SETIAP bulan Februari, masyarakat Bali merayakan Bulan Bahasa Bali sebagai bagian dari upaya pelestarian dan penguatan bahasa ibu (B1). Pemerintah Provinsi Bali telah menetapkan program ini sebagai langkah strategis untuk mempertahankan eksistensi bahasa Bali di tengah arus globalisasi dan modernisasi. Walaupun demikian, tantangan masih muncul terutama dalam implementasi penggunaan bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari. Bulan Bahasa Bali seharusnya tidak hanya menjadi seremoni tahunan tetapi juga menjadi momentum refleksi dan revitalisasi bahasa ibu yang lebih mendalam.
Bahasa Bali sendiri sejatinya memiliki peran fundamental dalam kehidupan masyarakat Bali. Sejak dahulu, bahasa ini telah digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Penggunaannya mulai dari komunikasi sehari-hari, sastra, keagamaan, hingga dalam struktur sosial masyarakat. Dengan sistem “sor-singgih basa” yang kompleks, bahasa Bali mengandung nilai-nilai moral dan etika yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Amat disayangkan, dalam perkembangannya, penggunaan bahasa Bali tampaknya banyak mengalami kemunduran. Rupanya banyak orang Bali justru merasa lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing dalam komunikasi sehari-hari, baik di sekolah, lingkungan sosial, maupun di dunia kerja. Untuk hal ini, boleh jadi disebabkan oleh beragam alasan pula.
Salah satu permasalahan yang sangat terang terjadi adalah bahwa penggunaan bahasa Bali di ruang publik sering mengalami inferensi, yaitu pencampuran dengan kosakata bahasa Indonesia. Fenomena ini terjadi karena beberapa faktor, seperti kurangnya penguasaan kosakata bahasa Bali yang sesuai dengan konteksnya, kebiasaan berkomunikasi dengan bahasa campuran, serta kurangnya keberanian dalam menggunakan bahasa Bali secara penuh. Bahkan sebelumnya sudah memiliki anggapan bahwa bahasa Bali itu ribet dan sangat sulit. Inferensi ini membuat penggunaan bahasa Bali menjadi semakin terkikis, kurang autentik dan mengurangi kedalaman makna dari percakapan itu sendiri.
Selain itu, penggunaan bahasa Bali justru semakin menipis di kalangan masyarakat yang merasa menikmati kehidupan sosial dan intelektual yang lebih tinggi. Ada kecenderungan bahwa semakin tinggi status sosial seseorang, semakin jarang mereka menggunakan bahasa Bali dalam percakapan sehari-hari. Hal ini mungkin dipicu oleh anggapan bahwa menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing terasa lebih modern, intelek, atau sesuai dengan gaya hidup perkotaan. Pada hal. Kalangan masyarakat “kelas atas” ini sebenarnya memiliki pengaruh besar bagi masyarakat kelas bawah, salah satunya dalam pemasyarakatan bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari.
Kasus dalam beberapa komunitas perkotaan menunjukkan bahwa banyak individu dari kalangan elite lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa asing dalam komunikasi mereka. Hal ini tentu semakin mempersempit ruang penggunaan bahasa Bali dalam lingkungan sosial tertentu.
Indikasi lain di masyarakat kita, keberadaan sekaa kidung, geguritan, wirama nyaris tidak terdengar lagi. Upacara keagamaan nhyaris sepi dari alunan kidung dan pesantian. Kalaupun ada, pesertanya kebanyakan dari kaum lanjut usia. Suara emas kaum muda kita ke mana? Di sini rupanya terjadi perilaku yang cenderung menafikan penggunaan bahasa Bali dalam kegiatan adat dan agama yang seharusnya menjadi pilar kehidupan masyarakat Bali. Banyak dari mereka lebih memilih menyanyikan lagu-lagu pop berbahasa Indonesia atau asing dibandingkan dengan kidung, tembang/geguritan, wirama, apalagi sloka dan palawakya. Hal ini menunjukkan semakin berkurangnya apresiasi terhadap bahasa Bali dalam ekspresi seni dan budaya, terutama di kalangan generasi muda kita. Peran kaum tua untuk mengarahkan kaum muda dalam konteks ini, rupanya juga kalah pamor.
Tantangan lainnya adalah bahwa meskipun Bulan Bahasa Bali telah berjalan selama beberapa tahun, dampaknya terhadap peningkatan penggunaan bahasa Bali dalam kehidupan masyarakat masih terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa program ini perlu lebih dari sekadar seremoni dan lomba. Momentum Bulan Bahasa Bali mesti diiringi dengan kebijakan nyata yang berkelanjutan. Pendidikan memiliki peran besar dalam hal ini, terutama dalam membangun kebiasaan penggunaan bahasa Bali yang baik dan benar di sekolah-sekolah. Selain itu, keluarga juga berperan penting dalam menanamkan kebiasaan berbahasa Bali sejak dini kepada anak-anak. Dalam keluarga, penggunaan “sor-singgih basa” dalam percakapan sehari-hari bukan hanya soal tata bahasa, tetapi juga sarana pendidikan moral yang adi luhung.
Untuk menjadikan Bulan Bahasa Bali sebagai katalisator menuju Bali Harmoni, diperlukan strategi yang lebih inovatif dan inklusif. Pemerintah, lembaga pendidikan, serta komunitas adat perlu bekerja sama dalam menciptakan ruang-ruang baru bagi penggunaan bahasa Bali yang lebih luas dan kontekstual. Konten digital berbasis bahasa Bali seperti vlog, podcast, dan animasi bisa menjadi solusi untuk menarik perhatian generasi muda. Selain itu, peran Desa Adat, Banjar Adat, Sekaa Taruna, dan lembaga sosial lainnya harus lebih dioptimalkan dalam mendorong penggunaan bahasa Bali dalam berbagai kegiatan masyarakat.
Selain itu, semua pihak harus benar-benar melaksanakan tupoksinya dalam membangun kembali pemasyarakatan bahasa Bali. Agar tidak saling dalih, seperti “satuan I Capung kok ngaba tumbak poleng”, setiap elemen masyarakat harus memiliki komitmen yang kuat untuk menjadikan bahasa Bali sebagai identitas yang terus hidup dalam berbagai aspek kehidupan.
Sebagai gambaran ironi dari fenomena saling tuduh dalam disharmoni akibat kurangnya pelestarian bahasa Bali, dapat diilustrasikan melalui cerita berikut.
… Pertanyan I Lutung kepada I Tumisi,
“Wih… Iba Tumisi, né makejang nyamané makaengan, to ngudiang Iba ileh-ileh setata ngaba umah?”
Sahut I Temisi, “Sawireh jejeh pesan tiang tekén ia I Capung Bangkok, ia setata mailehan ngaba ngaba tumbak poléng”.
“Wih… Iba Capung Bangkok, né ulian iba makrana I Tumisi ileh-ileh ngaba umahné. Kai mataken jani tekén Iba, Nak ngudiang Iba ileh-ileh ngaba tumbak poleng?”
Kéné Jero Lutung, ané ngaranang tiang ileh-ileh ngaba tumbak poléng, sawiréh to nyamané I Blatuk nepak kulkul bulus. Kadén tiang ada pancabaya.”
Wih… Iba Kedis Blatuk, Nak ngudaing Iba ngedig kulkul bulus? Kanti pesu I Capung Bangkok ngaba tumbak poléng. Nak kénkén unduké?”
Jawab I Blatuk
“Naweg Jero Lutung, ané makrana tiang nepak kulkul bulus, sawiréh I Kunang-kunang ileh-ileh ia ngaba api. Jejeh keneh tiangé, nyanan tunjula umah brayané”.
“Ih Iba Kunang-kunang, nak ngudiang Iba indeng-indeng ngaba api? Iba ané makrana I Blatuk nepak kulkul.”.
Sahut I Kunang-kunang,
“Kéné to Jero Lutung. Ané makrana tiang ileh-ileh ngaba api, sawiréh I Beduda setata ngurek tanah di jalané. Yen sing tiang ngaba api, peteng jalané tusing beneh ban majalan”.
“Wih… Iba Beduda, né Iba setata ngusak-nguakang jalan, kanti I Kunang-kunang ngaba sundih ngentasin jalané. Nak ngudiang telah urek Iba jalané?”
Jawaban I Beduda, begini.
“Naweg Jero Lutung, Yen amoné gedé-gedén tain sampiné, kal depang kéto mauyag di jalané? Tiang ngurek jalané sawiréh nulungin brayané apang tusing kanti ngenjekin ain sampi. Lunga Ida Sang Prabu, kacingak jalané tusing misi tai. To makrana urugang tiang tain sampiné.”
Lalu, giliran I Sampi ditanyakan mengapa membuang kotoran di sembarang tempat. I Sampi tidak bisa menjawab. Akhirnya, I Sampi yang paling disalahkan.
….
Dari cerita di atas, yang dijadikan tersangka terakhir adalah I Sampi sebagai simbolik sosok yang lemah dan bodoh. Dalam kehidupan masyarakat Bali, ketika terjadi disharmoni terhadap kemajuan bahasa, aksara, dan sastra Bali, bisa terjadi saling menyalahkan di antara banyak pihak yang semestinya bertanggung jawab untuk pelestarian bahasa Bali. Sayangnya, pihak yang paling rentan dan lemah sering menjadi sasaran terakhir dalam rantai kesalahan. Oleh karena itu, daripada terus saling menyalahkan, sudah seharusnya semua pihak bersinergi dalam menghidupkan kembali bahasa Bali.
Bali Harmoni adalah cita-cita yang tidak hanya berlandaskan keseimbangan sosial, budaya, dan lingkungan, tetapi juga berakar pada kekuatan bahasa sebagai identitas utama. Tanpa penguatan bahasa Bali dalam kehidupan sehari-hari, harmoni yang dicita-citakan akan kehilangan salah satu pondasi pentingnya. Oleh karena itu, revitalisasi bahasa Bali melalui Bulan Bahasa Bali harus lebih dari sekadar perayaan, melainkan sebagai upaya kolektif untuk menjaga warisan budaya dan memperkuat jati diri masyarakat Bali dalam menghadapi tantangan zaman. [T]
Penulis: I Wayan Yudana
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain tentang BULAN BAHASA BALI
- BACA artikel lain dari penulis I WAYAN YUDANA