SORE itu, Tan Lioe Ie tampak menjinjing gitarnya dari pintu masuk Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) menuju stage Taman Puisi, ia juga sempat menyapa beberapa kawan-kawannya saat melewati Rumah Kayu. Sesampainya di stage Taman Puisi, ia langsung menyiapkan segala piranti pertunjukannya.
Sayup-sayup suara musik slow blues mulai terdengar, saya pun segera menuju stage Taman Puisi, karena saya sudah berencana akan menyaksikan pertunjukan Tan Lioe hari itu. Saya sempat mengira show sudah dimulai, ternyata Tan Lioe baru melakukan sound check.
Kala itu, Tan Lioe tampil untuk kesekian kalinya di UWRF, ia sudah terlibat di festival itu sejak perhelatan pertama. Pertunjukannya di stage Taman Puisi petang itu bertajuk “What Fuels Your Anger?” atau sederhananya bertema tentang kemarahan. Acara tersebut diisi dengan gelar wicara, penampilan puisi-musik oleh Tan Lioe Ie, serta open mic dari beberapa kawan-kawan komunitas JKP (Jatijagat Kehidupan Puisi).
Tan Lioe Ie kerap disapa Yoki oleh kawan-kawannya, ia merupakan penyair Indonesia asal Bali yang lahir pada 1 Juni 1958. Wikipedia menulis, Tan Lioe Ie merupakan penyair pertama Indonesia yang melakukan eksplorasi atas ritual dan mitologi Tionghoa dalam puisi bahasa Indonesia. Walaupun bernuansa etnik kental, puisi-puisinya tetap mempunyai daya pikat bagi kalangan luas.
Pada mulanya, Tan Lioe Ie adalah seorang pemusik, namun kini ia lebih dikenal sebagai seorang penyair. Awal ia mulai menulis puisi adalah semenjak bertemu dengan sejumlah penyair di Sanggar Minum Kopi (SMK), saat itu ia berusia 31 tahun.
Kalau saya menjulukinya sebagai satria bergitar yang tidak bernyanyi, tetapi berpuisi. Musik dan puisi tampaknya tidak dapat dipisahkan dari dirinya. Sampai saat ini ia dikenal sebagai penekun puisi-musik.
Tepat pukul 6 sore, acara yang dilaksanakan pada 26 Oktober 2024 di Taman Baca Ubud itu pun dimulai dengan sesi gelar wicara yang dipandu oleh Bagus Ari Saputra. Saat itu Bagus bertanya berbagai hal seputar kiprah Tan Lioe Ie di dunia seni puisi-musik, proses kreatif dalam berkarya, serta pandangan-pandangannya seputar seni puisi.
Tan Lioe Ie dan Bagus Ari Saputra saat sesi gelar wicara di UWRF 2024 | Foto: tatkala.co/Dede
Kala itu, Bagus juga membawa buku terbaru dari Tan Lioe, yaitu Ekphrasis, ia juga membacakan sepucuk puisi yang terdapat dalam buku tersebut. Tan Lioe Ie mengatakan, “Ekphrasis ini adalah karya puisi yang berbasiskan karya rupa atau karya seni lain. Dalam buku ini, karya rupanya juga disertakan.”
Setelah gelar wicara berlangsung sekian menit, Bagus menjeda sejenak sesi gelar wicara tersebut, ia kemudian mempersilakan Tan Lioe untuk tampil. Pada penampilan pertamanya, Tan Lioe menampilkan puisi-musik yang berjudul “Abad yang Luka”. Tan Lioe menyebutkan, puisi-musik “Abad yang Luka” ini semacam kritik terhadap antroposentrisme dan hipokrisi kaum agama, puisi-musik ini juga pernah memenangkan nominasi di Taraju Award.
Tan Lioe berpuisi sembari bermain gitar, ia memainkan gitar klasik dengan begitu lihai, senar-senar gitarnya dipetik dan digenjreng secara dinamis, kemudian disahuti dengan syair-syair tajamnya. Cara berpuisi yang ditunjukkan oleh Tan Lioe ternyata ampuh memikat berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga dewasa bisa menikmati puisi yang disajikan dalam bentuk puisi-musik tersebut.
Penonton mengabadikan Tan Lioe Ie saat tampil di UWRF 2024 | Foto: tatkala.co/Dede
Tan Lioe Ie saat menyajikan puisi-musik “Abad yang Luka” di UWRF 2024 | Foto: tatkala.co/Dede
Seusai Tan Lioe menampilkan puisi-musik “Abad yang Luka”, sesi gelar wicara pun dilanjutkan kembali. Kala itu hari mulai dirundung gelap, waktu sudah menunjukkan pukul 18.30 Wita. Semakin malam, pengunjung tampak semakin ramai menyaksikan show Tan Lioe di stage Taman Puisi.
Perbincangan dalam gelar wicara itu, menjadi semakin intim saat Tan Lioe menyatakan tidak sepakat dengan istilah musikalisasi puisi. Baginya, puisi itu sudah musikal, jadi tidak perlu dimusikalkan lagi.
“Saya tidak pernah menemukan satu rumusan yang mengatakan puisi itu tidak musikal. Puisi pada dasarnya sudah musikal, bahkan Newton yang ahli fisika mengatakan puisi itu adalah nada yang teratur. Jadi saya lebih setuju istilah puisi-musik atau musik-puisi, dua kata yang dihubungkan menjadi satu, mencerminkan sinergi, tidak yang satu subkoordinat yang lain. Kalau toh akan melakukan musikalisasi, itu adalah transformasi dari puisi berubah menjadi musik total,” jelasnya dengan nada jengkel.
Tan Lioe mampu mengemas show selama 1 jam itu menjadi acara yang mengesankan, tak hanya sekadar pertunjukkan puisi semata, tetapi juga membuka pikiran terhadap cara kita memandang puisi. Acara semakin seru saat kawan-kawan dari komunitas JKP turut menyajikan puisinya masing-masing. Tetapi sebelum mereka tampil, sesi gelar wicara ditutup terlebih dahulu dengan penampilan Tan Lioe Ie yang menyajikan puisi-musik berjudul “Exorcism”.
Tan Lioe Ie saat menyajikan puisi-musik “Exorcism” di UWRF 2024 | Foto: tatkala.co/Dede
“Ini agak sarkastik sebenarnya. Saya menyindir penguasa yang suka menindas orang lemah,” ujar Tan Lioe sebelum memulai penampilan pamungkasnya. Kemudian, musik slow blues yang saya dengar di awal ketika Tan Lioe sedang sound check, mulai diputarkan kembali. Kali ini ia tampil tanpa gitar, Tan Lioe hanya berpuisi, diiringi musik blues, dan disertai dengan berbagai gerakan-gerakan uniknya.
Barang kali, ini adalah kesempatan pertama saya bisa menyaksikan langsung Tan Lioe Ie tampil dengan gayanya yang berkarakter, caranya menyampaikan puisi berbeda dengan cara penyair-penyair lain yang cenderung konvensional.
Tan Lioe Ie mengajak semua audience untuk bergerak bersama saat show-nya berakhir | Foto: tatkala.co/Dede
Para pengunjung dari depan sampai belakang berjoget sembari mengikuti instruksi dari Tan Lioe Ie | Foto: tatkala.co/Dede
Setelah semua rangkaian pertunjukan berakhir, saya menghampiri Tan Lioe Ie dan sedikit berbincang-bincang. Saat itu, di depan stage Taman Puisi, tepatnya di Alang-Alang stage sedang berlangsung pemutaran film. Jadi, perbincangan kami diiringi musik dari film itu. Obrolan yang ringan jadi terkesan dramatis.
Sembari menggendong gitar di bahu kanannya, Tan Lioe Ie waktu itu bercerita tentang banyak hal. Mulai dari pengalamannya dalam berkarya, proses kreatif dalam berpuisi, pandangannya terhadap dunia, hingga berbagai teori konspirasi yang juga saya percayai. Ia juga memberikan saya satu trik sederhana dalam meramu puisi.
“Begini De, ada sebuah ungkapan dari Rilke (penyair Jerman), ‘ketika anda mengalami kesulitan bayangkan keluguan anda ketika kanak-kanak, tetapi tuliskan dengan anda masa kini’. Dengan menerapkan prinsip sederhana itu, karya kita akan menjadi sesuatu yang lain dan personal, sekaligus memberikan ciri dalam karya kita. Ingatlah masa-masa itu dan bahasakan dengan kekinian,” tandas Tan Lioe mengakhiri perbincangan. [T]
Reporter/Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole