MELIHAT orang jadi pejabat di film tentu sudah biasa—apalagi jika film itu berkaitan dengan politik tentu karakter politisi akan dimainkan. Tapi ini berbeda. Ada pejabat politik tiba-tiba main film bertema cinta dan keluarga.
Pejabat politik yang saya maksud itu adalah Ni Luh Djelantik yang saat ini sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Bali. Hampir seluruh warga Pulau Bali mengenalnya, ia sosok “viral” kalau disebut dengan bahasa kekinian.
Ia menjadi salah satu orang sekaligus pejabat publik yang bermain di film “Lagu Cinta untuk Mama”. Film ini menceritakan perjuangan dan cinta kasih antara seorang ibu dan anak.
Film garapan sutradara Hasto Broto yang diproduksi oleh Dewa Film Production ini menjadikan Bali sebagai latar syuting. Tidak hanya sekadar latar syuting, film ini berusaha menampilkan sisi budaya dan karakter orang Bali.
Adegan awal film Lagu Cinta untuk Mama | Foto: tatkala.co/Rusdy
Alasan ini membuat Peter Taslim selaku Eksekutif Produser dari film ini membidik dua orang perempuan Bali untuk ikut bermain, sosok itu adalah Ayu Laksmi dan Ni Luh Djelantik. Kalau Ayu Laksmi memang dikenal sebagai pemain film, sudah lama ada di dunia akting dan asli Bali. Tapi yang satu lagi ini menarik, bukan aktor film tetapi lebih tepatnya aktor politik yang sedang coba-coba main film.
Bisa banting stir nih kalau ketagihan syuting. Hahaha. Tapi, tak ada salahnya pengalaman ini dicoba oleh Ni Luh Djelantik. Lagi pula ia orang yang suka menyibukkan diri dengan banyak hal, multiprofesi pokoknya. Jadi pengusaha iya, aktivis, influencer, sekarang politisi, dan ke depan barangkali bisa jadi artis. Lengkap sudah.
Bicara soal aktivisme Ni Luh Djelantik, ia juga dikenal sebagai salah satu—dan paling langka—perempuan Bali yang frontal menyuarakan apa saja yang dianggapnya merusak dan menggangu harmonisasi di Bali. Belakangan paling sering soal bule nakal. Saya pernah menganggap ia seperti AWK versi perempuan. Wkwkwk, bercanda, Mbok. Beda kok.
Tapi hal itu juga yang membuat saya penasaran ketika dapat ajakan menonton langsung film yang menggaet Djelantik sebagai salah satu pemerannya. Saya tertarik melihat bagaimana aktingnya? Apakah frontalnya juga terbawa saat akting? Seperti apa jadinya aktor politik tiba-tiba jadi aktor film? “Wkwkwwk menarik” ucap saya dalam hati.
Saya kebetulan mewakili Komunitas Mahima bersama Kadek Sonia Piscayanti dan Kayu Hujan, mendapat undangan Special Screening film “Lagu Cinta Untuk Mama” yang ditayangkan perdana di bioskop XXI Living World, Minggu (19/01/2024) sore. Acara ini semacam promosi awal sebuah film. Sebagai informasi film ini akan tayang serentak di seluruh bioskop XXI tanggal 29 Januari 2025.
Dalam Special Screening ini, secara pribadi Ni Luh Djelantik mengundang sahabat, teman, influencer, selebgram dan beberapa kalangan di Bali untuk sama-sama menyaksikkan debut film pertamanya itu. Oh iya, politisi juga turut diundang, saya sempat melihat Rai Mantra dan istri juga hadir di tengah-tengah penonton. Rai Mantra juga anggota DPD RI wakil Bali.
Peran dan Karakter Ni Luh Djelantik dalam Film
Dalam film ini Ni Luh Djelantik mengambil peran seorang bibi dari tokoh perempuan bernama Indira. Ni Luh ditampilkan sebagai orang desa di Karangasem. Indira ponakannya itu merupakan seorang penyanyi kafe yang terjebak asmara dengan Krisna, anak pengusaha kaya di Bali. Namun hubungan mereka tidak disetujui oleh keluarga Krisna karena Indira dianggap berasal dari keluarga tidak berstatus, semacam miskin.
Penonton dalam Special Screening film “Lagu Cinta Untuk Mama” yang ditayangkan perdana di bioskop XXI Living World, Minggu (19/01/2024) | Foto: tatkala.co/Rusdy
Indira ternyata sudah hamil anak Krisna. Namun, ia malah dipaksa menggugurkan janinnya oleh Gayatri—ibu dari Krisna yang diperankan oleh Ayu Laksmi.
Ni Luh Djelantik berperan sebagai bibi Indira, muncul saat tokoh Indira memutuskan pulang ke kampungnya di Karangasem. Indira sudah lama tinggal sebatang kara, ia mendatangi rumah bibinya (Ni Luh Djelantik) untuk menceritakan apa yang terjadi selama di kota.
Dalam perannya Ni Luh Djelantik dipanggil dengan nama “Ni Luh” juga, sama seperti nama asli. Sepertinya sutradara berniat mempertahankan sisi orisinal tokoh politik itu.
Di momen ini penonton langsung sumringah melihat kemunculan Ni Luh Djelantik. Ia muncul pertama kali saat adegan menyambut kedatangan Indira yang pulang ke Karangasem. Ia tampil menggunakan kebaya Bali, persis seperti tampilan biasa yang sering ia kenakan setiap saat.
Di adegan ini ia menyambut dan mendengarkan cerita Indira. Ia geram terhadap perlakuan yang diberikan keluarga Krisna ke ponakannya itu. Ekspresi geramnya itu membuat pononton di ruangan bioskop tertawa tipis.
Penonton sepertinya merasa senang dengan karakter asli Ni Luh Djelantik yang dipertahankan dalam film. Di adegan ini ia meyakinkan Indira untuk tetap mempertahankan kandungannya dan merawat anak itu. Ni Luh mengatakan akan siap membantu ponakannya itu sebisa mungkin agar tetap tegar menghadapi masalahnya.
Karakter Ni Luh Djelantik dalam film berusaha mempertegas posisi keberpihakkannya. Adegan tadi seperti ingin menyampaikan bahwa ia selalu ada untuk orang yang tertindas. Citra yang cocok untuk Ni Luh Djelantik sebagai politisi.
Bukan hanya itu, ada adegan saat Ni Luh Djelantik membantu Indira di kampung untuk mencari kerja. Indira yang sudah tidak punya pekerjaan datang meminta bantuan ke bibinya itu. Oleh Ni Luh, Indira dibawa ke sebuah perusahaan tenun tradisional, di sana bibinya mempertemukan dia dengan pemilik perusahaan agar bisa dibantu untuk diterima sebagai karyawan.
Adegan itu seolah mengisyaratkan Ni Luh sebagai sosok penuh solusi, sama seperti umumnya pejabat yang memasukkan orang terdekatnya untuk bekerja dengan kekuatan jaringan dan komunikasinya.
Ada satu lagi adegan Ni Luh Djelantik yang hampir membuat seluruh penonton saat itu tertawa terbahak-bahak. Adegan itu saat Gayatri datang ke rumah Indira untuk melihat Kayla, anak dari Indira, ponakan Ni Luh, sekaligus cucu Gayatri yang pernah ditolaknya sendiri.
Saat Gayatri muncul di depan rumah Indira, kebetulan ada Ni Luh yang sedang menemani Kayla. Awalnya Ni Luh tidak mengenal sosok yang datang, ia menyambut layaknya tuan rumah.
Begitu Indira mengatakan bahwa itu adalah Gayatri, ibu dari mantan kekasihnya, yang menolak dia dulu, secara bersamaan ekspresi Ni Luh berubah total sambil bangkit dari tempat duduk menghampiri Gayatri.
“Ini baru Ni Luh Djelantik,” ucap saya dalam hati.
Penonton lain juga langsung terpingkal-pingkal melihat adegan itu. Benar-benar seperti ingin melabrak orang.
Sayangnya Indira malah menyuruh bibinya itu membawa Kayla masuk ke dalam rumah. Seandainya dibuat adegan Ni Luh dan Gayatri (Ayu Laksmi) bertengkar di situ mungkin seru. Orang bisa lihat perbandingan akting marah-marahan pemeran film senior dan, ya, sebut aja pemeran junior gitu. Wkwkwkwk.
Untuk pengalaman pertama syuting film, Ni Luh cukup natural membawakan karakter asli dirinya yang dipadukan dengan sedikit drama-dramaan. Hebat juga, dari sekian perempuan Bali, Ni Luh Djelantik yang dipilih sebagai representasi perempuan Bali di film.
Saya tidak mau menyebut ini sebagai kampanye politik. Sutradara tentu punya pertimbangan sendiri terhadap sosok Ni Luh Djelantik.
Karakter Ni Luh Djelantik dalam film ini sepertinya diusahakan oleh sutradara agar tetap seperti gambaran Ni Luh Djelantik asli sebagai wakil rakyat. Atau “pelayan rakyat” kalau istilah yang sering Ni Luh Djelantik sendiri pakai.
Ni Luh Djelantik berswafoto bersama penonton film “Lagu Cinta Untuk Mama” | Foto: tatkala.co/Rusdy
Ia bisa saja memerankan sosok Gayatri yang kaya dan suka marah-marah juga, atau katakter lain. Tapi pertanyaannya apakah itu cocok dengan jiwanya? Apakah apakah ia mau memerankan karakter yang menindas seperti Gayatri? Sementara di kenyataannya ia adalah wakil rakyat. Masa harus kelihatan menindas, tentu tak cocok dengan citra yang sedang dibangun saat ini. Walau dalam dunia perfilman itu tak masalah. Tapi karena ini pejabat politik, tentu berbeda briefing-nya dengan sutradara.
Itu juga, barangkali tantangan jika memilih pejabat untuk bermain film, mencari karakter apa yang bisa cocok untuk diperankan, tanpa menghilangkan sisi-sisi asli dan citra sang pejabat. Dan tidak mudah bagi pejabat untuk memerankan karakter yang berbeda dari perilaku aslinya. Masa mereka tiba-tiba bisa langsung akting layaknya Reza Rahardian misalnya, atau tiba-tiba Ni Luh Djelantik ini bisa langsung seperti Dian Sastro.
Sebenarnya tidak ada salahnya juga pejabat bermain dalam dunia film. Bagi produser film itu memiliki nilai marketingnya tersendiri. Sementara, bagi pejabat, itu akan dimanfaatkan untuk membangun kesan dirinya ke publik.
Kira-kira karakter seperti apa yang asik diperankan oleh Ni Luh Djelantik ke depan jika dapat tawaran main film lagi. Dan kelihatannya ia memang menikmati apa yang baru saja dilakukannya itu. [T]
Penulis: Rusdy Ulu
Editor: Adnyana Ole