DALAM salah satu pengantar buku puisinya, penyair M. Aan Mansyur menulis begini: “Percakapan adalah salah satu perihal paling manusiawi, dan memanusiakan, yang bisa kita lakukan untuk mengalami kehidupan dengan baik. Kita, melalui percakapan, belajar menyatakan pikiran dan saling mendengarkan. Kita mengembangkan empati dan melatih kesetaraan. Kita mengalami kegembiraan karena didengarkan dan dipahami.”
Penyataan di atas tidak hanya merupakan sikap Aan Mansyur tentang pentingnya komunikasi sebagai cerminan dari sisi kemanusiaan seseorang tetapi juga mencerminkan pengalaman Aan dalam mengolah bahasa untuk menciptakan puisi-puisinya. Aan Mansyur merupakan salah satu penyair Indonesia yang karya-karyanya banyak diperbincangkan dalam lima belas tahun terakhir. Keterampilan Aan mengolah bahasa menjadi puisi yang menggugah pembacanya telah mengantarkannya menjadi penyair yang hebat.
Melalui puisi kita semua bisa belajar tentang memilih kata-kata, menyusun kalimat yang tepat, bahkan imaji atau efek bahasa yang memberi kesan bagi lawan bicara. Efek bahasa ini juga berarti memikirkan dampak dari ucapan kita agar tidak menyinggung perasaan pembaca. Dari puisi kita juga belajar kesantunan berbahasa. Prinsip kesantunan berbahasa meliputi dua hal. Pertama menghormati lawan bicara dan yang kedua melatih empati dalam berkomunikasi.
Masalah etika berkomunikasi yang dilakukan oleh oknum pejabat publik menjadi perbincangan hangat di Indonesia akhir-akhir ini. Mulai dari umpatan yang dilontarkan pemuka agama kepada pedagang es hingga respon, staff khusus kepresidenan yang marah-marah kea nak SD, sampai komentar nirempati Kepala Komunikasi Kepresidenan Republik Indonesia (KKK RI) tentang teror kepala babi kepada kantor Tempo. Lalu, bagaimana komunikasi semestinya dilakukan? Apa saja indikasi komunikasi yang baik terutama berkaitan dengan khalayak ramai?
Tuturan Mencerminkan Kepribadian
Dalam ilmu linguistik, bahasa mencerminkan pemikiran dan kebribadian penuturnya. Bahasa merupakan ungkapan pikiran sekaligus ungkapan jiwa seseorang (ekspresi). Patut disayangkan jika seorang pejabat publik yang diharapkan menjadi panutan rakyatnya, justru lalai dalam berkomunikasi. Namun di sini kita justru bisa menganalisa apa yang ada di dalam pikiran dan bagaimana kepribadian oknum pejabat publik tersebut. Kepribadian yang tertangkap dari buruknya komunikasi ialah sifat reaktif dan tempramen.
Reaktif merupakan sikap menanggapi masalah secara spontan tanpa memikirkan dan cenderung apatis terhadap masalah tersebut. Sehingga, bukan solusi yang ditawarkan justru “menyerah kepada keadaan”. Sedangkan tempramen dalam arti ini dapat dipahami sebagai gejala reaktif yang ditambah dengan marah. Sehingga selain nada bicara yang kasar, seorang yang reaktif juga cenderung menyalahkan orang lain dan menganggap diri paling benar. Selain itu upaya untuk klarifikasi kesalahan yang sedang tren saat ini, justru hanya memperlihatkan upaya pembenaran diri.
Setiap orang baik masyarakat sipil maupun pejabat semestinya dapat menguasai diri dalam berkomunikasi. Penguasaan diri erat kaitannya dengan refleksi dan olah emosi sebelum bertindak. Refleski perlu dilakukan dalam berkomunikasi untuk mempertimbangkan dengan saksama mengenai siapa diri kita, porsi komunikasi kita, dan dampak ujaran kita. Sedangkan olah emosi lebih mengedepankan aspek berbela rasa dalam berkomunikasi. Dengan kata lain memikirkan perasaan lawan bicara kita.
Selain unsur kelalaian, dalam beberapa kasus buruknya komunikasi juga merupakan kesengajaan. Dalam perkembangan ilmu linguistik pascastruktural, bahasa tidak sekadar memuat makna dan maksud dari penuturnya. Melainkan menyembunyikan ideologi dan praktik kekuasaan. Ideologi dalam arti ini, yaitu mempengaruhi orang memalui bahasa demi kepentingan pribadi. Selain itu dalam kajian linguistik kritis, bahasa juga dapat dijadikan alat untuk mendominasi orang lain dan memanipulasi kebenaran.
Bicara Mencerminkan Kegemaran Membaca
Kualitas sebuah komunikasi juga berhubungan dengan kegemaran membaca. Seseorang yang tuturannya bermutu mencerminkan kualitas buku-buku yang dibacanya. Kegemaran membaca yang terjadi bertahun-tahun ibarat menabung pengetahuan dalam benak. Dalam ilmu bahasa seseorang yang gemar membaca akan memperolah banyak kosa kata dan kosa budaya (pengetahuan/ wawasan). Kedua hal ini merupakan modal yang diperlukan dalam berkomunikasi yang baik. Seseorang yang telah banyak membaca buku-buku berkualitas akan terlihat dari isi tuturannya bermutu dan juga gaya bahasanya luwes.
Gaya bahasa dari bahan bacaan akan sangat berdampak pada gaya bahasa secara lisan. Orang sering menyebut gaya bahasa dalam komunikasi lisan dengan istilah retorika atau seni berbicara. Kalau kita mengingat tokoh-tokoh politik dunia yang memiliki retorika yang hebat, tentu kita akan mudah mengingat nama-nama seperti Cicero, Martin Luther King Jr, Winston Churchill, Ir. Soekarno, Nelson Mandela, Barack Obama dan lain-lain. Mereka semua merupakan orator yang ulung. Mereka tidak hanya memiliki segudang gagasan tetapi juga menguasai seni berkomunkasi yang menarik sekaligus dapat meyakinkan jutaan orang.
Bahasa memang memiliki kuasa sebesar itu. Bahasa mampu meyakinkan orang, menghibur dan menyemangati orang. Namun di lain sisi bahasa juga dapat dimanfaatkan untuk memanipulasi, menciptakan hoaks, memprovokasi, hingga menciptakan konflik. Oleh karena itu penting bagi kita untuk terus belajar berkomunikasi agar tidak menjadi korban dari komunikasi itu sendiri.
Salah satu cara untuk meningkatkan komunikasi secara mudah dan murah dalam mengaksesnya ialah dengan membaca surat kabar dan karya sastra. Surat kabar cetak merupakan sumber informasi yang terpercaya dan sudah melalui tahap pengecekan fakta oleh para redaktur sehingga dapat dijadikan rujukan dalam memperoleh informasi terkini. Sedangkan karya sastra seperti puisi dan novel, selain menghibur juga menyajikan inspirasi dalam menghadapi konflik dan pergulatan hidup manusia. Karya sastra selalu menawarkan nilai-nilai sebagai bekal kehidupan. Menurut Guru Besar Unpar, Prof. Bambang Sugiharto, karya sastra dapat melatih empati dalam diri manusia.
Terwujudnya komunikasi yang baik di masyarakat akan sangat berdampak positif pada perkembangan peradaban kita. Dengan terwujudnya komunikasi yang baik di masyarakat diharapkan dapat mengurangi konflik yang terjadi akibat miskomunikasi. Selain itu kemampuan berkomunikasi juga dapat menjadi penyeimbang laju informasi yang sangat pesat di era digital. Semoga kita semua tertantang untuk mengembangkan kemampuan komunikasi kita dalam kehidupan sehari-hari. [T]
Penulis: Pitrus Puspito
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: