SELAYAKNYA pemuda berusia 27++ lainnya di sekitarku, aku hanya menjalani hari dengan penuh hal-hal biasa saja. Kerja kantoran dari pagi hingga sore, lanjut mengambil kerja sampingan hingga malam lalu membantu orang tua menyiapkan bahan dagangan untuk esok hari. Akhir pekan, terkadang waktu luang ku habiskan hanya dikamar saja sembari menonton Netflix di gawai atau sekadar jalan jalan bareng dengan kekasih berkeliling kota saja.
Beberapa orang mungkin menganggap kalau hidup seperti ini membosankan. Tak ada hal beda di tiap harinya, hanya aktifitas monoton yang direpetisi terus menerus.
Dahulu, aku seorang aktivis kampus yang senantiasa bersuara mengenai akan kemana dibawa arah bangsa ini. Kala itu, waktu demi waktu aku berkicau di media sosial bahkan tak jarang mendapat ancaman dari berbagai kalangan. Sungguh hari hari yang penuh warna rasanya. Namun, mungkin beginilah jalan hidup membawa pilihan pilihan barunya kedalam hidup seseorang. Hidup memanglah sebuah pilihan dan pada akhirnya jalan hidup yang biasa biasa saja adalah apa yang aku pilih.
Menjadi biasa saja agar tak ada yang mengkritisi bila sudah beropini, menjadi biasa saja agar keluarga jauh dari kata ancaman, menjadi biasa saja agar tak ada beban berlebihan dikepala. Menjalani hidup yang biasa saja sesungguhnya mudah dilakukan. Namun tetap saja, ini tak semudah apa yang dilihat.
Pasca insiden yang menimpa keluarga kami 3 (tiga) tahun lalu, kami secara perlahan memulai membangun ekonomi keluarga dari 0 (nol) lagi. Oleh karena membangun dari 0 membutuhkan modal yang tak sedikit, akhirnya memiliki hutang pun tak bisa kami hindari. Meminjam uang dengan harapan mampu memutarnya hingga perekonomian keluarga kembali ke titik amannya.
Hahaha! Apa yang bisa kalian pikirkan dari seseorang yang memiliki hutang? Benar! Tak ada yang namanya pikiran tenang. Setiap bulan harus menyisihkan gaji untuk bisa membayarnya. Setiap hari harus menahan pengeluaran yang dirasa tak perlu. Inilah muasal hidup biasa-biasa saja ku dimulai.
Aku hanya berfokus pada bagaimana menjalani hidup dengan tenang atau mencoba tenang setiap hari. Setidaknya, bisa makan seadanya, bisa membeli bensin motor dan kuota internet saja sudah cukup bagiku. Aku mencoba bertahan dengan hidup yang biasa saja dan memperkecil celah celah masalah lain yang tak perlu masuk kedalam hidupku saat ini. Kedepannya, masih banyak tahapan hidup yang harus aku lalui. Pernikahan dan berkeluarga adalah salah duanya.
Aku, pria 27 tahun yang tak terlalu berani mengambil resiko diluar perhitunganku. Jikalau kalian tanya apa kegemaranku? Aku akan menjawabnya sekarang. Aku gemar menulis opini, aku gemar berpuisi, aku gemar membuat serta mengedit video dan akupun gemar ke toko buku sekadar mencari referensi untuk memperkaya ide-ideku saat menulis.
Kini, hal-hal yang kugemari sudah jarang aku lakukan. Ada banyak hal yang mengalihkan pikiranku sehingga aku tak bisa menjalankan kegemaranku sesuka dan sepuas dahulu. Seperti apa yang orang lain sering ucapkan, menjadi dewasa memang tak pernah mudah. Mungkin kalian akan berpikir bahwa ini hanyalah pembenaran yang aku lakukan dan bersembunyi dibalik kata “nasib” yang sebenarnya adalah rasa malas. Mungkin kalian benar atau mungkin saja kalian keliru.
Aku mencoba menulis lagi. Tulisan ini adalah buktinya. Aku memang memilih untuk hidup biasa biasa saja. Hidup yang tenang tanpa ada gangguan dari pemikiran dan perkataan orang lain. Namun, aku juga tak akan bisa melepaskan tentang siapa aku dahulu, tentang siapa aku setidaknya 6 tahun kebelakang. Aku, seorang penulis buku.
Aku, seseorang yang punya idealismenya tentang karir dan kehidupan. Aku, seseorang yang selalu pantang menyerah dalam hal asmara. Aku, seseorang yang pernah hidup tidak biasa biasa saja. [T]