tampak menonjolkan karakter material dari setiap bola. Permukaan yang kasar mengisyaratkan adanya eksplorasi tekstur – sebuah pendekatan yang membuat objek-objek tersebut tidak hanya sebagai representasi visual biasa, melainkan medium untuk menyampaikan pengalaman taktil. Ketika diletakkan pada lantai ubin yang memiliki pola reguler, perbedaan antara sifat alami objek sferis dan kekakuan struktural ubin menambah dimensi dinamika yang kompleks pada karya ini.
Karya ini mengingatkan saya pada karya Nils Udo, seniman Tri Matra asal Jerman. Terutama karya Nils Udo yang bertajuk ; “Vulcano” 2018 yang di gelar di munisipalitas Chaumont-sur-Loire. Kastil Château de Chaumont-sur-Loire, Loir-et-Cher, Prancis ini pertama kali dibangun pada abad ke-10 Masehi oleh Odo 1, Pangeran Blois. Tempat ini sempat dihancurkan oleh Louis XI pada tahun 1465. Rekonstruksi dimulai pada tahun 1469 dan berlanjut hingga abad ke-16 Masehi. Château de Chaumont-sur-Loire terkenal di seluruh dunia karena Festival Taman Internasional acap digelar disini. Kawasan ini merupakan kiblat desain lanskap dan seni kontemporer.
Dalam seni kontemporer, ada pergeseran besar dari sekadar representasi visual menuju eksplorasi materialitas – cara suatu benda berinteraksi dengan ruang dan bagaimana teksturnya mempengaruhi pengalaman sensorik. “Trimatra” mengangkat diskusi tentangmaterial alamiah versus struktur geometris, yang sejalan dengan pendekatan para seniman instalasi masa kini seperti Nils Udo yang sering mengeksplorasi hubungan antara bentuk, ruang, dan tekstur.
Salah satu diskursus utama dalam seni kontemporer adalah bagaimana keacakan dan keteraturanbisa saling bertautan, mencerminkan keadaan sosial, politik, atau emosional dalam dunia modern. “Trimatra” menghadirkan bentuk yang alamiah namun tetap memiliki keteraturan tertentu, sejalan dengan konsep yang kerap muncul dalam seni generatif dan eksperimen ruang seperti yang dilakukan oleh seniman Tri Matra Vietnam Danh Vo, yang menggabungkan bentuk-bentuk geometri dengan estetika alam. Menurut saya, karya-karya Nils Udo dan Danh Vo, banyak yang mengandung nilai-nilai puitik. Demikian juga dengan karya-karya dwi matra maupun tri matra Diwarupa. Perkenankan saya menyebutnya Puisi Visual. [T]
- Sejumlah referensi diambil dari sejumlah sumber
Penulis: Hartanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA