TREN wisata halal (halal tourism) kembali mencuat dalam industri pariwisata dunia, termasuk di Indonesia. Hal ini didorong dengan capaian Indonesia sebagai destinasi wisata halal terbaik di dunia tahun 2023.
Laporan Global Muslim Travel Index (GMTI) menempatkan Indonesia sebagai peringkat pertama destinasi wisata halal terbaik dunia, mengalahkan 140 negara lainnya. Keberhasilan itu atas dasar penilaian empat kategori, yaitu akses, komunikasi, lingkungan, dan pelayanan.
Respons terhadap tren wisata halal atau wisata ramah muslim (muslim friendly tourism) di Indonesia cukup beragam. Beberapa daerah menyambut baik tren ini, seperti Jakarta, Lombok, maupun Aceh, Sumatera Barat, dan Kepulauan Riau. Namun ada pula daerah yang masih pro dan kontra, seperti Bali, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
Ada juga daerah yang responsif dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang Wisata Ramah Muslim. Lantas apa dan untuk siapa wisata halal? Halal tourism atau wisata halal adalah sebuah model atau paket layanan tambahan atau extended services amenitas yang ditunjukkan dan diberikan untuk memenuhi pengalaman dan keinginan wisatawan muslim.
Menurut Alexander Reyaan, Direktur Wisata Minat Khusus Kemenparekraf, layanan tambahan meliputi need to have, seperti makanan halal dan fasilitas untuk salat, dan good to have, seperti toilet yang ramah bagi muslim (Kemenparekraf/Baparekraf RI, 1 Maret 2022). Wisata halal lebih memfokuskan pada layanan tambahan yang disediakan oleh pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif agar bisa sesuai dengan kategori halal.
Sebuah hotel yang menyediakan apa pun kebutuhan wisatawan muslim, maka hotel tersebut sudah menjalankan wisata halal. Sedangkan wisata ramah muslim artinya ketika destinasi wisata bisa menyediakan rute atau tempat-tempat yang membuat wisatawan muslim merasa aman dan nyaman, seperti saat beribadah atau makan selama berlibur
Halal Apanya?
Keberhasilan Indonesia sebagai destinasi wisata halal terbaik di dunia tak terlepas dari keunggulan 4 kriteria yang ditetapkan GMTI, yaitu access, communication, environment, services (ACES). Skor penilaian untuk keempat kategori itu Indonesia cukup tinggi.
Akses berkaitan dengan moda dan sistem transportasi yang memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi wisatawan muslim. Sejak berada di atas pesawat, kapal laut, bus, atau kereta api, wisatawan sudah diberikan akses yang ramah muslim. Misalnya saja, pemisahan tempat duduk untuk wisatawan pria dan wanita.
Komunikasi dalam wisata halal bukan hanya tentang ketersediaan jaringan komunikasi, namun juga berkaitan dengan promosi maupun publikasi destinasi wisata yang mengedepankan nilai-nilai kepatutan. Promosi tidak dilakukan dengan mempertontonkan tulisan maupun gambar yang mengandung unsur pornografi. Untuk kategori komunikasi ini Indonesia mendapat skor yang tinggi.
Kategori lingkungan berhubungan dengan kondisi yang islami bagi wisatawan ketika berada di bandara maupun di objek wisata. Misalnya saja, tersedianya tempat wudu dan mushola bagi wisatawan di bandara dan objek wisata. Begitu pun dengan jaminan keamanan bagi wisatawan muslim ketika berada di lingkungan destinasi wisata.
Skor tertinggi juga diperoleh Indonesia dari kategori pelayanan yang ramah wisatawan muslim. Pelayanan berkaitan dengan tersedianya hotel maupun restoran yang bersertifikasi halal. Mulai dari makanan dan minuman yang halal, sampai pada ketersediaan dapur restoran yang bersertifikasi halal.
Termasuk dalam kategori layanan ramah wisatawan muslim adalah atraksi wisata yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Wisatawan disuguhi daya tarik wisata, baik berupa wahana maupun pertunjukan seni budaya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Untuk Siapa?
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim, potensi wisata halal cukup menjanjikan. Beberapa negara yang saat ini menyumbangkan wisatawan muslim ke Indonesia adalah Malaysia dan Singapura. Tentunya juga negara-negara muslim di Timur Tengah.
Selain faktor demografis tersebut, Indonesia juga memiliki alam yang layak dikunjungi wisatawan muslim. Sumber daya manusia di sektor pariwisata Indonesia banyak yang sudah terlatih dalam mendukung wisata halal.
Sektor akomodasi maupun restoran juga memiliki potensi mendukung wisata halal. Beberapa hotel misalnya, sudah memberikan arah kiblat untuk salat di dalam kamar wisatawan. Begitu pula restoran yang menyajikan makanan halal juga cukup banyak.
Mengingat potensi yang dimilikinya, Indonesia perlu mengembangkan pasar wisata halal bukan hanya pada negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. China adalah negara non muslim yang memiliki 17 juta penduduk yang beragama Islam. Jumlah yang menarik jika ditawarkan wisata halal, mengingat Indonesia menjadi salah satu destinasi wisata pilihan bagi wisatawan China.
Tantangan
Memasarkan dan mempromosikan wisata halal tidaklah mudah. Banyak tantangan yang bakal dihadapi, baik berkaitan dengan kompetisi pasar wisata, sosialisasi wisata halal, maupun sensitivitas isu wisata halal yang memiliki kerentanan.
Wisata halal bukan hanya dikembangkan di Indonesia. Kompetitor destinasi wisata halal cukup banyak. Beberapa negara, termasuk negara-negara non muslim juga menyiapkan wisata halal. Sebut saja Jepang, Thailand, Australia, Korea Selatan, Spanyol, dan Filipina. Negara-negara tersebut siap menyambut wisatawan muslim dengan menyediakan masjid, mushola, dan restoran yang menyediakan menu halal.
Sosialisasi wisata halal perlu dilakukan di semua destinasi. Persoalannya, wisata halal masih dipersepsikan secara berbeda di masing-masing daerah. Seolah, pariwisata Indonesia harus semua menerapkan kategori halal di semua sektor.
Tantangan lain datang dari kesiapan destinasi yang mendukung wisata halal. Belum semua destinasi yang mendukung telah memiliki sertifikasi halal dalam produk wisatanya. Padahal ketika satu destinasi mendeklarasikan wisata halal, maka seluruh komponen harus tersertifikasi halal, seperti hotel, restoran, dan produk-produk kerajinan.
Wisata halal sangat rentan terhadap isu eksklusivitas. Indonesia akan mendapat citra sebagai destinasi yang muslim oriented. Sementara destinasi wisata di dunia menuntut adanya inklusivitas, dapat dinikmati oleh semua wisatawan tanpa embel-embel agama.
Isu ekslusivitas juga menimbulkan kerentanan dan isu yang sensitif bagi wisatawan non muslim. Wisatawan akan merasa tidak nyaman, misalnya ketika berada di dalam kamar hotel terdapat sajadah dan perlengkapan salat.
Wisata ramah muslim atau wisata halal memang sedang menjadi tren. Potensi ekonomisnya cukup menggiurkan. Namun kenyamanan wisatawan tetap harus menjadi pertimbangan. Sebab, prinsip pariwisata adalah bukan semata halal dan non halal, tetapi keadilan dalam berwisata. [T]
BACA artikel lain dari penulis CHUSMERU