KEKERASAN yang dilakukan senior kepada junior di sekolah kedinasan sering terjadi. Tewasnya siswa Taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, Putu Satria Ananta Rustika (19 tahun) asal Desa Gunaksa, Klungkung, Bali karena dianiaya oleh seniornya hanya gara-gara mengenakan baju olahraga di dalam kelas. Ini merupakan bentuk arogansi senior kepada junior.
Arogansi ini bisa terjadi karena pembiaran kekerasan yang terjadi di STIP Jakarta. Tidak mungkin pimpinan sekolah tidak mengetahui bahwa tradisi kekerasan terpelihara di sekolah tersebut. Setelah ada kasus seperti ini Kementerian Perhubungan merancang perombakan kurikulum pendidikan di 33 sekolah kedinasan di bawah naungan Kementerian Perhubungan. Bertindak setelah ada korban tewas adalah sebuah kesia-siaan. Harapan orang tua korban telah diluluhlantakkan dengan kejadian ini.
Apakah sekolah kedinasan STIP Jakarta tidak bercermin dengan kejadian kejadian sebelumnya seperti kasus kematian Taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang (September 2021) dan Kematian taruna Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan (ATKP) Makassar, (Februari 2019)? Apakah untungnya melaksanakan pendidikan kedinasan dengan gaya “semi militer”. Niat menanamkan disiplin justru berbuntut kematian.
Sebutan taruna senior dan junior memunculkan kesan ketidaksetaraan. Senior menduduki posisi superordinat yang akan terus mengontrol junior yang dalam posisi subordinat. Nuansa pendidikan seperti ini akan menumbuhsuburkan kearogansian senior kepada junior. Senior selalu ingin dihormati. Senior mempunyai power lebih dibandingkan dengan junior. Nuansa pendidikan seperti ini akan memberi peluang terjadinya perundungan. Senior sebagai pelaku perundungan dan korbannya adalah junior. Sekolah kedinasan/ ketarunaan kurang tepat mengadopsi kedisiplinan militer
Ketarunaan merupakan sistem pendidikan yang dapat dijumpai di beberapa Perguruan Tinggi, SMA, dan SMK di Indonesia. Ketarunaan merupakan suatu sistem pendidikan yang menerapkan prinsip militer dengan tujuan membentuk karakter peserta didik, akan tetapi penerapan prinsip bukanlah prinsip murni militer.
Menurut Suryanto (2016) ketarunaan merupakan suatu sistem pendidikan yang menerapkan prinsip militer dengan tujuan membentuk karakter peserta didik, akan tetapi penerapan prinsip bukanlah prinsip murni militer. Berdasarkan pendapat tersebut, sekolah berbasis ketarunaan memiliki makna sebagai sistem pendidikan yang menerapkan prinsip-prinsip dasar militer. Prinsip yang diterapkan bukanlah militer murni akan tetapi dasar taruna (kegiatan pelatihan-pelatihan) yang digunakan dalam militer. Tujuannya adalah untuk menanamkan karakter, khususnya karakter kedisiplinan dan pembentukan kepribadian yang baik pada peserta didik. Pelaksanaannya mampu mencegah dan mengatasi penyimpangan pada kepribadian anak sehingga anak dapat berkembang dengan baik.
Saat ini pemerintah sedang menggalakkan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila, (P5) di sekolah-sekolah sebagai salah satu sarana pencapaian profil pelajar Pancasila, diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk “mengalami pengetahuan” sebagai proses penguatan karakter, sekaligus kesempatan untuk belajar dari lingkungan sekitarnya.
Dimensi profil pelajar Pancasila menunjukkan bahwa profil pelajar Pancasila tidak hanya fokus pada kemampuan kognitif, tetapi juga sikap dan perilaku sesuai jati diri sebagai bangsa Indonesia sekaligus warga dunia. (Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesi, 2022).
Disiplin tidak harus ditanamkan dengan gaya militer. P5 jika dijalankan dengan kontrol yang baik akan dapat mendisiplinkan siswa/taruna. Sudah saatnya sekolah ketarunaan mengubah paradigma kedisiplinan ala militer menjadi paradigma kedisiplinan berbasis P5. [T]
Baca artikel lain dari penulis SUAR ADNYANA