SUATU pagi 19 Oktober 2024 di Perpustakaan Umum Gowa, seorang seniman Jepang, Satoko Ichihara, ketika ditanya tentang ruh yang menggerakkan naskahnya yang nampak ditulis untuk menghibur dan mengajak penonton merayakan kehidupan, ia berpikir lama kemudian menjawab “negara kami tak pernah mengalami penjajahan itu mungkin bedanya”. Jawaban ini menjadi kalimat kunci mengapa ingatan akan masa lalu begitu banyak mengungkapkan kegelisahan, trauma, dan kecemasan yang banyak diungkapkan oleh Festival Kala Monolog tahun ini.
Menyusuri masa lalu, entah melalui ingatan atau merasai vibrasi benda-benda yang menjadi saksi peristiwa, mampu mendeteksi banyak hal. Ingatan dapat menjumpai sedimentasi kisah yang mungkin terungkap dalam bentuk luapan emosi masyarakat kota. Luapan yang dulu disangka sebagai tradisi yang mengakar atau budaya yang agung, akan tetapi ternyata energi emosi ini berakar dari masa lalu yang menakutkan. Bagi sebuah kota atau negara yang mempunyai masa lalu yang kelam, sisa-sisa perang masih dapat terdeteksi sampai hari ini, entah itu melalui cerita hantu yang dipelihara, luapan kecemasan, dan ketakutan yang entah dari mana. Tulisan ini berusaha mengaitkan teks-teks yang terurai di atas panggung dari beberapa pagelaran monolog pada Festival Kala Monolog oleh Kala Teater tahun 2024.
Saya mulai menyatukan teks dari beberapa monolog ketika saya mengingat buku karya Faruk, yang berjudul Hilangnya Pesona Dunia. Buku ini berkisah tentang modernisme yang mengubah tatanan dunia dan dunia berubah menakutkan. Lalu, ilmu pengetahuan modern memperkenalkan dunia dengan dua ruang, ruang publik, dan ruang privat. Apa yang dilakukan dalam Festival Kala Monolog tahun ini adalah kembali mengenali dan mengingat ruang-ruang itu. Para seniman menggunakan tubuh mereka untuk merasai energi atau mengumpulkan ingatan mereka akan masa lalu ruang di kota ini. Panggung yang menghadirkan energi masa lalu ternyata banyak mengungkapkan hal tak terduga.
Trauma Ruang Publik
Hal yang pertama terasa adalah trauma dari ruang publik. Trauma ini dapat terihat dalam luapan emosi Annisa Effendi ketika menginterpretasikan naskah monolog Nurul Inayah “Perempuan Etalase Mitos”. Di atas panggung, sang aktris meluapkan rasa sangat jengah pada ibunya yang mendidiknya menjadi perempuan malebbi’. Ia seorang perempuan Bugis, terlahir dari seorang wanita Bugis yang menjaga harkat dan harga dirinya. Sang ibu meyakini perempuan malebbi’ adalah simbol keagungan wanita Bugis. Ia menjadi panutan setiap ibu untuk mendisiplinkan anak gadisnya, dari cara bertutur hingga cara bergerak. Imaji ini adalah letupan ketakutan ibunya akan pandangan masyarakat. Sang ibu senantiasa merasa menjadi objek yang dilihat banyak mata. Dirinya dan anak perempuannya seakan berada dalam etalase.
Dari mana perasaan ini berasal? Dari tuturan sang aktris, terungkap bahwa sang ibu mewarisi kisah dari orang tuanya. Dua generasi di atasnya hidup dalam masa perang. Masa ketika dunia telah kehilangan pesonanya dan tak lagi ramah bagi perempuan. Dunia bukan lagi tempat yang nyaman untuk bermain, alam tak lagi menjadi teman sejati. Pengalaman perang yang dikisahkan turun-temurun mewariskan trauma yang tak pernah selesai. Ketakutan perempuan menghadapi peperangan, kehilangan lelaki atau trauma lelaki yang tersisa dari medan perang. Perempuan telah kehilangan kekuatan untuk mempercayai semesta yang selalu ada mengayomi hidupnya. Ketakutan itu terwariskan pada sang anak padahal dunia telah berubah.
Meskipun sang anak membawa jiwa semesta dan jiwanya yang suci masih menangkap pesona dunia, jiwa itu terbelah dalam asuhan ibunya. Keinginan mengikuti gerak hatinya sekaligus realitas ruang publik yang ditunjukkan ibunya; tentang kota yang mendudukkan perempuan dalam kasta yang paling rendah tetapi menjadi simbol kehormatan yang paling tinggi. Ia menjadi simbol siri yang harus dijaga karena harkat keluarga ada pada selangkangannya. Ia tak serendah itu, dan ia mengungkapkannya dengan penuh amarah dan kecemasan.
Serupa dengan monolog “Perempuan Etalase Mitos”, monolog “Belanja Cinta” naskah Nurul Inayah yang dituturkan oleh Dwi Lestari Johan juga mengungkapkan kemarahan akibat siksaan karena merasa orang-orang senantiasa mengawasinya. Ia mengutuki toples uang di atas meja karena ruang hidupnya tersiksa. Ia mulai mengingat, uang panaik yang diinginkan orang tuanya untuk menarik kesan masyarakat luas, dan untuk menaikkan harkat keluarganya. Orang tuanya puas meraih simpati masyarat tetapi ia tak berhasil menikahi lelaki yang dicintainya, bahkan berujung dalam perceraian yang menyakitkan. Namun panaik tak pernah menjadi miliknya, tetapi menjadi milik keluarga untuk berpesta pora.
Ia benar-benar marah. Betapa ia merasa tak berharga di hadapan masyarakat. Pada masa kecil ia menjalani banyak disiplin untuk menjadi perempuan yang menjaga harkat agar ia bernilai yang dibuktikan dengan panaik. Ia merasa dikorbankan, panaik tak pernah ia miliki. Ia merasa tak memiliki jiwa tetapi hanya dianggap sebagai tubuh. Masyarakatnya masih membayangkan putrinya adalah I We Tenri Abeng yang berada dalam pingitan, suci, berilmu tinggi, dan berjodoh dengan manusia langit. Ia tak pernah bahagia dengan perkawinannya yang materialistik. Dalam hitungan waktu, ia segera akan menyandang gelar janda dan ia menjadi bulan-bulanan lelaki usil. Ia meluapkan kemarahannya merasa menjadi korban objek yang diperdagangkan. Ia adalah media eksistensi keluarga untuk memberi kesan di ruang publik.
Pada panggung lain, seorang TKW yang berani berhasil melangkah keluar dari ruang privatnya. Bukan hanya itu, ia bahkan telah berhasil keluar dari negaranya seorang diri, tanpa suami atau ayah. Apakah ia merupakan penggambaran kegagalan lelakinya membawa makanan segar penghangat perut anak-anaknya ataukah mimpi akan standar kehidupan yang memberi label ke setiap individu? Tak ada yang tahu. Karena ia seorang perempuan, ia terdampar pada ruang privat orang lain dan melayani kebutuhan-kebutuhan privat tuannya.
Ia tak lagi mempunyai ruang privat untuk dirinya sendiri, ruang yang sakral tempatnya memulihkan tenaga, sehingga jiwanya tak menetap terbang ke sana kemari mengikuti arah pikirannya. Jiwa menjadi budak pikirannya. Ia tak hanya tak memiliki tubuhnya, bahkan jiwanya pun sudah tak punya rumah. Sepanjang hayat ia mengutuki apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Kekuatan femininnya telah menjelma menjadi maskulin, kata-katanya penuh kutukan, ketakutan, tangis air mata, amarah, dan sumpah serapah. Ia telah kehilangan kepercayaannya pada semesta.
Di panggung lain, seorang perempuan, Mega Herdiyanti, menarasikan pesona dunia di masa depan dalam naskah Mutiara Pulau. Mega memerankan seorang perempuan dari pulau yang berpendidikan rendah namun terpesona dengan janji pendidikan tinggi. Semua pasti percaya bahwa pendidikan tinggi adalah tangga menuju kelas sosial yang lebih tinggi. Harapan itu ia letakkan pada putrinya. Ia mengambil upah sebagai pappalimbang dengan memberi tumpangan bagi orang yang hendak menyebrang ke pulau lain. Upah itu sebagai bekal sekolah anaknya kelak.
Ia satu-satunya perempuan yang bekerja sebagai pappalimbang. Sampai hari ini sekolah adalah harapan satu-satunya bagi mereka yang berada dalam level sosial yang lebih rendah. Sekolah merupakan jalan untuk membayarkan dendam mereka pada kesulitan hidup, meski mereka harus melupakan doa-doa pujian mereka di gelap malam karena terlelap lelah diburu mimpi yang kian dekat. Ia tahu, puji-pujian feminin mereka adalah elixir yang mampu mengubah dunia. Namun mereka tak lagi bersabar menunggu keajaiban karena esok anak-anak akan mati kelaparan. Lelaki yang berjuang di medan ruang publik telah melupakan mereka tanpa tanggung jawab. Naskah Mutiara Pulau tak berisi keluhan, kecemasan, tapi penuh harapan. Mega merayakan perannya dengan suka cita.
Nostalgia pada Energi Feminin
Percakapan tentang sepak terjang maskulin di ruang publik dapat terlihat dalam lakon Kasir Kita, Sopir 1989, dan Pendekar Pena. Ketiga lakon ini juga memperlihatkan teknik mengingat. Ingatan akan asal mula kemenangan mereka yang bersumber dari energi feminin. Sama seperti Adam, kehidupan duniawi baru ia mulai setelah Hawa tercipta mendampinginnya. Hawa adalah energi yang berada pada I We Tenriabeng yang memberi inspirasi pada Sawerigading untuk memulai perjalanan, yang menyulap Walenreng menjadi perahu Sawerigading mengarungi lautan luas untuk menemukan I We Cudai. Energi feminin memang berada dalam ruang yang dalam yang sulit ditemukan, namun ia senantiasa merupakan sumber energi yang sanggup mengubah dunia. Energi ini diakui oleh pemeran laki-laki dalam beberapa lakon.
Pertunjukan Monolog “Jalan Terakhir” Aktor, Penulis Naskah, dan Sutradara Alghifahri Jasin | Foto: Ist
Lakon “Kasir Kita” menuturkan lelaki yang telah kehilangan kekuatan. Ia mengenang istrinya yang telah pergi dan istrinya membawa kekuatannya bersamanya. Ia berharap dengan cemas sang istri kembali. Lakon ini menegaskan keseimbangan maskulin dan feminin adalah kekuatan dan ketidakberdayaan maskulin ketika feminin absen. Pengekangan maskulin terhadap feminin ibarat pasir yang digenggam erat, ia akan menghilang dalam hitungan waktu. Kehadiran feminin sebagai kekuatan dapat terlihat dalam lakon Sopir Kita. Pemeran Sopir Kita, Ince Muhammad Alwan, menunjukkan emosi yang lebih intens ketika menggambarkan kehadiran istrinya sebagai tawanan. Ia dengan segala kekuatannya berusaha melakukan perlawanan terhadap kekuatan dominan meskipun ia hanya seorang sopir.
Kekuatan feminin semakin nyata ketika Haris Dogol melakonkan Kwee Tek Hoay, Sang Pendekar Pena. Meski pemerannya adalah lelaki, apa yang dinarasikan sebenarnya oleh Haris adalah energi feminin yang berperan dalam hidupnya sehingga ia mampu mempunyai kekuasaan ruang publik. Kwee Tek Hoay mempunyai seorang ibu yang selalu bangga ketika ia menulis.
Kemudian, ia merayakan kehidupan ketika ayahnya menyuruhnya kawin dengan seorang perempuan. Sebagai orang yang hanya berpikir untuk mencerdaskan bangsanya, kehidupan perkawinan tak pernah ia bayangkan. Namun ketika seorang perempuan memasuki kehidupannya ia sungguh takjub. Kwee Tek Hoay bagai seorang penyihir. Ia mampu mengubah ide-idenya menjadi kenyataan. Semua itu karena istrinya. Energi feminin adalah energi penciptaan. Energi ini berada dalam rahim perempuan yang diyakini merupakan representasi dari sifat Tuhan yang maha kasih.
Ia adalah cinta yang merupakan sumber kedamaian dan cinta kasih yang diberikan Tuhan. Kedamaian dan cinta kasih merupakan syarat wajib fokus yang merupakan mata air dari kekuatan penciptaan. Dialah yang mengandung ide-ide Hoay sehingga ia bisa terlahir dalam berbagai bentuk simbol keberhasilan. Ia bahkan mengandung Hoay dan melahirkannya sebagai tokoh yang mengubah dunia. Namun setelah energi itu kembali ke pemilikNya. Kwee tek Hoay juga memudar. Ia hidup pada kenangan dan ia pun pergi menyusul kekuatannya itu.
Ingatan dan Kesadaran
Festival Kala Monolog tahun ini menjadi pengingat bahwa manusialah yang memberi label pada ruang dan waktu sebagai masa lalu atau masa sekarang dan masa depan. Pada kenyataannya, waktu tak pernah berlalu dan selalu ada saat ini untuk dikunjungi melalui ingatan. Waktu yang hadir dalam ingatan dapat mempengaruhi ruang dalam tubuh manusia dan terekspresikan melalui penanda.
Dalam dunia mindfulness, mengingat masa lalu bukan berarti menyadari masa lalu, karena ingatan adalah pikiran yang mampu mempengaruhi kesadaran manusia, tetapi bukan kesadaran. Bagi para praktisi mindfulness, ingatan harus didampingi oleh kesadaran. Ketika ingatan memberi label pada masa lalu sebagai kesedihan, ketakutan, atau kenangan indah, label yang diberikan pikiran dapat mempengaruhi perasaan dan jiwa manusia. Mindfulness mengawasi pikiran karena pikiran bukanlah diri manusia yang sejati. Pikiran hanyalah teman sekamar yang tak pernah berhenti berbicara, dan dia akan terus menerus berbicara, melompat dari waktu ke waktu. Praktisi mindfulness melatih untuk menyadari dan mengenalinya.
Dalam teori sastra, ingatan menempati salah satu struktur yang mempengaruhi pikiran dan perasaan pembaca. Pembaca digiring ke masa lalu (nostalgia) atau ke masa depan (paranoia) untuk melarikan diri dari masa sekarang yang penuh konflik. Struktur ini membentuk karya-karya romantisisme, karya yang menjadi penggerak modernisasi. Manusia modern dibentuk untuk berkonflik dengan masa kini, cemas dengan masa depan dan melarikan diri ke masa lalu. Jiwa modern menjadi sangat rapuh dalam menghadap berbagai macam konflik, ia menjadi trauma yang terwariskan melalui penceritaan meskipun generasi selanjutnya tidak mengalaminya. Trauma tak selesai pada orang yang mengalami saja.
Hari ini, manusia telah jauh berjalan melampui era modern. Oleh karena itu, mengunjungi masa lalu kali ini seharusnya dipandu kesadaran bahwa realitas sekarang telah dibangun atas dasar modernisme di masa lalu yang traumatik. Mengunjugi masa lalu dengan kesadaran bukan untuk mengutuki dengan sumpah serapah akan tetapi untuk memeluk dan menerima masa itu apa adanya, untuk mengerti apa yang terjadi dan membuka ruang pemahaman sebagai terapi pembebasan dan pelepasan emosi yang melekat melalui penanda budaya.
Para lelaki yang telah terlibat perang dan para perempuan yang menjadi rumah tumpahan kepedihan trauma peperangan memerlukan kunjungan untuk kita peluk hari untuk menerimanya sebagai kenyataan apa adanya. Hanya dengan penerimaanlah, emosi masa lalu dapat melepaskan dirinya dengan bebas. Kembali memeluk masa lalu, menerimanya dan memaafkannya akan membuka lembaran bagi kita semua.
Ia akan membuka peluang kembalinya pesona dunia yang telah lama hilang. Sebagaimana hari lebaran, kita berziarah pada yang telah mati, kita memberi pelukan pada mereka yang masih hidup dan kita berharap lembaran baru kehidupan terbuka lebar. Karya senilah yang mengayomi penemuan-penemuan kemanusiaan dan menyeimbang kehidupan. Seni yang merayakan kehidupan bukan mengutuki kehidupan. [T]