PASAR tradisional adalah dunia yang bangun sebelum matahari terbit. Ketika kota masih terlelap, pasar sudah sibuk dengan detak aktivitasnya. Di sini, waktu terasa punya ritme yang berbeda, seperti denyut nadi yang lebih cepat. Suara langkah kaki, percakapan para pedagang, dan gemericik air membasahi lantai menjadi harmoni pagi yang khas.
Sejarah pasar tradisional adalah sejarah peradaban itu sendiri. Di masa lampau, pasar adalah pusat segalanya: tempat ekonomi bergerak, budaya bertemu, dan informasi menyebar. Pasar-pasar kuno di kota praja bukan hanya tempat transaksi, tetapi juga ruang sosial di mana keputusan politik dan hubungan antarbangsa sering kali dimulai. Dalam skala yang lebih kecil, pasar di desa-desa adalah urat nadi kehidupan komunitas, tempat di mana cerita, kabar, dan kebutuhan saling bertukar.
Namun, di era modern, pasar tradisional berada di persimpangan. Kehadiran pasar modern dan e-commerce mengguncang eksistensinya. Pasar swalayan menawarkan kenyamanan dengan rak yang tertata rapi dan udara sejuk berpendingin ruangan. Belanja daring menghadirkan kemudahan dalam satu sentuhan. Di tengah semua itu, pasar tradisional tetap bertahan, meski ruangnya semakin sempit. Ia bertahan bukan karena infrastruktur canggih, tetapi karena daya tarik yang melekat pada interaksi manusiawi, rasa percaya, dan koneksi emosional yang tidak tergantikan oleh algoritma.
Posisi pasar tradisional dalam lanskap ekonomi modern adalah simbol perlawanan sekaligus adaptasi. Meski banyak pasar yang tergeser atau bahkan ditutup, beberapa berhasil bertransformasi tanpa kehilangan jiwanya. Pasar-pasar kini mencoba menggabungkan tradisi dan modernitas, dengan memanfaatkan teknologi sederhana untuk membantu pedagang kecil bertahan. Di beberapa kota, pasar tradisional bahkan mulai menarik perhatian wisatawan sebagai bagian dari pengalaman budaya yang otentik.
Tetapi, daya tarik pasar tradisional bukan hanya soal nostalgia atau eksotisme. Pasar ini juga menyimpan pelajaran penting tentang keberlanjutan. Di tengah kampanye pengurangan plastik, pasar tradisional telah lama menggunakan daun pisang atau kertas sebagai pembungkus. Barang-barang yang dijual di sana sering kali berasal dari sumber lokal, mengurangi jejak karbon yang ditimbulkan oleh logistik panjang dari pasar global. Dalam banyak hal, pasar tradisional mengajarkan kita cara hidup yang lebih sederhana dan ramah lingkungan.
Lebih dari itu, pasar tradisional juga merupakan ruang inklusi. Di sini, semua kelas sosial bercampur tanpa sekat. Penjual dan pembeli saling mengenal, menciptakan hubungan yang melampaui sekadar transaksi ekonomi. Pasar menjadi tempat di mana orang merasa diterima apa adanya, tanpa pretensi atau tekanan untuk tampil tertentu seperti di mal atau supermarket modern.
Meski begitu, tantangan bagi pasar tradisional tetap nyata. Infrastruktur yang sering kali minim, sanitasi yang buruk, serta pengelolaan yang kurang profesional menjadi kendala yang harus diatasi. Tanpa intervensi yang serius dari pemerintah dan masyarakat, pasar tradisional bisa semakin tergerus. Namun, jika diberi perhatian yang layak, pasar ini tidak hanya akan bertahan, tetapi juga bisa menjadi model ekonomi yang lebih adil, berkelanjutan, dan berbasis komunitas.
Ketika pasar mulai sepi menjelang siang, refleksi akannya terasa semakin nyata. Pasar tradisional adalah cerminan masyarakat kita: penuh keragaman, hiruk pikuk, dan kesederhanaan yang kadang terlupakan di tengah kebisingan dunia modern. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pasar tradisional tetap menjadi ruang yang mengingatkan kita akan nilai-nilai dasar kehidupan.[T]
BACA ARTIKEL LAIN DARIKIM AL GHOZALI