EUFORIA kemenangan Bali United (BU) atas tamunya PSM Makassar Minggu (23/07/2017) malam masih terasa hingga hari ini. Tim tamu berstatus mentereng klub papan atas dibungkam dengan skor 3-0 pada laga yang berlangsung di Stadion Kapten I Wayan Dipta Gianyar. Kemenangan itu sebagai pelecut semangat lagi menggapai posisi atas klasemen sementara Liga 1Indonesia 2017 pada putaran pertama.
Terbukti pada laga terakhir putaran pertama Liga I, BU mampu membungkam tuan rumah Persegres Gresik United dengan skor 3-1, Senin (31/07/2017). Tiga gol Serdadu Tridatumasing-masing dicetak Ahmad Faris menit ke-18 (gol bunuh diri), Fadil Sausu (‘84), dan Sylvano Comvalius (’88). Sedangkan gol hiburan tuan rumah Persegres GU diciptakan Arsyad Yusgiantoro (68’). Kemenangan laga kandang yang digelar di Stadion Surajaya Lamongan ini pun menempatkan anak asuh Widodo C Putro di posisi runner up paruh musim. Tepat di bawah Madura United dengan nilai yang sama 32 poin dari 17 laga. Hanya BU kalah secara head-to-head, sehingga MU mulus duduk di singgasana juara paruh musim.
Tetapi jauh lebih daripada itu adalah aksi yang dilakukan komunitas suporter pada laga BU kontra PSM Makassar lalu. Setelah pertandingan berakhir seluruh suporter di Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, berdiri dan bersama-sama menyanyikan satu chant atau lagu. “Rasa Bangga” judul lagu dinyanyikan waktu itu.
Pemandangan itu tidak hanya membuat merinding para pemain dan ofisial BU yang melingkar di tengah lapangan menghadap ke suporter pada saat ritual tersebut, namun seisi stadion dihinggapi perasaan yang sama, “merinding”.
Begini lirik lagu Rasa Bangga itu:
/Mari Bersama, kita berjuang/ /Tak akan ada kata menyerah/ /Berjuang sepenuh jiwa/ /Penuh percaya, kau kebanggaan/.
Lirik-lirik dalam lagu itu pun begitu menyengat hati. Satu misi mendukung Bali United mengobarkan rasa persatuan antarsuporter. Menupuk rasa kebersamaan dalam lingkaran di tribun penonton. Kekuatan lirik dan lagu itu seolah bukan sebuah ekspresi pribadi namun ekspresi gagasan sebagai suporter Bali United.
Momentum itu pun ramai diperbincangkan di media sosial. Sebagaian besar menyatakan salut dan momentum fenomenal ini. Harapan pun begitu banyak terhadap aksi bersatunya kelompok suporter Bali ini. Aksi bernyanyi bersama seperti ini terus ada pada pertandingan-pertandingan BU selanjutnya.
Harapannya, para suporter BU bersatu dan menunjukkan kekompakan di stadion. Mereka kelompok suporter bersuara lantang menggema di seluruh penjuru sudut seolah-olah mengembalikan taksu Stadion Dipta. Tak tampak lagi, kelompok-kelompok yang saling bersaing dalam subkultur di stadion.
Inilah saatnya suporter kembali bersatu. Sepertinya, nama-nama kelompok suporter Northsideboys12(NSB12), Brigaz Bali, Curva Sud Semeton Dewata, Semeton BULDOG, Semeton BUST Tabanan, Semeton Bangli, Semeton Hooligan, Semeton Badung Utara (BADUT), Semeton Kenwa Negaroa, Semeton Sukawati, Semeton Buser Klungkung, Semeton Padangbai, Semeton Bangli, Semeton Ubud, Semeton Serdadu Kotaatau Semeton Dewata Reborn, dan lain-lain sedang bersatu padu melebur bernyanyi bersama dalam langgam Semeton Dewata.
Deklarasi Sanur
Siang itu, Minggu28 Desember 2014 lalu sebuah momentum penting terjadi. Tepatnya di Warung Kayu Api, Sanur, Denpasar, terjadi pertemuan antarkelompok suporter yang ada di Bali. Perwakilan dari berbagai elemen suporter atau koordinator lapangan masing-masing wilayah Bali waktu itu urun rembug bareng. Tidak ada lagi suporter Persekaba Badung, Perseden Denpasar, Persegi Gianyar, dan Perst Tabanan, atau Persibu Buleleng, atau Persada Jembrana. Dalam pertemuan tersebut ada nama-nama dari perwakilan suporter sebagai jubir Dewa Sanur, manajemen Bali United Pusam, Pieter Tanuri kakak kandung CEO BU, Yabes Tanuri dan pelatih BU waktu itu coach Indra Sjafri.
Lalu puncaknya menyatukan persepsi membuat nama suporter Bali United (Pusam waktu itu).Ada yang mengusulkan nama di antaranya Laskar Dewata, Bala Dewata. Namun lantaran dua nama tersebut identik dengan nama organisasi masyarakat (ormas). Nama semeton juga waktu itu masih ada yang mengganjal karena akan teridentifikasi sebagai bagian Semeton Jokowi. Namun kuatnya makna Semeton dan dengan keyakinan tidak ada kaitan dengan Semeton Jokowi, nama satu kata “SEMETON” yang berarti “teman” akhirnya disepakati.
Lalu kata berikutnya, muncul kata Bali United, Bali, dan Dewata. Kalau digabung waktu itu, Semeton Bali United, atau Semeton Bali, atau Semeton Dewata. Musyawarah dan diskusi begitu cair sambil makan siang itu dan sepakat suporter Bali United adalah “Semeton Dewata”. Selain itu juga julukan tim Bali United dengan Serdadu Tridatu. Kesepakata ini ketok palu, dan akan ditindaklanjuti dengan pertemuan berikutnya di Stadion I Wayan Dipta Gianyar untuk menyusun organ.
Selesai makan siang kemudian foto bersama di depan warung itu. Merentangkan tangan dan saling berpegangan (kebetulan saya kebagian motret momentum itu) tampak begitu antusias dari wajah mereka. Bersatu membentuk satu jalinan Semeton Dewata.
Sepertinya kehadiran BU membuat semangat suporter Bali bangkit dan rindu menggelora untuk mendukung tim sepak bola Bali yang sudah lama vakum. Nah, di saat pamitan tiba-tiba ada yang berbisik dan terdengar begitu jelas di telinga saya. “Ah, ini mungkin tidak akan lama. Akan jalan-jalan sendiri.”
Wah,saya tidak percaya!
Jeg sajan! Perjalanan organ Semeton Dewata seolah penuh dengan rintangan. Setelah terbentuk struktur organisasi dengan Ketua Semeton Dewata, Ida Bagus Gaga Mahardika alias Gus Casper, permasalahan dan friksi membayangi. Kabar Semeton Dewata pecah dan bercerai berai mulai merebak menjelang pembukaan Turnamen Piala Presiden 2015. Tepat pada Minggu1 November 2015, kelompok suporter Brigaz dan Buldog keluar dari organ Semeton Dewata. Buldog dan Brigaz membuat barisan baru dengan memakai nama Buldog Brigaz Bersatu (BBB).
Perpecahan ini disulut dari berbagai permasalahan. Mulai isu penjualan baju atau jersey, perlakuan manajemen terhadap pengurus suporter, dan status-status di media sosial yang saling menyudutkan dan saling serang komentar. Pada saat Piala Presiden 2015 digelar pun tampak suporter Semeton Tribun Kelod BBB (STK BBB) menempati tribun selatan.
Lalu dalam beberapa pekan berikutnya tepatnya 17 November 2015, Semeton Dewata Buldog menegaskan tetap bergabung bersama Semeton Dewata. Mereka kembali bergabung bersama korlap-korlap lain Semeton Dewata di tribun timur Stadion Kapten Dipta Gianyar. Tidak ada genderangan bunyi penyemangat pemain. Sorak sorai dan koreografi khas suporter sepak bola. Ketika perpecahan itu terjadi tribun timur tampak kosong di beberapa laga. Bahkan pernah hanya tampak kelompok suporter Semeton Dewata Buldog dengan membawa bendara berada di pojok tribun timur. Lupa peristiwa itu?
Laga antara Bali United versus Pusamania Borneo FC pada lanjutan kompetisi Liga I pada 15 Mei 2017 lalu seolah menjadi titik balik Semeton Dewata. Dalam laga yang dimenangi Bali United dengan skor 3- 0 ini tampak ada koreo bertuliskan “UP” di tribun timur. Dalam laman blog semetondewatanewshol.wordpress.com tertulis kata “UP”disebut-sebut dipilih menjadi koreo karena berbagai pertimbangan dan memiliki banyak pengharapan. Satu di antaranya pengharapan terhadap bangkit kembalinya Bali United yang memberikan kepuasan tersendiri bagi Semeton Dewata.
Jauh sebelum itu, elemen suporter menggelar pertemuan di Stadion Dipta pada Rabu 3 Mei 2017. Meskipun tidak semua kelompok suporter datang, namun ada beberapa poin menjadi kesepakatan. Di antaranya rapat rutin suporter dan menyanyikan chant bersama di awal babak pertama yaitu chant “Padamu Bali” dan satu chant penyemangat tim. Lirik-lirik dan lagu telah menyatukan semaunya.
Puisi Mohammad Yamin
Sekarang saatnya euforia makna persatuan antar suporter kembali menggelora. Mari kita rujuk risalah sumpah pemuda yang diawali puisi “Tanah Air” dan “Tumpah Darahku” karya Mohammad Yamin. Sebuah gagasan persatuan di awal-awal gambaran negara Indonesia lahir.
Puisi Yamin tidak hanya bermakna secara struktural maupun pragmatik, namun benar-benar memberikan arti secara nyata. Semangat mempersatukan kelompok-kelompok membuatnya ia dikenal sebagai tokoh pemersatu. Penulis dekade 1920-an ini legawa dan membuang ego kedaerahan Tanah Air Sumatera diubah menjadi Tanah Air Indonesia. Pada tahun 1922 silam, puisi “Tanah Air” Yamin ditulis. Dalam puisi tersebut yang dimaksud Tanah Air adalah Minangkabau di Sumatera. Isinya pun masih banyak menyebut keagungan Sumatera.
Lalu tepatnya pada 28 Oktober 1928 karya Yamin muncul lagi dengan “Tumpah Darahku”. Dalam puisi ini sangat penting, karena Yamin dan beberapa pejuang kebangsaan lainnya memutuskan menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. “karena kita sedarah-sebangsa/tanah air di Indonesia.”
Dalam buku “Jalan Puisi” yang ditulis Maman S Mahayana (2016: KPS) secara detail menyebutkan Yamin dalam menulis puisi tidak sekadar sebagai alat mengekspresikan perasaan pribadi namun ekspresi sebagai warga bangsa. Dalam pemikiran Yamin dalam puisi, mula-mula mengangkat tema kedaerahan sebagai ekspresi kekagumanannya pada alam. Namun melihat alam tanah leluhur dikuasai penjajah maka pemikiran Yamin bergerak menuju tema kebangsaan.
Ia menempatkan alam kedaerahan (Minangkabau) dalam hubungannya dengan Tanah Air Indonesia. Nah, menelusuri puisi-puisi Yamin “Tumpah Darah” maka tampak gagasan pemikiran Yamin. Di antaranya Indonesia sebagai Tanah Air, Indonesia sebagai bangsa, dan Indonesia yang terdiri dari keanekaragamaan suku bangsa memerlukan sebuah bahasa untuk mempersatukannya.
Maka tidak berlebihan jika Yamin adalah tokoh konseptor utama penyusan teks Sumpah Pemuda yang mampu mempersatukan pemuda. Teks yang disusun dengan model tipografi pusi yang di sana ada permainan repetisi, metafora, dan kata-kata simbolik dengan keseluruhan membangun sebuah tema: Indonesia. Jadi kekuatan kata-kata dalam puisi dan lagu mampu menjadi alat pemersatu.
Nah,mumpung sekarang lagi tren islah suporter, maka tidak salah dengan membusungkan dada lalu berteriak “Kita adalah Semeton Dewata.” Dan karena Yamin piawai menerjemahkan karya penulis ternama di luar negeri, ia kemudian menuliskan “Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi” ketika ia menerjemahkan ungkapan William Shakespeare, “What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.” (T)