SEPANJANG sejarah peradaban manusia, cinta memiliki tempatnya tersendiri seraya terabadikan dalam ragam kisah yang dituturkan dari generasi ke generasi. Hampir di seluruh belahan dunia, memiliki kisahnya masing-masing tentang pertemuan dua anak manusia yang di dalamnya berkelindan dan penuh dialektika akan ketertarikan, keberbagian, dan rasa ingin memiliki satu sama lain, termasuk juga ketika rasa itu bertepuk sebelah tangan!
Cinta memang punya pesonanya tersendiri, dan terbukti dengan mudahnya dijumpai dalam penciptaan karya manusia di mana pun berada. Sebut saja kisah klasik dari negeri anak benua atau India, ada kisah tentang Resi Bhisma dan Dewi Amba, sebagaimana Rama dan Shinta dalam kisah Ramayana.
Maju sedikit ke masa pertengahan, di Eropa dengan penyair kenamaannya William Shakespeare yang meramu kisah Romeo Juliet. Atau, tidak perlu jauh-jauh, kisah dari negeri sendiri, mulai era awal abad dengan kisah kasih tak sampai-nyaSitti Nurbaya atau cerita Rara Mendut.
Ini baru sebagian saja, dan baru dari sub karya kesusastraan, belum lagi dalam bentuk puisi atau drama, bahkan dari lirik lagu yang didendangkan, dari lukisan, seni kriya yang tak berbilang jumlahnya. Termasuk, bisa dijumpai dalam karya warisan sejarah dunia dalam bentuk karya arsitektural, yakni Taj Mahal di India.
Belum lagi dalam versi budaya pop kontemporer seperti film dari seluruh wilayah budaya yang ada di dunia. Sebutlah yang kini sedang happening, seperti film Korea, ada Business Proposal, World of Marriage, Love Scout atau dari negeri sendiri, Gadis Kretek, Ipar adalah Maut, The Most Beautiful in the World. Belum lagi karya dari sineas Hollywood yang juga tidak akan pernah habis untuk dihitung.
Semuanya membincangkan cinta adalah sebuah kata yang bisa dikatakan punya kisahnya tersendiri. Selalu diasosiasikan sebagai perasaan yang menghadirkan rasa bahagia, sebagaimana kerap juga menjadi alasan seseorang terpuruk, jatuh, dan terluka. Kadang dia hadir sebagai penyemangat jiwa laksana asmaradahana, seperti juga dia membuat kegelisahan dan kesedihan yang membuat rasa merana. Kesemuanya boleh jadi menjadi bukti, betapa cinta dengan segala artikulasinya, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tarikan nafas dan aliran darah manusia.
***
Apa sejatinya cinta itu dalam dan bagi kehidupan manusia? Sejatinya, membincangkan cinta tidaklah melulu tentang pertemuan dua insan yang, sebut saja; sedang “mabuk kepayang”. Narasi cinta yang disebutkan di atas, adalah satu dari ragam tafsir tentang cinta. Iya benar! Cinta itu punya banyak wajahnya, mulai dari yang bersifat spiritual, kemanusiaan, relasi orang tua dengan anak, hingga memuliakan tanah air, bangsa dan negara; semuanya juga sama-sama menggunakan terminologi cinta. Semuanya menggunakan kata cinta, dan menunjukkan betapa cinta adalah sesuatu yang bukan main-main tentunya!
Namun, untuk kali ini, cinta yang akan diangkat adalah lebih dalam konteks relasi dua anak manusia yang memiliki ketertarikan untuk saling dekat dan lekat satu sama lain, seraya menggenapkannya dalam rasa yang menolak untuk berjeda. Nah, uniknya ternyata cinta yang kerap diasosiasikan melulu emosional belaka, justru secara saintifik ada teori yang dapat menjelaskannya, yakni karya Robert Sternberg yang dikenal dengan Triangular theory of love , atau juga disebut dengan Segitiga Cinta ( Pastikan untuk tidak terbalik menjadi Cinta Segitiga!)
Menurut Sternberg, cinta adalah gabungan dari kepemilikan hasrat, keintiman dan komitmen. Hasrat adalah adanya rasa ketertarikan secara fisik sekaligus bernilai emosional yang membuat seseorang menginginkan untuk dekat dengan seseorang yang disukainya, untuk kemudian diartikulasikan dalam ekspresi romansa. Lalu apa yang disebut dengan keintiman, sebagai kehendak seseorang untuk terhubung, menjadi dekat dan melekat satu sama lain sehingga merasa nyaman dalam kebersamaan tersebut. Serta, komitmen yakni kemauan untuk meniadakan kehadiran orang lain selain dirinya dalam satu ikatan yang kokoh dan tak berkesudahan.
Cinta baru “sempurna” manakala ketiga sisi tersebut menjadi satu kesatuan. Cinta baru “meniscaya” manakala tak bertepuk sebelah tangan alias satu sama lain merasakan hal yang sama. Tanpa ketertarikan fisik, orang akan tergoda untuk melihat yang lain sebagai yang lebih menarik, meskipun fisik memiliki keterbatasan waktu.
Tanpa keintiman, sebuah hubungan akan kehilangan otentisitasnya karena lalai dengan menghadirkan kenyamanan, sebagaimana tanpa komitmen, maka sebuah hubungan pada muaranya menjadi sesuatu yang akan dipertanyakan. Atau dengan kata lain, memadukannya adalah sebuah cara yang logis untuk merawat sebuah hubungan, menjaganya sebagai sebuah keterberian sekaligus apa yang diperjuangkan.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana cinta yang sempurna itu hadir? Sesungguhnya kesempurnaan cinta hanya terjadi ketika kita menjadi pribadi yang “tidak sempurna” sehingga pasangan kitalah yang menyempurnakan kehidupan kita. Menyempurna dengan menerima kedirian kita secara fisikal, dengan senantiasa mengelola komunikasi yang intens, mengedepankan kebersamaan dan menghargai ruang privat masing-masing, seraya merawat kesetiaan sebagai perjalanan menghayati ruang dan waktu yang mengasyikkan.
Kesadaran akan ketidaksempurnaan tersebut, menjadikan kita tidak terjebak dengan sesuatu yang ragawi sekaligus tidak mengabaikan arti kenyamanan akan ketubuhan itu sendiri. Keniscayaan akan keintiman, menjadikan kita terus belajar untuk mengelola interaksi sebagai pertukaran pesan yang hangat dan mendewasakan, sebagaimana memuliakan komitmen sebagai tujuan sekaligus proses yang layak diperjuangkan dengan penuh sukacita.
Sehingga, tidak ada kata lain bila mendialogkan tentang cinta, maka sejatinya kita sedang belajar meniti rasa, menata jiwa. Meniti rasa, adalah sebuah perjalanan menuju sekaligus dialektika pada setiap episode perjumpaan, yang dimulai dari pertama kali rasa itu hadir, keberanian untuk menyatakan dalam mengartikulasikannnya, gelora bahagia atas penerimaannya, kesediaan untuk menerima perbedaan dan sisi-sisi uniknya.
Menata jiwa, hakikatnya adalah sebuah perayaan kebersyukuran atas apa yang dimiliki, yang boleh jadi rasa itu tidak atau belum dimiliki orang lain, sehingga kemudian mampu mengelola setiap godaan untuk bersetia sejak dalam alam pikir hingga perbuatan.
Cinta akan selalu menemukan jalannya untuk mengabadi dalam rasa dan tindakan nyata. Tidak selalu melulu romansa, karena mungkin akan ada onak duri, riak-riak yang kadang membuat kita terbersit untuk lelah akan rasa itu.
Memperjuangkan cinta adalah memuliakan pasangan dengan sepenuh hormat, menjadikan dirinya sebagai pelabuhan jiwa tempat bersandar, menambatkannya sebagai tempat bersauh untuk selamanya. Selama dia menjadi energi hidup yang menghidupkan, maka itulah cinta yang sesungguhnya, sebagaimana dia membuat kita merasa bahagia, maka disitulah ada cinta. [T]
Penulis: Wisnu Widjanarko
Editor: Adnyana Ole