KETIKA ada teman yang mengajak untuk melakukan renungan suci Siwaratri di Candi Prambanan, pada perayaan hari suci ITU pada Senin 27 Januari 2025, aku langsung menganggukKan kepala dan bilang ya.
Aku sesungguhnya tidak mengetahui bagaimana kebiasaan umat Hindu di Tanah Jawa, tepatnya di YoGyakarta dalam merayakan hari turunnya Siwa itu.
Sebagai orang baru—yang kebetulan menjadi mahasiswa semester 2 Jurusan Musik, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta—aku berusaha mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang ada di Kota Pelajar dan Kota Budaya itu. Tentunya yang baik-baik dan tetap ada kaitannya dengan pembelajaran. Sebab, aku ingin fokus pada cita-cita dan tidak mau mengecewakan orang tua.
Aku berangkat dari kost, sengaja mengendarai motor sendiri, sehingga dapat mengenal Kota Gudeg ini dengan lebih leluasa. Aku berangkat bersama teman yang menempuh perjalanan sekitar 1 jam. Dalam perjalanan itu, sesekali aku bertanya, nama jalan dan kawasan yang dilewati. Tanpa terasa, kami sudah sampai di kawasan Candi Prambanan yang sungguh megah itu.
Maklum, ini kali pertama kunjungan aku ke Candi Prambanan, candi bercorak agama Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 Masehi itu. Ini pengalaman Siwaratri di Candi Prambanan sebagai angkatan kedua. Mungkin, karena aku pertama kali ke Prambanan saat malam hari semuanya beda, indah dan mempesona.

Candi Prambanan di Hari Siwaratri | Foto: Manipuspaka
Beberapa lampu sorot mengarah ke candi yang sangat terang dan dengan warna yang tajam, sehingga membuat candi semakin megah. Entah karena sering menonton film, aku merasakan suasana Candi Prambanan malam itu seperti di istana para Dewa. Entah itu ilusi atau khayalan yang selalu ada dalam pikiranku. Nemun, aku tak mau terlena, sehingga langsung melakukan persembahyang bersama tepat pukul 18.00 WIB.
Antusias umat melakukan persembahnyangan sangat tinggi. Panitia mengatakan, pada perayaan Siwaratri umat yang melakukan persembahyangan pertama itu diikuti lebih dari 3000 peserta. Jumlah itu, lebih banyak dari perayaan Siwaratri sebelumnya hanya diikuti 500 peserta. Umat yang melakukan persembahyangan begitu khusuk. Aku, bersama temanku pun bersembahyang dengan serius dan khusuk pula.
Usai sembahyang, panitia mengarahkan peserta persembahyangan menuju ke tenda yang ada di lapangan. Sayangnya, aku lupa menanyakan nama acara itu. Namun, yang pasti semua umat diberikan snack berupa kacang, pisang, jagung dan minuman teh. Acara itu mirip sebuah ajang sosialisasi, salaing mengenal satu sama lainnya. Sebab, umat yang menikmati camilan itu sambil berkenalan, lalu bercerita lebih akrab sambil menunggu acara Malam Sastra Siwaratri.
Malam Sastra Siwaratri itu menghadirkan banyak narasumber, namun aku tidak hapal semuanya. Aku diinformasikan teman akan ada Wakil Menteri Pariwisata Luh Puspa, dan Sugi Lanus yang diberitahu oleh ibuku lewat WA.
Acara kemudian dimulai dengan penampilan tari penyambutan khas Jawa. Meski biasa tampil di atas panggung, tetapi aku tidak mengetahui nama tari itu.
Panitia juga sudah menyebutkan, tetapi aku tidak mendengar secara jelas saking banyak orang. Tari penyambutan itu dibawakan oleh dua penari wanita yang melakukan gerak yang pelan, lembut dan halus dengan gerak yang penuh penjiwaan. Meski lama tak menari, jujur, aku terpesona dengan penampilan tari itu.

Candi Prambanan di Hari Siwaratri | Foto: Manipuspaka
Selanjutnya sambutan dari Ibu Wakil Menteri Pariwisata Luh Puspa yang mendukung kegiatan keagamaan di Candi Prambanan ini. Lalu, berlanjut dengan sambutan Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka. Setelah itu dilanjutkan dengan diskusi yang mengangkat topik tidak jauh dari keberadaan Candi Prambanan dan Siwaratri.
Narasumber yang merupakan teman pamanku, juga teman orang tuaku, sehingga aku pun merasa dekat dengannya. Saat itu, Sugi Lanus mengatakan, Candi Prambanan itu memiliki empat arah, sehingga saat melakukan persembahyangan bisa menghadap kemana saja. Paparan itu, sekaligus menjawab pertanyaan peserta yang menanyakan sebaiknya melakukan sembhayang menghadap arah mana.
Salah satu peserta kemudian menanyakan, Candi Prambanan ini adalah kawasan suci, namun juga sebagai pusat pariwisata. Kalau ada yang berkunjung, tetapi mereka sedang mengalami menstruasi, namun ia akan tetap akan membayar tiket masuk, apakah itu boleh atau tidak?
Sugi Lanus menjawab boleh saja, tetapi setiap pagi dan setiap buka Candi harus melakukan pembersihan setiap pagi. Pintu masuk untuk orang yang bersembahyang dan wisatawan dibedakan.
Walau peserta sesi diskusi ini mulai berkurang, karena kursi-kursi mulai ada yang kosong, namun suasana diskusi tetap hangat dengan berbagai pertanyaan. Seseorang kemudian bertanya, seandainya ada umat Hindu yang ingin melalukan persembahyangan apakah dikenakan tiket atau gratis. GM Prambanan dan Ratu Boko, Ratno Timur, mengatakan, boleh tetapi mungkin tidak dikenakan tiket pada saat hari-hari raya saja, bukan setiap hari.
Suasana diskusi tetap menarik, namun beberapa orang, ada yang tidur di samping tenda. Mereka tidur beralaskan karpet. Di sampingnya, ada pula yang ngobrol, entah apa yang dibicarakannya. Aku pun merasa ‘nguyuk’ pula, namun beridsaha mengikuti acara sampai akhir.

Candi Prambanan di Hari Siwaratri | Foto: Manipuspaka
Diskusi berlangsung sampai pukul 00.00 WIB. Setelah itu, seluruh peserta melakukan sembahyang dilanjutkan dengan pembacaan 1008 nama Siwa bersama seluruh peserta. Pada saat itu, mulai banyak peserta yang tidak kuat melakukan jagra (bergadang), sehingga ada yang keluar dari area Candi Siwagrha.
Pembacaan nama Siwa berlangsung selama 1 jam 15 menit. Selanjutnya, diisi dengan acara bercerita tentang Lubdaka oleh Sugi Lanus. Pada saat itu, peserta yang kuat bertahan tak sampai 100 orang.
Acara bercerita itu berlangsung hingga pukul 05.00 WIB, kemudian dilanjutkan dengan persembahyangan kembali, yaitu persembahyangan Hari Raya Tilem sampai pukul 06.00 WIB. Aku berusaha mengikuti semua acara. Usai acara, aku pulang dengan kondisi ngantuk pula. [T]
Penulis: Made Manipuspaka
Editor: Budarsana