DIA diterima di Jurusan Teknik Kimia ITS. Tentu saja ia senang, tapi bingung juga. Ketika hendak berangkat ke Surabaya untuk registrasi, orang tuanya tidak punya uang. Bahkan biaya untuk sewa bus pun tak ada.
Di hari keberangkatan, orang tuanya bahkan tak ada di rumah. Bapak-ibunya keluar rumah tanpa ia ketahui ke mana. Ia cari ke sana-sini, tanya ke tetangga dan ke tempat-tempat yang paling mungkin orang tuanya ditemukan.
Sebagai petani, tempat yang paling mungkin adalah sawah. Di situlah ibunya ditemukan. Sungguh bikin hati trenyuh. Ibunya ditemukan sedang munuh – mencari rontokan padi sisa panen di sawah milik tetangga.
“Ibu saya mengatakan, uang hasil penjualan dari mengumpulkan sisa panen padi itulah jadi bekal saya ke Surabaya,” kata dia.
Ia hampir menangis melihat upaya ibunya agar bisa mengumpulkan uang untuk membiayainya berangkat kuliah ke Surabaya. Betapa mustahil. Tapi, tunggu dulu. Jangan remehkan rontokan sisa panen.
Dari hasil itulah, dia lantas berangkat. Ia numpang truk bir dan tiba di Surabaya. Tiba di kota besar itu, sungguh dramatis, ia tak pegang petunjuk apa-apa untuk bisa sampai di kampus ITS. Sampai akhirnya sopir truk menyarankan ia naik becak ke wilayah Gubeng. “Di situ ada kampung Bali, mintalah petunjuk di situ,” kata si sopir.
***
Kisah itu nyata. Terjadi sekitar akhir tahun 1980-an. Dia – tokoh kita itu, adalah Ketut Rusnaya. Ia lahir di Desa Sudimara, Tabanan, dari keluarga petani. Setamat dari SMAN 1 Tabanan, tekadnya bulat untuk kuliah. Dan tekad itu ia perjuangkan dengan amat keras.
Kini, jangan kaget. Ketut Rusnaya adalah Direktur Produksi Petrokimia Gresik yang diangkat sejak 13 Januari 2016. Namun perjalanan dramatik saat keberangkatan ke Surabaya untuk pertamakalinya itu sangat membekas di hati bungsu dari empat bersaudara ini.
Saat kuliah, lelaki kelahiran Tabanan, 13 Juni 1967, itu bertekad bisa menyelesaikan kuliahnya secepat mungkin, karena tidak mau membebani orang tuanya “Ketika lulus kuliah tahun 1991, angan-angan saya sederhana saja. Bekerja, membangun rumah tangga, bisa membahagiakan keluarga dan kedua orang tua saya. Jika bisa mencapai posisi saat ini (sebagai Direktur Produksi Petrokimia Gresik), tentu saja sudah lebih dari apa yang pernah saya angankan,” ujarnya.
Saat menduduki posisi tinggi di perusahaan besar, ia tidak berubah. Dia masih tetap seperti dulu, bersahaja dan hangat pada siapa saja. Lelaki yang pernah menjadi juara melukis antarpelajar SMP di tingkat provinsi Bali ini, tidak pernah malu menceritakan masa mudanya yang hidup dalam keterbatasan.
Sebagai anak yang lahir dan tumbuh di keluarga petani, ia tidak pernah lupa dengan asal-usulnya. Apalagi dia terikat dengan aturan adat di tempat kelahirannya di Desa Sudimara. Di tengah kesibukannya, dia menyisakan waktu untuk mengikuti upacara keagamaan maupun adat.
“Jika ada upacara dan saya bisa mudik, saya sempatkan untuk ngayah (kerja bakti), ikut mebat (masak) juga. Spesialisasi saya adalah masak jukut ares, sayur dengan bahan dasar batang pisang. Banyak yang suka dengan jukut ares buatan saya, katanya sih enak,” ujarnya. Ketika masih bertugas di Pupuk Kaltim banyak kawan dan atasannya yang mengakui kelezatan jukut ares buatannya.
Petrokimia Gresik mempunyai banyak pabrik dengan berbagai produk, baik pupuk maupun non pupuk. Tentu saja, sebagai direktur produksi, masalah yang dihadapi Ketut Rusnaya sangat beragam, dan harus ada penyelesaiannya. Untuk itu, ayah dari Putu Krisnayudani dan Made Puspawedanti ini tidak malu bertanya pada bawahan.
“Saya tidak segan untuk belajar kepada siapa saja, dari mulai GM hingga ke tingkat yang paling bawah. Dengan menyerap pengetahuan dari mereka, saya lebih mudah dalam menyelesaikan permasalahan yang saya hadapi,” akunya.
Dengan berbagai tantangan dan permasalahan yang dihadapi, Ketut Rusnaya menjaga keseimbangan emosinya dengan berolahraga. Olah raga apa saja dia bisa, tapi yang paling disukai adalah sepak bola. “Saya suka bermain bola sejak kecil, bahkan pernah bercita-cita menjadi pemain bola. Olah raga ini kan tidak mahal ya, apalagi di lingkungan Petrokimia Gresik fasilitasnya banyak tersedia,” tuturnya.
Meskipun usianya sudah setengah abad, dia masih kuat bermain bola di lapangan lebar. Ketut mengungkapkan, sepak bola merupakan gambaran yang paling pas jika berbicara tentang team work. “Masing-masing pemain punya peran sendiri-sendiri. Ada yang menjadi penyerang, pembagi bola, bertahan, hingga penjaga gawang. Tapi masing-masing pemain tidak merasa paling berperan, ketika timnya sukses memasukkan bola ke gawang lawan,” ujarnya. (T/editor ole)