PERUBAHAN adalah hukum alam yang tidak bisa dibantah apalagi ditolak. Perubahan adalah sebagai ajang seleksi untuk menjemput kondisi lebih maju, lebih baik, sejahtera dan untuk menyeimbangkan situasi dan kondisi dengan tuntutan yang terus berkembang.
Adanya perubahan sistem pemerintahan di suatu negara atau kesukuan adalah salah satunya yang tidak bisa dihindari. Etnis Baduy yang notabene kelompok kesukuan yang taat patuh pada hukum adat pun pernah mengalami pengadopsian sistem pemerintahan desa yang berlaku di seluruh desa se Indonesia. Entah karena butuh atau mencoba, atau karena mengikuti instruksi Pemerintah Negara Indonesia, tetapi ada bukti bahwa selama kurang lebih 25 tahun Baduy secara aktif menggunakan sistem pemerintahan desa melengkapi sistem pemerintahan adat yang sudah baku diterapkan.
Di hari Sabtu, tepatnya tanggal 13 Juli 2024 di rumah dinas Jaro Pamarentah, Lembaga Adat Tangtu Tilu Jaro Tujuh beserta Kokolotan (pinisepuh) telah memutuskan secara resmi dan sah bahwa sistem pemeritahan desa yang diadopsi dan diterapkan sesuai UU Desa Nomor 6 tahun 2014 tentang Pembentukan dan Pemerintahan Desa, mulai dari struktur dan perangkat sampai fungsinya dibubarkan dan dikembalikan pada sistem pemerintahan desa sesuai dengan Kaidah Hukum Adat.
Tentunya kita perlu untuk mencermati kemana arah dan tujuan lembaga adat membubarkan sistem pemerintahan desa dengan berbagai perangkat desa yang kinerjanya dijamin oleh anggaran dana desa. Pertanyaannya, bila sistem pemerintahan desa yang diberi anggaran dana desa oleh negara dibubarkan, artinya pemerintahan Desa Kanekes di Baduy tidak lagi menggunakan dana tersebut, lalu untuk mengelola dan melaksanakan sistem pemerintahan adat, anggaran dan biaya operasionalnya bersumber dari mana? Para pemuka adat di lembaga adat dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dibiayai oleh siapa?
Nah, hal ini perlu kita cermati dan pahami. Apakah mereka para pemuka adat mengerjakan tugasnya dengan ikhlas tanpa digaji atau tanpa dijamin anggarannya? Bila “Ya “, sunggguh sangat luar biasa sistem tata kelola pemerintahan adat suku Baduy.
Tetapi di kekinian, pada saat masyarakat Baduy sudah terbiasa mengikuti dua alur sistem pemerintahan, dan secara administrasi mereka sudah banyak merasakan manfaat dari sistem pemerintahan desa yang berbasis komputer terutama untuk kebutuhan pelayanan kesehatan; tiba tiba harus kembali ke model lama sesuai dengan kaidah hukum adat.Tentunya akan ada jedah transisi yang tidak mudah untuk sesegera diterima.
Namun bukan pula berarti bahwa dengan dikembalikannya ke sistem pemerintahan desa ala Baduy masyarakat Baduy akan kesulitan. Kita mempercayai terhadap segala konsekuensi yang akan mereka lakukan dan terima atas pilihan keputusan adat , karena mereka adalah komunitas adat yang telah terbiasa dengan hukum dan budaya adat.
Keputusan Mengikat
Keputusan adalah bagian dari aspek hukum yang pemberlakuannya sangat kuat dan mengikat pada semua pihak. Keputusan musyawarah Lembaga Adat Tangtu Tilu Jaro Tujuh berserta kokolotan juga Jaro Otong sebagai Kepala Desa/Jaro Pamarentah baru yang membekukan sistem pemerintahan desa yang diadopsi dari Pemerintah Daerah (Negara) adalah satu keputusan adat tertinggi yang sangat kuat dan mengikat untuk dilaksanakan.
Apapun resikonya, pahit atau pun manis keputusan adat tertinggi telah diketok palu secara resmi oleh lembaga adat. Artinya, Baduy sudah harus dan akan siap dengan segala konsekuensi pilihannya. Tentunya, segala konsekuensi plus resiko yang akan berdampak pada semua pihak, baik bagi warga masyarakat Baduy itu sendiri, para tokoh adat beserta jajarannya, dan juga terhadap sinerginya dengan pemeritahan daerah Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, dan pemerintahan pusat harus siap dijalani dan dijalankan dengan menu baru.
Sangat diyakini mereka memutuskan pembekuan atau pembubaran sistem pemerintahan desa di wilayah mereka bukan tanpa sebab atau tanpa alasan yang kuat. Pasti ada alasan-alasan yang mendasari serta tujuan khusus yang ingin dicapai pada masa depan kehidupan mereka dan demi menciptakan pijakan hukum untuk generasi penerusnya.
Alasan lain yang logis adalah dimungkinkan bahwa sistem pemerintahan desa yang mereka adopsi selama 25 tahun lebih dianggap sudah tidak lagi cocok disandingkan dengan sistem pemerintahan adat. Hal lain yang mungkin jadi pendorong percepatan pembubaran adalah bahwa mereka ingin mengembalikan kekekhidmatan pelaksanaan berkehidupan yang aman, tentram, damai, sederhana sesuai hukum adat yang mereka yakini.
Apa pun yang terjadi di kesukuan Baduy hari ini, esok lusa atau di kehidupan masa depan Suku Baduy setelah diketok palunya keputusan penting Lembaga Adat itu, adalah hak prerogatif mereka; dan itu adalah pilihan hidup mereka. Namun yang pasti bahwa perubahan kembalinya ke Sistem Pengelolaan Kesukuan sesuai adat dan kaidah hukum mereka tersebut pasti diperuntukkan demi dan untuk kebaikan serta kemaslahatan kesukuan mereka.
Mereka perlu untuk terus melakukan proses dinamisasi dalam rangka menyeimbangkan dengan tuntutan zaman. Dan menjaga eksistensi kesukuan mereka agar tetap bertahan tidak punah dari bumi Nusantara Negara Kesatuan Republik Indonesia. [T]