APAKAH dunia telah memunculkan peradaban baru, hingga kehidupan seolah-olah seperti revolusi logika yang tidak lagi meniscayakan norma-norma sosial? Atau karena rasionalitas pikiran manusia yang menganggap buah pikirannya seolah-olah sebuah dalil kebenaran seperti kehendak Tuhan (Allah)? Ini tentu sangat stereotip. Ingat, salah satu keburukan sifat manusia adalah apa yang dipikirkannya seolah-olah sudah seperti kehendak Allah.
Munculnya gagasan lingkungan yang dalam konsepsi kini dianggap sebuah perubahan gejala-gejala yang berhubungan dengan klimatologi mengakibatkan struktur dan tekstur kehidupan berada pada persinggungan nilai-nilai kebudayaan. Kita sering terjebak dengan gejala-gejala sosial yang muncul, tetapi kita lupa menganalisis akar permasalahannya. Sejauh ini, pemikiran yang dianggap ruang dinamis untuk menerjemahkan peristiwa-peristiwa sosial acapkali tergiring oleh situasi visual yang justru membantah rasionalitas teori. Adanya antitesis terhadap fenomena yang terjadi, seringkali mengedepankan pikiran-pikiran moderat dan dianggap lebih pas dengan tantangan yang dihadapi.
Benarkah munculnya gejala-gejala paranoid yang melegitimasi kekuatan superioritas manusia, bahkan acapkali cenderung pada hal-hal yang bersifat mitos? Dalam perspektif keilmuan, makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, dimensi visual seakan telah menjelma seperti wajah absurd yang mampu memanipulasi sudut pandang manusia, dan menganggap itulah jawabannya. Dunia menjadi apokaliptik, akibat transisi dan transformasi peradaban sebagai sebuah konsepsi dari revolusi logika!
Beberapa tahun terakhir ini, kita senantiasa dihadapkan pada informasi-informasi fenomena alam yang saling tumpang tindih dengan tumbuh pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi. Fenomena yang menggambarkan kerusakan dan bencana hingga menghantui logika hidup manusia. Mulai serangan pandemi, badai angin dan hujan, gelombang badai matahari, dan lain sebagainya. Hingga memaksa manusia untuk mencari pelbagai cara yang berfokus pada perlindungan dan keselamatan, bukan mencari cara untuk mencegahnya. Kondisi yang bisa membuat manusia berada pada tekanan-tekanan sosial. Juga munculnya fenomena alam yang berdampak pada penurunan kualitas psikologis manusia, seperti adanya distopia, dan sejenisnya.
Dalam terminologi logika, ada yang mendefinisikan logika sebagai sarana untuk berpikir dengan sistematis, tertaut, terarah dan valid. Bahkan pada masa sebelum masehi, seorang filsuf, Aristoteles, memperkenalkan logika pertama kali sebagai peralatan teknis penalaran yang tepat. Ajarannya mengenai logika termasuk dalam induksi, deduksi dan silogisme. Yang kemudian dalam perkembangannya, tidak hanya bersentuhan dengan dimensi manusia sebagai subjek, tetapi interaksi sosial juga memengaruhi fase peradaban manusia. Keraguan-keraguan yang muncul karena keterbatasan ruang gerak yang memperkecil hakikat kebenaran.
Lantas, sistem edukasi apa yang benar, jika revolusi logika ini dianggap sebagai siklus hidup untuk mempertahankan diri dari ancaman-ancaman zaman? Pada gilirannya nanti, bisa jadi senjata pembunuh untuk membunuh karakter manusia itu sendiri. Jika landasan berpikir adalah pendidikan, sebagai instrumen utama dalam menciptakan keseimbangan sosial, maka kita membutuhkan sistem pendidikan yang kuat dan sehat.
Dalam perspektif lain, ada hal yang penting lainnya untuk disusupkan pada materi pendidikan kini. Yakni, bagaimana membaca dan menganalisis realisme sosial yang sangat kental hubungannya dengan kehidupan sehari-hari. Sejauh ini, mungkin sistem pendidikan terlalu fokus pada nilai ukur atau kualitas keilmuan. Karena lembaga pendidikan formal selalu dianalogikan dengan ruang pencetak kaum intelektual. Ruang ini juga sekaligus meningkatkan daya kritisasi sebagai alat kontrol. Hanya sayangnya, kritisasi kaum akademik sering dianggap penentangan terhadap penguasa.
Sebuah keraguan (skeptisisme) dalam nalar manusia, karena memandang pergerakan zaman melalui materi (kebendaan). Ironisnya, hal-hal yang sifatnya hakikat hingga akidah justru menjadi pertentangan. Hal yang perlu dijaga adalah konsep pemikiran pendidikan harus selalu kritis, tetapi bukan menjadi antitesis pemikiran. Karena hal-hal yang menyangkut pertentangan, pada strata tertinggi bisa berpotensi melahirkan bentuk-bentuk radikalisme baru.
Dalam analisis sebab-akibat yang mewarnai dunia pendidikan kita, gejala sosial peradaban terjadi adanya pengikisan nilai-nilai budaya. Penggunaan kurikulum merdeka itu, secara konsep desain bagus, tetapi sistematikanya tidak sesuai dengan kebutuhan nilai budaya kita. Apa dampaknya? Salah satu bukti dalam 5 tahun terakhir ini, ada banyak budaya lokal, terutama bahasa ibu (daerah) tergerus bahkan nyaris punah. Ini sungguh ironis, sementara di sisi lain keberlangsungan dan kelestarian budaya harus tetap dijaga. Dalam riset budaya sering dibenturkan dengan nilai-nilai agama. Persoalan moderasi agama dalam perspektif pendidikan, dalam kerangka kebangsaan sering dibenturkan dengan pemikiran-pemikiran baru yang berorientasi modernitas. Lantas, tradisi-tradisi agama yang juga merupakan bagian dari kebebasan dan kemerdekaan beragama, lambat-laun bisa dianggap sebagai penghambat modernisasi pemikiran!
Penulis tidak bisa bayangkan, seandainya tradisi ubudiyah (dalam Islam), dianggap tidak lagi relevan dengan tuntutan zaman. Ini memang belum terjadi, tetapi 10 atau 20 tahun ke depan apakah kita bisa menjamin keberlangsungannya. Sementara pemikiran kita selalu dihantui oleh ketakutan-ketakutan global. Yang akhirnya kita mencari jawaban dari situasi “entah” ini. Dunia menjadi apokaliptik oleh pemikiran-pemikiran baru dan dianggap sebagai simbolisme dari revolusi logika. Bisa jadi, semesta yang menjadi tempat peradaban, semua dianggap berpotensi memicu katastrofe!
Hal-hal di atas tentu perlu ditelaah lebih dalam. Mengingat beberapa kasus yang menjadi riset global, bahwa kini banyak terjadi dan munculnya perang logika. Dunia tidak disibukkan dengan perang fisik yang melibatkan kekuatan militer, tetapi perang nalar logika melalui penguasaan ilmu. Pada eksistensi tinggi, penguasaan ini menjadi bentuk kapitalis. Perang tanpa wujud, yang kesemuanya bermuara pada penguasaan ekonomi. Untuk menguasai pasar, salah satu cara dengan melakukan perang budaya. Kita selalu tertinggal dengan gagasan lingkungan yang mengadopsi modernisasi.
Tradisi budaya lokal semakin tergerus, bahkan nyaris punah. Eksistensi perilaku manusia secara simultan telah terpengaruh dengan budaya-budaya modern yang dikemas dalam improvisasi seni dan pemikiran modern. Pendidikan pun menjadi pintu masuk dalam persaingan globalisasi keilmuan, yang kebanyakan mulai bergantung dengan kecepatan teknologi.
Seyogianya, harus ada komitmen yang kuat untuk menahan lajunya modernisasi, tanpa menampik kehadirannya. Jika dalam lingkungan lembaga pendidikan, maka perlunya memperkuat simpul-simpul pengetahuan yang tidak semata bergantung pada informasi bersifat digitalisasi. Tentu kita sangat prihatin, jika kebijakan-kebijakan yang ada selalu bermuara pada kepentingan politik. Seyogianya kita tetap membutuhkan regulasi melalui kebijakan-kebijakan politik, tetapi yang perlu diperhatikan risiko analisis yang mengakibatkan dampak perubahan itu bagi kelangsungan pendidikan jangka panjang. Jangan sampai kita kehilangan identitas bangsa. Maka disini harus ada ekosistem yang bagus, antara modernitas Logika, bahasa dan budaya.
Adanya larangan yang menganalogikan pandangan logika nalar sebagai landasan berpijak, tentu harus dibandingkan dengan kajian-kajian teori tentang identitas suatu bangsa.
Sebagai rujukan dalam tulisan ini, ada beberapa pendapat tentang teori identitas, antara lain:
- Sheldon Stryker (1981) mengatakan, bahwa identitas adalah teori yang memusatkan perhatiannya pada hubungan saling memengaruhi di antara individu dengan struktur sosial yang lebih besar lagi (masyarakat).
- Henri Tajfel (dalam Hoggs & Abrams, 1998) mendefinisikan identitas sosial sebagai pengetahuan seseorang terhadap keanggotaan di dalam suatu kelompok bersama dengan nilai dan emosional yang dirasakan di dalamnya.
Maka konsep pendidikan dalam negara, adalah sebuah proses transisi, transformasi dan edukasi dalam penalaran sehat. Di mana revolusi logika tidak boleh ikut mengatur dalam sistem pendidikan. Jika itu dianggap sebagai bagian dari instrumen pendidikan, seyogianya ada parameter jelas untuk mengukur kebutuhan reproduksi zaman. Setiap generasi penerus bangsa tentu memiliki tantangan yang berbeda dalam pendidikan. [T]
BACA puisi dan esai lain dari penulis VITO PRASETYO