- Catatan Harian 19 Agustus 2024
Penganut Hindu di Bali, Jawa, India, dan dimanapun secara bersama-sama memiliki kepercayaan bahwa Yama adalah Dewa Kematian. Baik secara tertulis dan lisan, Yama disebutkan sebagai Penguasa Kematian. Umumnya seseorang yang mengaku beragama Hindu, apakah mereka berlatar belakang etnis India atau Bali, pernah mendengar kisah perjalanan ke alam kematian yang akan disambut oleh Yama.
Yama juga dikenal dengan banyak nama lain, termasuk Kala (‘waktu’), Pashi (‘yang membawa jerat’) dan Dharmaraja (‘penguasa Dharma ‘).
Mari kita mendengarkan sebuah dialog Dewa Yama dan Yudhishthira.
Dalam cerita Yaksha Prashna , Dharmadeva (Yama) muncul sebagai ‘yaksha’ (roh alam) dalam bentuk burung bangau untuk menanyai dan menguji Yudhishthira perihal kebenaran.
Yaksha [Yama] bertanya, “Musuh apa yang tak terkalahkan? Apa yang merupakan penyakit yang tak tersembuhkan? Manusia macam apa yang mulia dan manusia macam apa yang hina”?
Yudhishthira menjawab, “Kemarahan adalah musuh yang tak terkalahkan. Ketamakan merupakan penyakit yang tak tersembuhkan. Mulialah orang yang menginginkan kesejahteraan semua makhluk, dan hinalah orang yang tidak memiliki belas kasihan”.
Selanjutnya kita dengarkan dialog Yama dan Nachiketa.
Dalam Katha Upanishad, Yama sebagai guru menurunkan ajaran bagi Nachiketa seorang anak pendeta yang secara mendalam mempelajari hakikat keberadaan, pengetahuan, Atman (yaitu jiwa, diri) dan moksha (pembebasan).
Yama berkata: “Aku tahu ilmu yang menuntun ke surga. Aku akan menjelaskannya kepadamu sehingga kamu akan memahaminya. Wahai Nachiketa, ingatlah bahwa ilmu ini adalah jalan menuju dunia tanpa akhir; penopang semua dunia; dan bersemayam dalam bentuk halus di dalam pikiran orang-orang bijak”. [Katha Upanishad, Bab 1, Bagian 1, Ayat
Begitulah, Yama tidak hanya menjadi Dewa atau Malaikat Kematian, tapi sesekali turun sebagai penguji, sesekali turun sebagai guru suci. Katha Upanishad memberikan jalan yang diajarkan oleh Dewa Yama.
Lontar-lontar Bali yang utama, seperti Bhuwana Kośa, Wrhaspatitattwa, Tattwajñā, Mahājñāna, Ganapatitattwa, dllnya menjabarkan jalan ajaran Yama dan Niyama (pengendalian diri dan pikiran yang dilandasi disiplin moral). Inilah pedoman atau arah berjalan, bertindak, berkata dan berpikir seiring jawaban Yudhishthira ketika menjawab pertanyaan Yama: Bagaimana meminimalkan kemarahan (yang adalah musuh yang tak terkalahkan). Bagaimana mengurangi ketamakan (yang adalah penyakit yang tak tersembuhkan). Bagaimana terus berusaha menjadikan diri tidak jauh dari pikiran mulia (menginginkan kesejahteraan semua makhluk), dan tidak menjadi manusia hina (orang yang tidak memiliki belas kasihan”).
Jalannya adalah PANCA NIYAMA, untuk melengkapi PANCA YAMA [telah diulas dalam MATI CARA HINDU (1)].
DEWA YAMA akan melihat sebaik apa kita menjalani NIYAMA: Aturan perilaku dalam menjalani hidup, tetapi disiplin ini berfokus pada bagaimana Anda memperlakukan diri sendiri. PANCA NIYAMA adalah:
“Saucha” — bahasa Sansekerta untuk “kemurnian”
“Santosha” — Bahasa Sansekerta untuk “kepuasan”
“Tapa” — Bahasa Sansekerta untuk “disiplin diri”
“Svadhyaya” — bahasa Sansekerta untuk “belajar mandiri”
“Ishvara pranidhana” — bahasa Sansekerta untuk “menyerah pada sumber-muasal yang lebih tinggi”
Saucha
Secara harfiah berarti “kemurnian”, saucha adalah prinsip sucian. Ini mengacu pada usaha sadar menjaga kesucian yang baik, juga menjauhi hal-hal yang tidak murni atau beracun dalam pikiran, perkataan, atau perbuatan. Mempraktikkan kesucian internal berarti menghindari keegoisan, gosip, dan topik-topik yang menyakitkan. Saucha juga menyiratkan pola makan dan minum yang moderat, tidak makan berlebih dan minum yang aneh-aneh, seimbang, dan sehat.
Santosa
Santosha secara harfiah berarti “kepuasan.” [rasa syukur mengenal cukup]. Ini adalah praktik menerima hidup apa adanya, menemukan kegembiraan dalam hidup kita sendiri, tidak menghayal-hayal kejauhan mendambakan kehidupan yang tidak kita miliki. Namun, Santosha tidak merujuk pada rasa puas diri. Menyerah tidak ingin mewujudkan cita-cita yang positif atau membiarkan diri kita dalam kemelaratan bukanlah praktik santosha. Sebaliknya, prinsip ini merujuk pada penerimaan terhadap momen saat ini — jika terasa sulit maka kita perbesar kesabaran agar tetap bisa sentosa pikiran sekalipun ujian cukup besar. Dengan mengusahakan ketenangan dan kedamaian dalam keadaan apa pun, kita perlahan belajar bahwa setiap tantangan adalah kesempatan untuk berkembang.
Tapa
Secara harfiah berarti “panas”, tapa merujuk pada pengendalian diri atas energi diri, yang energi diri kini kita “membakar” kotoran dalam pikiran, ucapan dan perbuatan kita. Ini memerlukan pengendalian diri dan usaha keras. Ketika hal-hal buruk dalam pikiran hilang, atau meredup, energi sejati Anda dapat muncul. Duduk menenangkan diri dan menunggu diri tenang, dan menunggu munculnya energi diri Anda muncul adalah usaha tapa. Ketika Anda terinspirasi, mulai bisa fokus, dan ”bersemangat” dalam melihat hidup, tapa Anda mulai bekerja membantu dalam hidup Anda.
Swadhyaya
Secara harfiah berarti “belajar mandiri”, svadhyaya membutuhkan perenungan dan refleksi diri saat kita menyelidiki hakikat diri kita sendiri. Dengan mengarahkan kesadaran kita ke dalam, kita perlahan akan mulai menyadari makna yang lebih dalam dari hidup kita, tujuan kehidupan kita, dan jalan spiritual kita. Jika Anda masih berpikir negatif tentang diri sendiri, Anda sedang melawan prinsip Swadhyaya. Berpikir positif bahwa hidup bukan sekedar dunia material dan ketubuhan, tapi hidup lebih dari sekedar penampakan luar, hidup jauh lebih mendalam, kita adalah ruh suci dan menyadari bahwa diri kita adalah bagian dari semesta yang penuh kasih adalah swadhyaya.
Īśvarapranidhāna
Niyama terakhir , Īśvarapranidhāna adalah praktik penyerahan diri kepada kekuatan yang lebih tinggi atau diri Anda yang lebih tinggi. Īśvarapranidhāna adalah pengakuan tulus dari hati yag paling dalam untukmenyerahkan diri meminta tuntunan dan bimbingan KEKUATAN SUCI ALAM SEMESTA yang akan membawa kedamaian dan pengertian ke dalamngakui adanya keberadaan kekuatan yang lebih besar di alam semesta. Tidak masalah apakah Anda menyebut kekuatan ini sebagai “Hyang Widhi”, “Brahman”, “Tuhan,” “Bhatara,” “Pencipta,” “Sumber Suci,” “roh tak terbatas,” “kekuatan hidup universal,” atau istilah lainnya. Īśvarapranidhāna adalah pengakuan tulus dari hati yag paling dalam untukmenyerahkan diri meminta tuntunan dan bimbingan KEKUATAN SUCI ALAM SEMESTA yang akan menuntun kita, mengasihi kita, dan akan menemukan kita memasuki pemahaman mendalam tentang diri kita. SEPENUH HATI MENYERAHKAN DIRI BAHWA KEKUATAN ALAM SEMESTA AKAN MENGANTAR KITA MENUJU KEDAMAIAN DIRI.
YAMA dan NIYAMA adalah peta jalan untuk kehidupan yang mengantar damai dalam hidup, dan modal untuk membukakan jalan surga ketika ketika berjumpa Bhatara Yama. Yama dan niyama merupakan asal kebajikan dan pengaturan pikiran akar tidak sesat dalam berpikir tentang diri sendiri. Yama dan Niyama adalah prinsip-prinsip yang mendatangkan kedamaian, kegembiraan, dan pengertian tentang hakikat diri kita kenapa ada di dunia ini.
Lontar-lontar Bali yang utama, seperti Bhuwana Kośa, Wrhaspatitattwa, Tattwajñā, Mahājñāna, Ganapatitattwa, dllnya menyebutkan bahwa hidup Anda akan berubah menjadi sangat positif dan berlimpah berkah batin ketika Anda menapaki jalan Panca Yama dan Panca Niyama.
Bisa disederhanakan petunjuk Dewa Yama seperti ini: “Jika engkau mulai menjalani yama dan niyama dengan baik dalam kehidupan sehari-hari, bersiaplah untuk perubahan-perubahan positif akan terjadi pada dirimu!”
Cara hidup berdasarkan YAMA dan NIYAMA adalah cara hidup ideal bagi penganut Hindu: Selama hidup dijamin hati dan pikiran damai, ketika memasuki kematian dijamin mendapat tuntunan Dewa Yama untuk memasuki gerbang surga dan alam-alam yang lebih tinggi. [T]
BACA artikel lain dari penulis SUGI LANUS
Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’
Catatan dari Pura Meduwekarang 2003: GEMPA BALI 1917, BOM BALI 2002
Perlindungan Pohon dalam Undang-Undang Bali Kuno – Renungan Pasca Bencana