KEBIJAKAN libur panjang (long weekend) yang diterapkan pemerintah selalu diprediksi dapat menggairahkan industri pariwisata Tanah Air. Hari-hari besar keagamaan dan hari besar nasional selalu dibarengi dengan kebijakan cuti bersama yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berwisata.
Asumsi banyak orang terhadap kebijakan libur panjang adalah peningkatan kunjungan wisatawan, terjadinya mobilitas dan pergerakan manusia ke berbagai daerah. Maka, kalangan pelaku pariwisata pun sangat antusias menyambut cuti bersama dan libur panjang itu.
Namun apa yang terjadi? Pergerakan masyarakat Indonesia terganjal oleh efisiensi anggaran dari pemerintah. Pengusaha hotel menjerit. Target mereka untuk mendulang uang dari bisnis konvensi gagal total. Instansi pemerintah membatasi anggaran untuk melakukan kegiatan pertemuan di hotel.
Angka kunjungan wisatawan di beberapa destinasi terkenal mungkin saja meningkat. Akan tetapi peningkatan angka kunjungan tidak dibarengi dengan peningkatan hunian kamar hotel. Semua bertanya-tanya, apa yang terjadi dalam industri pariwisata Tanah Air?.
Pergerakan wisatawan antarpulau dan antardaerah bisa jadi rendah, karena kecenderungan untuk mengunjungi objek dan daya tarik wisata yang lebih dekat dengan tempat tinggal (closer destination). Lantaran hanya berkunjung ke destinasi wisata yang dekat, maka wisatawan tidak memerlukan akomodasi untuk menginap.
Bisa terjadi pula, angka kunjungan wisatawan tinggi di satu destinasi, tetapi wisatawan tidak menginap di hotel. Wisatawan lebih memilih menginap di rumah kost maupun homestay ilegal yang tidak terdaftar dan terdata. Diduga hal ini terjadi di Bali, dan tidak tertutup kemungkinan terjadi juga di destinasi wisata favorit lainnya.
Kenyataan tersebut memunculkan apa yang disebut pseudotourism. Kondisi kepariwisataan yang semu, tidak autentik, dan seolah baik-baik saja. Pseudotourism bukan hanya melanda Indonesia, namun juga beberapa negara yang selama ini mengandalkan pariwisata sebagai sumber pendapatan. Kegiatan pariwisata tetap berlangsung, namun sangat rendah kontribusinya bagi perekonomian negara dan masyarakat.
Seperti dikatakan Marselinus Nirwan Luru (dalam detikNews, 26/05/2025), geliat pariwisata tampak semarak di permukaan, angka kunjungan tinggi dan destinasi ramai, namun tidak sejalan dengan peningkatan pendapatan lokal. Dalam banyak kasus, kehadiran wisatawan dalam jumlah besar tidak diiringi dengan durasi tinggal yang memadai, tingkat okupansi akomodasi yang stabil, maupun pertumbuhan pendapatan pelaku usaha setempat. Kontribusi ekonomi yang semestinya mengalir ke pemerintah atau komunitas lokal justru menyisakan angka statistik tanpa jejak nyata.
Pepesan Kosong
Pseudotourism bukan semata soal tingkat kunjungan wisatawan yang semu. Banyak kegiatan pariwisata yang seolah-olah baik, namun nyatanya semu. Perkembangan pariwisata yang diklaim mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ternyata hanya pepesan kosong. Banyak destinasi wisata yang mengklaim indah, namun hanya pepesan kosong; tak bermakna dan tak bernilai karena melanggar aturan dalam proses pengembangannya.
Banyak daerah yang menyatakan pengembangan pariwisatanya berorientasi pada ekowisata dan pariwisata berkualitas. Akan tetapi, praktiknya jauh dari prinsip itu. Pengembangan pariwisata tidak berwawasan lingkungan, namun justru merusak lingkungan. Ingin mengembangkan pariwisata berkualitas, tetapi mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya. Itu semua pseudotourism dan pepesan kosong belaka.
Banyak contoh kasus pariwisata semu dalam pengembangannya. Konsep pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) acapkali juga hanya pepesan kosong. Pengembangan pariwisata tidak mampu berkelanjutan secara ekologis, karena sawah dan hutan tergusur oleh beton-beton hotel berbintang.
Budaya, seni, dan tradisi yang dianggap menjadi daya tarik wisata tak luput memberi andil dalam pariwisata semu. Autentisitas budaya harus tuduk pada komodifikasi untuk kepentingan tontonan bagi wisatawan. Dan pseudotourism memang tidak menghargai sisi autentik dari nilai-nilai budaya.
Kedok-kedok dalam pengembangan pariwisata membuatnya sekadar pepesan kosong. Keberlanjutan yang semestinya bersifat ekonomis menjadi semu, tak lagi bernilai dan bermakna. Pariwisata sering diklaim dapat menyejahterakan ekonomi masyarakat, tetapi nyatanya lebih menyuburkan investor.
Belum lagi keberlanjutan secara sosial. Pariwisata kadang berkedok dapat memberdayakan masyarakat di sekitar destinasi wisata. Itu pun tak luput dari pepesan kosong. Masyarakat tetap menjadi penonton dari gemerlap pariwisata di daerahnya; bahkan bisa jadi terusir dari rumahnya untuk kepentingan pariwisata.
Desa wisata yang digadang-gadang menjadi ujung tombak pariwisata Tanah Air ikut terjebak dalam pseudoturism. Pengembangan desa wisata yang semestinya bertujuan menjaga dan melestarikan alam, justru dipenuhi wahana wisata. Desa wisata tak lagi alami.
Penguatan
Mencegah pseudotourism tidaklah mudah. Apalagi pariwisata sudah dianggap sebagai rezim yang mampu mengobati kemiskinan serta sumber pendapatan bagi daerah dan negara. Mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya dan menguras kantong wisatawan adalah doktrin rezim pariwisata. Semua bakal tunduk pada pariwisata.
Maka, cara terbaik untuk melindungi masyarakat, lingkungan, alam, dan budaya dari ganasnya rezim pariwisata adalah dengan melakukan penguatan. Komunitas masyarakat lokal menjadi pihak yang paling penting untuk diberikan penguatan; bukan sekadar jargon pemberdayaan yang seringkali menjadi pepesan kosong.
Penguatan komunitas masyarakat lokal adalah memberikan otonomi tanpa syarat kepada masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di daerahnya. Konsep Community Base Tourism (CBT) harus dimaknai sebagai kekuatan komunitas lokal untuk menentukan arah pariwisata di daerahnya. Apa pun bentuk pariwisata yang akan dikembangkan di daerah, masyarakatlah yang menentukan, bukan investor yang ujug-ujug datang membawa segepok uang.
Diperlukan penguatan komunitas lokal yang didukung oleh akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan kelompok kristis agar terjaga kelestarian dan keberlanjutan dalam pengembangan pariwisata di daerah. Keterlibatan mereka akan membuat komunitas lokal tidak sendirian dalam memperjuangkan hak untuk ikut menikmati kue pariwisata.
Tak kalah penting adalah penguatan di tubuh pemerintah. Mentalitas dan integritas perlu dibangun dengan kokoh agar kebijakan di bidang pariwisata benar-benar berpihak kepada masyarakat. Penguatan birokrasi pemerintahan akan membuat aparatur negara tidak mudah tergiur suap maupun gratifikasi untuk memuluskan proyek-proyek pariwisata yang bermasalah. Persoalan perizinan menjadi titik rawan bagi aparatur pemerintah untuk bersekongkol dengan investor.
Pseudotourism semogalah bukan lahir dari pemerintahan yang semu juga. Pemerintahan yang tidak autentik dalam membuat kebijakan. Pemerintah yang seolah-olah ingin memajukan dan menyejahterakan rakyat, namun nyatanya justru membebani dan membuat rakyat semakin sengsara. Jika itu terjadi, apa pun upaya untuk memajukan sektor pariwisata hanya pepesan kosong belaka. [T]
Penulis: Chusmeru
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis CHUSMERU