JIKA seseorang sering mengunjungi satu tempat makan dan minum selama lima tahun , kenangan apa yang dia dapat dari sana? Makanan dan minuman yang lezat? Tempat yang asri dan indah karena berada di tepi sawah atau pinggir pantai dengan menatap laut? Minum minuman hangat sambil mendengar desah air terjun? Pelayanan yang ramah dan amat memuaskan? Ada menu dan fasilitas ramah anak anak dan lansia?
Bagi saya, yang paling berkenang dari Kulidan Kitchen yang berlokasi di Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali selama saya berkunjung dari tahun 2019 hingga 2024 adalah satu acara yang saya hadiri pada tanggal 12 Februari 2020. Acara ini merupakan pameran seni dan diskusi buku yang diselenggarakan secara bersamaan dengan tema Melawan Setan Bermata Runcing. Sokola Institute menyelenggarakan acara tersebut. Karya seni yang dipajang di dinding Kulidan Kithen dibuat oleh Oceu Apristawijaya sebagai illustrator. I Komang Adiartha selaku pemilik tempat acara menjadi moderator.
Diskusi buku berjudul Melawan Setan Bermata Runcing menjadi hal yang paling berkenang bagi saya dari kulidan kitchen karena dapat berdialog secara langsung dengan penulis buku dan illustrator dan yang paling menarik adalah pendidikan alternatif yang Sokola Institute selengarakan untuk komunitas terpencil di Indonesia seperti Sumatera, Sulawesi, dan Papua, kritiknya terhadap sistem pendidikan saat ini yang sering jauh dari kehidupan sehari hari dan literasi hadap masalah. Kritik atas sistem pendidikan formal saat ini sesuai dengan yang saya amati saat menempuh pendidikan di sekolah formal.
Beberapa kisah berikut ini saya simak dengan saksama dari sokola institute yang membuat suatu kenangan dari kulidan kitchen. Dodi Rokhdian sebagai salah satu anggota Sokola Insitute yang hadir di Kulidan Kitchen menghaturkan dari pengalamannya saat mengajar baca tulis, anak-anak rimba melontarkan pertanyaan kegunaan membaca dan menulis jika hutan sebagai rumah orang Rimba hancur dan orang Rimba diusir dari hutan yang jadi tempat tinggalnya selama ribuan tahun oleh kebijakan dari Taman Nasional dengan motif konservasi untuk kelestarian alam. Kemudian masalah yang beliau hadapi yaitu orang Rimba menjual hutan untuk mendapat uang dan menjadi konsumtif. Dialog ini menjadi latar belakang Sokola Institute untuk merumuskan strategi pendidikan kontekstual berbasis permasalahan kehidupan yang dihadapi komunitas.
Maka dari itu metode pengajaran dan materi ajar yang diajarkan Sokola Institute kepada anak-anak Rimba di Sumatera berbeda dengan anak-anak Kajang di Sulawei dan anak-anak Asmat di Papua karena permasalahan masing masing suku ini tidak sama sesuai dengan keadaan alam , cara hidup dan kondisi sosialnya. Pendidikan bukan hanya memberi berbagai pengetahuan semata. Pendidikan yang dijalankan oleh Sokola ini berdasarkan pada kebutuhan ‘pihak’ yang menerimanya. Di acara tersebut diceritakan bahwa salah satu sebab anak-anak komunitas adat kurang berminat untuk bersekolah karena materi ajar di sekolah jauh dari kehidupan sehari hari dan tidak berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan di lingkungan mereka.
Dari bagian awal acara ,jadi teringat bahwa saya terkadang merasakan keterasingan saat di sekolah karena materi pelajaran yang saya terima jauh dari kehidupan sehari hari. Sekolah mengutamakan murid untuk menghafal materi pelajaran memperburuk situasi. Belajar di sekolah dianggap supaya cepat dapat ijazah kelulusan. Akhirnya murid-murid kurang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah.
Kulidan Kitchen and Space
Saya sering bertanya-tanya untuk apa murid-murid diharuskan belajar trigonometri, logaritma, optik, fluida, kalkulus dan aljabar? Apa kegunaan hal itu dalam kehidupan sehari hari? Mungkin akan berguna dalam arsitektur, komputer atau yang ingin menjadi dosen. Akan tetapi orang yang ingin menjadi advokat untuk lingkungan hidup, membangun bisnis ramah lingkungan atau ahli memperbaiki sepeda dayung dan kendaraan lainnya,mereka sama sekali tidak akan menggunakan hal hal tersebut. Hampir tidak ada satupun dari mereka yang dapat mengingat dan menjawab soal soal tertulis di buku berkaitan dengan hal hal tersebut.
Anak-anak Rimba itu kritis atas pelajaran yang mereka dapat. Ada dua momen di mana guru mengajar menghitung bilangan pecahan seperti berapa asilnya bila dua pertiga ditambah sepertiga, murid-murid Rimba ini protes bahwa itu tak berguna karena dalam kehidupan sehari hari tidak pernah membeli barang sebanyak dua pertiga kilo atau sepertiga kilo. Mereka juga tidak pernah menggunakan ukuran demikian saat membuat sesuatu. Dalam kehidupan sehari hari, mereka gunakan ukuran setengah, satu, satu setengah atau dua. Kemudian, saat guru menerangkan bahwa jarak bumi ke bulan sejauh 384.400 km sehingga dibutuhkan pesawat luar angkasa untuk mencapainya, anak-anak rimba ini justru bertanya pada guru dengan pertanyaan berikut: “ buat apa kita tahu jarak ke bulan? Kalau kami tidak akan pernah ke bulan, buat apa dipelajari?”
Sikap anak-anak Rimba yang kritis ini membuat Sokola Institute menegaskan pentingnya pendidikan dan materi mengajar menyesuaikan dengan permasalahan orang Rimba. Model pendidikan Sokola berlangsung dalam tiga tahap yang berkesinambungan. Tahap pertama adalah literasi dasar. Kisah dari Butet Manurung mengenai cara dia mengajarkan huruf kepada anak-anak Rimba saya dengar dengan penuh perhatian karena amat menarik dan menjadi kenangan saya dari kulidan.
Butet Manurung menunjukkan atap rumah pondok orang Rimba yang menyerupai huruf A saat mulai memperkenalkan huruf A. Jadi saat melihat atap rumah pondok, anak-anak Rimba terus ingat huruf A. Benda-benda yang akrab dan tempat yang sering dilihat anak-anak Rimba digunakan untuk pelajaran mengenal huruf berikutnya. Dia membawa kail yang dipakai memancing sehari hari untuk mengingatkan bahwa ini menyerupai huruf J. Dia mengingatkan anak-anak ini deretan bukti dekat rumah mereka serupa dengan huruf M. Mengajak ke tepi sungai supaya anak-anak Rimba tahu bahwa huruf S menyerupai itu. Untuk pelajaran bahasa Indonesia, kosa kata yang dipakai dominan dijumpai dalam kehidupan sehari hari antara lain hutan, durian, rusa, ladang, adat, taman nasional, konservasi dan desa.
Metode pengajaran Butet Manurung membuat mereka cepat memahami huruf dan kata. Juga membangkitkan rasa antusias yang tinggi untuk belajar membaca dan menulis. Jadi, bukan hanya sekedar abstrak dan jauh dari kenyataan melainkan dihubungkan langsung dengan permasalahan yang dijumpai sehari-hari. Esensi pendidikan menurut Butet Manurung adalah bekal kita hidup saat dewasa nanti.
Saat Butet mengajak anak-anak Rimba ke Jakarta, mereka melontarkan pertanyaan yang mengejutkan seperti mengapa sungai-sungai di Jakarta itu amat kotor padahal sebagian besar orang orang di sana bersekolah? Mengapa banyak mobil berhenti? Mengapa macet parah dan banyak orang mau berada di kemacetan? Yang mana pertanyaan-pertanyaan ini adalah suatu peringatan mengenai pendidikan itu sendiri. Pembelajaran lokal pada masyarakat adat umumnya mencakup tiga unsur yaitu: hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesame manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Tiga unsur ini di Bali disebut tri hita karana.
Tahap kedua yaitu literasi terapan yang saya sebut sebagai literasi hadap masalah. Literasi hadap masalah merupakan literasi yang disesuaikan dengan kehidupan sehari hari dan kondisi lingkungan program ini dijalankan dengan tujuan manfaatnya harus dapat dirasakan langsung oleh pihak yang mengikutinya. Dalam literasi hadap masalah, kurikulum dan materi ajar disesuaikan dengan kondisi terkini komunitas tempat program berlangsung serta disusun berdasarkan masalah masalah yang terjadi di lapangan dan dirancang bersama dengan komunitas setempat.
Sokola Insitute melakukan wawancara mendalam, focus group discussion (diskusi bersama kelompok mengenai permasalahan kelompok tersebut) dan pengamatan di komunitas Asmat untuk menyusun kurikulum literasi hadap masalah. Dari tiga tindakan awal, masalah yang dihadapi komunitas Asmat antara lain penebangan pohon kayu besi, bagi hasil yang tidak seimbang antara komunitas asmat dan pemodal. Di pelabuhan, pekerja Asmat menerima sistem pembayaran kerja dan bongkar muat yang tidak adil, jadual pembagian kerja yang kacau sehingga ada seseorang yang bekerja sampai tiga kali dalam sehari dan ada yang tidak dapat jatah pekerjaan sama sekali dan penerapan keselamatan kerja yang buruk. Tidak sedikit pula orang Asmat kesulitan membaca takaran, timbangan transaksi jual-beli dan juga belum mampu membaca dan menulis surat menyurat terkait perjanjian dagang. Kisah yang membuat saya terkejut dari Fawaz yaitu ada anak-anak Asmat yang meninggal dunia karena overdosis obat. Orangtua tidak memahami tulisan yang tertera dalam resep obat bahwa obat ini harus diminum sehari tiga kali dan satu tablet sekali minum. Mereka pikir dengan menghabiskan obat satu botol atau satu kotak, penyakit yang diderita cepat sembuh.
Buku “Melawan Setan Bermata Runcing”
Dari permasalahan permasalahan tersebut, Kurikulum tersebut kemudian dipresentasikan kepada komunitas dan komunitas memiliki keputusan mutlak untuk menerima maupun menolak kurikulum ini. Tema yang dipilih untuk literasi hadap masalah adalah hutan, pelabuhan, kios, adat dan kesehatan. Jadi anak-anak , remaja dan orang dewasa belajar membaca menulis dan berhitung dengan lima tema tersebut sesuai dengan permasalahan yang mereka hadapi.
Literasi hadap masalah yang Sokola Institute adakan di komunitas Asmat bertujuan supaya peserta mampu bercerita, menulis dan membacakan kembali hal hal yang ditulis dengan menggunakan 5 W + 1 H serta mampu membaca kalimat, paragraf, dan tulisan utuh kemudian memahami apa yang mereka baca lalu menceritakan kembali hasil pemahaman mereka. Topik membaca dan menulis memfokuskan pada:
- pemanfaatan hasil hutan dengan memahami informasi tertulis kayu besi dan harga kayu besi dan peraturan yang terkait kehutanan.
- arti, peranan, pelaku dan aktivitas yang terjadi di pelabuhan
- mampu menyusun jadwal pembagian kerja dan mempraktikkan sistem keselamatan kerja
- aktivitas yang terjadi di kios sembako, asal usul suatu produk hingga sampai ke komunitasnya , sebab naik dan turunnya suatu harga serta mampu memahami perjanjian utang piutang
- suatu proses aktivitas budaya dan mempraktikkan toleransi dalam kehidupan sehari hari
- mampu membaca resep obat ,keterangan kandungan obat , efek samping penggunaan obat sintetis.
- mengetahui ragam penyakit yang ada di komunitas dan cara penanganan serta pencegahan
- memahami sistem pengobatan tradisioal yang sudah dipraktekkan komunitas Asmat
Literasi hadap masalah juga mencakup kemampuan matematika yang digunakan langsung untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Kompetensi ini terdiri dari kemampuan menghitung hasil kayu, buah dan buruan yang didapat lalu mengkonversikannya dalam hitungan rupiah jika menjual hasil hasil hutan tersebut. Perhitungan hasil kayu menuntut peserta harus menguasai satuan panjang, dan volume kayu dan juga luas lahan.
Belajar matematika tidak hanya dilaksanakan di ruang kelas tapi juga di luar sekolah seperti pelabuhan, kios dan fasilitas kesehatan. Di pelabuhan murid diajarkan untuk mampu menggunakan matematika untuk pembagian upah bongkar muat ,jumlah dan volume muatan kapal. Guru Sokola Institute mengajak murid untuk menghitung jumlah uang belanja, hasil penjualan, satuan takaran dan berat barang sehingga dapat membeli dan menjual barang sesuai kebutuhan. Saat belajar di fasilitas kesehatan mengenai hidup sehat, murid-murid mempelajari bilangan pecahan untuk takaran obat yang harus diminum.
Ketika sudah menguasai literasi dasar dan literasi hadap masalah, pada tahap ketiga yaitu pengorganisasian yang bertujuan untuk kemandirian dan pemberdayaan komunitas sehingga mampu mengorganisir secara mandiri dalam menyelesaikan masalah komunitas. Menghasilkan kader-kader yang menjadi perantara komunitas dalam menghadapi pihak luar dan organisasi yang solid sebagai bentuk bahwa keberadaan komunitas itu sah di mata hukum. Yang berarti komunitas punya hak dan mempertahankan hak tempat hidupnya seperti orang Rimba yang mempertahankan hutan dan keberadaannya di hutan saat terjadi pembalakan dan diancam diusir dari situ untuk proyek taman nasional.
Acara ini merupakan kenangan yang paling saya ingat dari Kulidan Kitchen. Sedikit banyak bersinggungan dengan pengalaman dan pengamatan saya. Kulidan Kitchen bukan hanya menyediakan makanan dan minuman tapi juga memberikan suatu kisah, pengetahuan dan informasi yang belum pernah saya dengar maupun baca sebelum tahun 2020. Keistimewaan Kulidan kitchen adalah sebagai tempat minum dan makan yang berada di tengah sawah Guwang menjadi tempat untuk berdiskusi, bedah buku, dan memajang karya seni yang menyuarakan isu isu seperti pendidikan, sosial dan ekologi. Saya berterima kasih kepada I Komang Adiartha selaku pengelola Kulidan Kitchen yang menyediakan tempat untuk acara yang meninggalkan kesan istimewa serta minuman pelepas dahaga. Juga kepada Pembicara dari Sokola Institue yaitu Butet Manurung, Fawaz, Aditya Dipta Anindita dan Ilustrator yang karyanya dipajang di Kulidan Kitchen Oceu Apristawijaya. [T]
BACA artikel lain dari penulis DONI SUGIARTO WIJAYA