DENGAN suara lirih, seorang sahabat berkata kepada saya tentang dirinya yang sedang terjerat pinjaman online, akrab disebut pinjol. Nama yang terlanjur berkonotasi negatif, membuat pihak terkait baru-baru ini menggantinya dengan istilah pindar, akronim dari pinjaman daring.
Kondisi keuangan yang terjepit, terlebih lagi ketika situasi perekonomian tidak menentu—imbas dari perang atau penyakit yang melanda dunia, membuat warga masyarakat mesti pandai bersiasat untuk bisa bertahan hidup, termasuk meminjam uang dari pinjaman daring.
Setahun lalu, saya pernah mengalami apa yang teman saya rasakan. Gagal bayar, bukan karena dengan sengaja melarikan diri dari kewajiban membayar utang, tetapi karena memang belum ada penghasilan baru setelah berhenti bekerja pada sebuah media online; menjadi wartawan di sana.
Hal itulah yang membuat saya “berani” untuk meminjam uang, dengan harapan agar mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Saya tahu dan dalam keadaan sadar menjadi nasabah pinjaman daring. Termasuk, konsekuensi jika belum bisa membayar utang setelah waktu jatuh tempo. Semua saya sadari secara penuh. Saya juga sebelumnya tidak pernah absen membayar.
Hingga kondisi “buruk” itu tiba. Staf penagih hutang, yang beberapa darinya “kurang” memahami etika berkomunikasi, berulang kali menelepon saya untuk mengingatkan agar saya segera membayar tagihan utang. Selain telepon, juga mengirim pesan melalui fitur perpesanan.
Pinjaman daring berbeda dengan pinjaman konvensional. Ada istilah “tenor” yakni pembagian waktu pembayaran; bisa tiga kali atau enam kali. Semuanya telah diatur dalam sistem dengan teknologi canggih. Jadi mengembalikan uang yang dipinjam tidak sekaligus, tergantung “tenor” yang dipilih. Bisa dalam kurun waktu tiga bulan, enam bulan, dan bahkan ada yang lebih.
Mungkin hal inilah yang membuat banyak orang gemar menggunakan platform pinjaman daring. Ada banyak pinjaman daring yang legal dan berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tetapi, ada pula pinjaman daring yang ilegal, yang telah banyak ditutup kegiatan operasionalnya oleh OJK mengingat banyak masalah yang ditimbulkan. Bahkan ada debitur bunuh diri akibat tekanan psikologis yang dirasakan sebagai peminjam pinjaman daring.
Masyarakat pun kini mengerti; jika butuh pinjaman dana menggunakan pinjaman daring legal, dengan ciri gambar utama pada aplikasi pindar mencantumkan logo OJK dan AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia). AFPI adalah organisasi yang mewadahi pelaku usaha Fintech Peer to Peer (P2P) Lending atau Fintech Pendanaan Online di Indonesia. AFPI ditunjuk OJK sebagai asosiasi resmi penyelenggara layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi di Indonesia.
Gagal Bayar alias “Galbay”
“Galbay” adalah singkatan dari Gagal Bayar. Istilah ini sering digunakan dalam konteks pinjaman, terutama pinjaman online (pinjol), yang kini berubah nama menjadi pinjaman daring (pindar). Galbay terjadi ketika seseorang yang meminjam uang pada pindar, tidak mampu melunasi utangnya sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat.
Galbay memiliki sejumlah risiko yang perlu diperhatikan, baik bagi peminjam maupun pemberi pinjaman. Riwayat galbay akan tercatat dalam sistem informasi kredit dan dapat menurunkan skor kredit seseorang. Skor kredit yang buruk akan menyulitkan seseorang untuk mendapatkan pinjaman di masa depan. Selain itu, pemberi pinjaman akan melakukan tindakan penagihan untuk menagih utang yang belum terbayar. Tindakan penagihan bisa berupa telepon, email, atau bahkan kunjungan langsung ke rumah peminjam uang.
Jadi, anggapan bahwa utang akan hangus sendirinya setelah gagal bayar (galbay) sangat keliru. Dikutip dari pemberitaan CNBC Indonesia, merujuk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 10/POJK.05/2022, peraturan ini tidak secara eksplisit mengatur tenggat waktu penagihan oleh penyelenggara pinjaman daring (pindar) atau ketentuan bahwa penagihan dilakukan dalam waktu 90 hari, selebihnya dianggap hangus.
Biasanya, kontak nasabah gagal bayar (galbay) akan diteror oleh debt collector (DC) pindar, maupun pihak ketiga yang disewa oleh perusahaan. Teror tersebut akan terus dilakukan baik dalam beberapa hari atau bahkan berbulan-bulan jika nasabah tidak segera melunasi utangnya.
Setelah 90 hari gagal bayar, bukan berarti utang dianggap lunas. Peminjam atau nasabah akan dibawa ke jalur hukum yang legal oleh mereka. Nasabah akan dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) oleh pihak pinjol melalui SLIK OJK. Dengan laporan ini, nasabah pinjol yang gagal bayar tidak akan bisa mengajukan pinjaman ke lembaga keuangan lainnya.
Bunga pinjaman pun akan terus meningkat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan peraturan OJK tahun 2022, bunga pinjaman daring legal adalah sebesar 0,4% per hari dengan tenor kurang dari 30 hari. Bunga pinjaman produktif dikenakan sebesar 12% hingga 24%.
Balada “Galbay”
Di tengah kondisi sulit yang dialami nasabah pinjaman daring, terutama yang mengalami “galbay”, ada saja orang-orang yang memanfaatkan situasi itu. Kini muncul semacam “joki” pindar melalui media sosial dan website menawarkan bantuan bagi nasabah “galbay”. Saya belum mempelajari lebih lanjut tentang ini. Hanya saja dari beberapa sumber yang saya baca, kebanyakan layanan “joki” ini terindikasi melakukan penipuan. Mana ada orang atau perusahaan yang dengan gratis mau membayarkan utang tanpa ada “timbal-balik” tertentu? Itu logikanya.
Pinjaman daring—dengan berbagai dinamikanya, juga memunculkan berbagai “kreativitas”. Pindar pun menjadi bahan konten baik di YouTube atau TikTok. Terdapat akun-akun yang khusus membahas pindar, mulai dari pindar mana saja yang legal dan ilegal; ada atau tidaknya debt collector (DC) pada pinjol tertentu, hingga kondisi “kesehatan” pindar; mana yang sehat, kurang sehat, atau dalam kondisi “sakit”—dalam artian mengalami kredit macet tinggi yang memiliki potensi ditutup oleh OJK. Jika pindar bangkrut, utang nasabah otomatis terhapus.
Itulah fenomena “Galbay” di Indonesia, negeri yang sering dipelesetkan namanya menjadi “Wakanda”, karena perilaku warganya yang unik. Bahkan, berdasarkan data dari CNBC Indonesia, ada kejadian satu orang meminjam uang pada 40 aplikasi pindar. Maka tak aneh, menurut catatan AFPI hingga September 2024, 22 dari 97 Fintech Peer to Peer (P2P) Lending atau perusahaan pindar legal mengalami masalah angka kredit macet tinggi.
Kehadiran pindar yang awalnya untuk membantu keuangan masyarakat melalui layanan pinjaman, tentu perlu dibarengi dengan kualitas literasi keuangan yang baik. Jangan meminjam uang pada pindar jika memang kemampuan membayar tidak ada. Atau, dengan sengaja memanfaatkan pindar untuk niat tidak baik, meminjam uang lalu “lari” dari tanggung jawab membayar utang. Apalagi, meminjam uang lebih dari dua aplikasi pindar sehingga terjadi “gali lubang-tutup lubang”. Tentu akan menyulitkan diri sendiri, keluarga, dan orang-orang dekat kita. [T]
BACA artikel lain dari penulis ANGGA WIJAYA