TEPAT di sudut gedung belajar Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan Singaraja, kini telah menjadi kantin utama. Kantin itu setiap hari biasanya hanya dikunjungi lima sampai tujuh mahasiswa saja. Tetapi Sabtu, (25/04/2024) sore itu, tiba-tiba kantin ramai oleh puluhan mahasiswa.
Matahari sudah menunjukkan warna jingganya, antusias mahasiswa begitu menggelora. Tak dapat dimungkiri, bangku-bangku kantin telah terisi penuh sejak pukul 16.30 WITA. Padahal, acara akan dimulai pukul 17.30 WITA.
Canda gurau mereka tak dapat tertahankan, lega dan leluasa dapat berjumpa dengan kawan-kawannya. Jejeran es teh di meja, menjadi teman yang manis bagi setiap mahasiswa yang hadir dalam acara tersebut.
Riuh suasana semakin pecah ketika Putu Ardiyasa, salah satu dosen STAHN Mpu Kuturan sekaligus moderator acara, membagikan 3 bungkus plastik putih yang berisikan berbagai macam gorengan.
Ardi sedang memandu acara | Foto: Pande
“Silakan bisa diambil, tapi ambil secukupnya, jangan lupa berbagi dengan yang lain,” ujar Ardi dengan tawa yang khas.
Tanpa pikir panjang, dengan sigap mahasiswa mengambil gorengan itu hingga habis terbagi, menyisakan plastik bungkusannya saja. “Ternyata kalian semua lapar. Dan yang bisa jawab pertanyaan di pemutaran film nanti, ambil nasi gorengnya di sana ya,” ujar Ardi dengan tertawa heran, sembari menunjuk warung nasi goreng di sebelah kirinya.
Ya benar, sore itu sedang berlangsung kegiatan pemutaran film yang digagas oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XV Bali-Nusra menggandeng dosen dan mahasiswa STAHN Mpu Kuturan Singaraja sebagai kolaborator.
“Kami berpikir pengetahuan dan pendidikan, salah satunya dimulai dari kampus. Kolaborasi dengan STAHN sebagai pintu pertama atau pembuka, membentuk mahasiswa untuk menjadi pemikir kebudayaan muda,” ujar I Gusti Agung Gede Artanegara, selaku Ketua Tim Kerja Publikasi BPK Wilayah XV dengan serius.
Event ini sudah menjadi agenda setiap tahun bagi BPK. Selain menyasar kampus, pemutaran film juga dilaksanakan di setiap sekolah bahkan pemutaran di balai banjar yang menyasar masyarakat desa.
“Di Bali, kegiatan ini sudah merata, bahkan di luar daerah seperti di Bima. Saat ini kami fokuskan di wilayah Buleleng. Dulu kami sasar satu wilayah satu kegiatan, jadinya kurang efektif, namun sekarang kita rubah, agar masif di satu tempat dulu,” ujar Arta dengan santai namun serius.
Acara tersebut diawali dengan diskusi mengenai dunia perfilman. I Putu Kusuma Wijaya, seorang sutradara film Jayaprana Layonsari itu menceritakan tentang kesadaran seseorang mengenai makna dari sebuah film, masih begitu rendah. “Tidak usah ada yang banyak bertanya, film di Singaraja saja contohnya, sudah sangat asing,” ucapnya dengan tegas.
Pria lulusan Amsterdam Hogeschool voor de Kunsten itu menyebutkan, kecintaannya tentang film dimulai ketika ia berpikir tentang kurangnya minat seseorang belajar tentang film. “Dulu, film itu tidak ada yang tahu, sampai kembali ke Indonesia pun, masih sedikit orang yang belajar dan tahu tentang film, padahal banyak pesan yang bisa kita diskusikan disana,” ujarnya dengan tegas.
Pria kelahiran Singaraja itu melontarkan pertanyaan kepada mahasiswa tentang pengetahuan mereka mengenai film, namun tidak ada satu pun mahasiswa yang bisa menjawab pertanyaan tersebut.
Suasana acara pemutaran dan diskusi budaya BPK XV | Foto: Pande
“Ini karena di lingkungan kalian tidak ada yang namanya film, bahkan bioskop terakhir di Singaraja itu sekitar tahun 1983 atau 1984, kalian bahkan belum lahir waktu itu,” ujarnya dengan lantang.
Diskusi kemudian dilanjutkan dengan acara pemutaran 3 film. Lampu perlahan mulai dimatikan, menyisakan cahaya temaram layar proyektor yang masih menyala, sontak saja mendadak suasana menjadi sunyi, fokus mata penonton hanya tertuju pada layar putih di depan mereka.
Tiga Film Kebudayaan
“Sutri: Kembali ke Timur” menjadi film pertama yang ditayangkan. Raut wajah penonton nampak serius ketika menyaksikan film ini. Film yang disutradarai oleh I Wayan Sumahardika itu bercerita tentang kisah seorang gadis di Desa Tenganan bernama Sutri yang tidak paham dengan aturan adat di desanya sendiri.
Sutri selalu dihantui oleh rasa malu, mengetahui keluarganya harus menanggung untuk membayar hukuman adat, lantaran karena ayah dan ibu Sutri kawin hamil tanpa rencana. Sutri bertemu dengan seorang laki-laki Tenganan, bernama Timur, yang selalu mengajarkannya tentang pentingnya tradisi di desa, namun di sisi lain ia bertemu dengan laki-laki asing dari luar desa. Sutri pun dihadapkan pada dua orang berbeda yang bertolak belakang yang membuatnya semakin keluh.
“Ibu, aku akan tetap di sini (di desa).” Seketika haru mahasiswa pecah mendengar sepenggal dialog terakhir dari film Sutri. Film ini mengajarkan bagaimana arti menghargai serta memegang teguh budaya dan adat istiadat yang telah dijaga oleh para leluhur. Sutri: Kembali ke Timur ditutup dengan gemuruh tepuk tangan dari penonton.
Pemutaran dilanjutkan dengan film Soma (Muasal) yang bercerita tentang menjaga aktivitas subak di Desa Jatiluwih dan film Genderang Wayang Wong yang bercerita tentang sebuah tugas yang harus dilaksanakan demi menjaga tanah kelahiran dari kehancuran.
Ketiga film tersebut memiliki keterkaitan pesan yang sama, meskipun dengan gaya penyampaian yang berbeda. “Ada pesan sama yang ingin disampaikan dari masing-masing karya. Pesannya itu tentang cara kita masing-masing menjaga dan melestarikan apa pun yang ada di tanah kelahiran kita sendiri,” komentar Candra, salah satu mahasiswa semester II, Prodi Pendidikan Seni dan Budaya Keagamaan Hindu, ketika ditanya pendapatnya tentang ketiga film tersebut.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Kurnia, salah satu mahasiswi yang hadir pada acara tersebut. “Ketiga film memiliki makna yang mendalam. Sama-sama mengajarkan kita untuk selalu ingat tanah kelahiran, baik budaya, tradisi ataupun segala aktivitas secara turun temurun yang sudah dilaksanakan,” terangnya sembari meminum es teh yang masih ia pegang.
Ardi juga begitu senang dengan diadakannya pemutaran film ini, karena bisa digunakan untuk ruang kreasi para mahasiswa. “Mahasiswa harus dipertemukan di ruang ketiga, seperti di luar kampus, maupun komunitas, tujuannya untuk menumbuhkan banyak jejaring sosial dan pengetahuan baru,” ujar pria yang sekaligus Kaprodi PSBKH itu.[T]
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
Reporter: Pande Putu Jana Wijnyana
Penulis: Pande Putu Jana Wijnyana
Editor: Jaswanto