SEBAGAI dosen pendidik klinis, terdapat banyak hal menarik yang saya temui saat mendampingi residen psikiatri–dokter umum yang sedang menempuh pendidikan untuk menjadi psikiater–yang melakukan konsultasi dan psikoterapi pada pasien. Residen seringkali mengalami masalah dalam menjalin komunikasi profesional–yang tidak disadari–dengan pasien yang memiliki ciri khas tertentu. Saya pun, sampai saat ini masih mengalaminya dan pernah lebih parah saat masih menjadi dokter umum dan residen. Jika diamati dengan seksama, kondisi ini tidak terbatas pada ranah psikiatri saja tetapi juga dialami oleh dokter di luar psikiatri. Semua dokter mengalaminya.
Misalkan saja–dari gestur yang ditampilkan–dokter yang sebenarnya sangat cerdas tiba-tiba merasa rendah diri saat menghadapi pasien lansia yang memiliki riwayat pendidikan atau jabatan yang tinggi; dokter yang biasanya tenang dan profesional tiba-tiba ikut merasa sedih berlebihan–simpati, dalam hal ini tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan bias saat proses terapi–yang mengganggu proses terapi saat bertemu dengan pasien laki-laki dewasa yang sedang berjuang keras untuk perekonomian keluarganya; atau dokter yang biasanya sabar menjadi marah dan berontak seperti anak kecil saat bertemu dengan pasien perempuan lansia yang menunjukkan gestur otoriter dan kaku.
Walaupun pertemuan antara dokter dan pasien berada dalam ranah profesional yang–sewajarnya–objektif, sisi subjektif dari pertemuan tersebut kadang tidak dapat dielakkan. Sisi subjektif ini melibatkan masa lalu yang membentuk keutuhan diri manusia dari masing-masing pihak.
Jika menjabarkan contoh kasus di atas, gestur rendah diri yang ditampilkan oleh dokter yang sedang berhadapan dengan pasien lansia yang memiliki pendidikan dan jabatan tinggi disebabkan oleh masa lalu dokter yang selalu dituntut untuk berprestasi sejak kecil oleh orang tua yang juga memiliki pendidikan dan jabatan tinggi. Tetapi, alih-alih membanggakan, dokter tersebut selalu merasa tidak mampu untuk memenuhi ekspektasi orang tua. Dari sini, kebiasaan merasa rendah diri mulai terjadi dan muncul kembali setiap kali bertemu dengan seseorang dan situasi yang merepresentasikan masa lalu tersebut.
Hal yang serupa juga terjadi pada dua kasus berikutnya. Pada kasus dokter yang terlalu hanyut akibat mendengar cerita pasien laki-laki dewasa yang menopang perekonomian keluarga, ternyata saat kecil dokter tersebut memiliki ayah yang berperan tunggal dalam menopang kehidupan keluarga yang sangat berat. Terlebih lagi, perekonomian yang dialami dokter saat kecil tersebut benar-benar menimbulkan kesedihan yang teramat dalam.
Pada kasus dokter yang cepat merasa marah dan berontak setiap kali bertemu dengan pasien perempuan lansia yang menunjukan gestur kaku dan otoriter, saat kecil dokter tersebut mengalami hal yang sama: selalu mencoba untuk berontak dengan cara marah-marah akibat didikte oleh ibunya yang sangat otoriter.
Dari beberapa contoh di atas, countertransference tampak sebagai hal negatif yang dapat mengganggu proses terapi. Oleh karena itu, serta-merta kita dapat setuju bahwa countertransference perlu dihindari. Tetapi, apakah demikian?
Kembali kepada konsep bahwa segala sesuatu memiliki sifat saat seseorang menyikapinya, begitu juga dengan countertransference. Countertransference sejatinya juga memiliki sifat positif dalam proses terapi. Countertransference dapat membuat dokter yang menangani pasien lebih mengerti dirinya sendiri dan akhirnya juga dapat sedikit “meraba”–sebatas empati–apa yang terjadi pada alam bawah sadar pasien.
Pada kasus rendah diri yang muncul saat bertemu dengan pasien lansia, dokter yang terbiasa menganalisis countertransference akan dapat merasakan bahwa pasien yang dihadapi adalah orang yang cerdas dan menuntut penjelasan detail yang logis mengenai penyakitnya. Hal tersebut dapat dimanfaatkan dokter untuk lebih bebas menggunakan bahasa kedokteran dalam menjelaskan alur penyakit dengan detail dan berbagai kemungkinan diagnosis serta terapi. Ini merupakan kelebihan yang dapat dimanfaatkan, mengingat dokter sering terhalang dalam menerjemahkan hal-hal rumit dalam dunia kedokteran ke dalam bahasa sehari-hari.
Saat countertransference disadari, maka pemahaman terhadap latar belakang pasien yang tersirat juga dapat muncul dan hal tersebut dapat menjadi gerbang informasi mengenai cara berdiplomasi dengan pasien. Lebih jauh lagi, kebijaksanaan akan respons dokter terhadap pasien dapat muncul agar hubungan terapi yang lebih baik dapat terjadi.
Apa lagi, countertransference bukanlah respons searah. Respons ini sejatinya adalah timbal balik antara pasien dan dokter. Dengan kata lain, pasien pun mengeluarkan respons serupa yang disebut dengan transference. Respons timbal balik ini sudah berpotensi sejak awal dan akan menguat seiring dengan respons dari masing-masing pihak. Penguatan tersebut dapat mengarah ke negatif atau positif.
Misalkan saja, pada kasus pertama, secara kebetulan pasien lansia yang memiliki riwayat jabatan dan pendidikan tinggi memang sudah memiliki potensi untuk tidak mudah percaya terhadap kemampuan orang lain. Seperti kepada orang lain, pasien tersebut juga menguji kemampuan dokter di depannya dengan objektif. Ketidakpercayaan pasien yang awalnya hanya akan disebabkan murni dari kompetensi dokter, menjadi bergeser dan tetap muncul akibat gestur rendah diri yang ditampilkan oleh dokter di depannya.
Cerita ini akan menjadi lebih menarik jika kita melanjutkan skenario dari alasan pasien lansia mencari dokter untuk mendapat pandangan profesional mengenai penyakitnya.
Ternyata, pasien lansia tersebut memiliki dua orang anak yang juga menjadi dokter. Saat mengeluhkan tentang penyakitnya di rumah, kedua anak pasien sudah menganalisis keluhan, membuat skema diagnosis, dan rencana terapi. Walaupun kompetensi sebagai dokter dari kedua anak pasien lansia tidak dapat diragukan lagi, pasien tersebut tetap tidak mempercayainya. Hal tersebut disebabkan pasien yang tetap memandang anaknya sebagai anak kecil yang selalu dapat diragukan kemampuannya.
Akibat keraguannya, pasien lansia bergegas ke rumah sakit dan bertemu dengan dokter yang bahkan lebih muda dari kedua anaknya. Tetapi, karena ia berada di rumah sakit dan berhadapan dengan dokter yang tidak dikenal secara personal, pasien tersebut lebih memercayai apapun perkataan dari dokter di hadapannya dari pada anaknya sendiri. Kepercayaan tersebut ternyata ditunjukan dari berbagai pertanyaan logis yang dikemukakan. Hal yang tidak dilakukan saat di rumah di mana pasien selalu menolak diagnosa dari kedua anaknya tanpa membuka ruang diskusi yang terbuka.
Kepercayaan yang terjadi di awal pertemuan pasien lansia dengan dokter di rumah sakit itu bukan tanpa alasan. Kondisi itu–transference–terjadi karena sejak kecil pasien lansia tersebut dididik oleh norma sosial yang menempatkan dokter pada posisi yang disegani. Dengan tidak disadari, didikan norma sosial ini masih berlangsung hingga saat ini. Contohnya, kata-kata dari orang tua kepada anaknya yang nakal dengan: ”Jangan nakal, nanti disuntik Pak Dokter!” Atau, sebutan “dokter” yang tetap disematkan saat seorang dokter sedang berada di pasar, di lingkungan rumah, atau di tempat-tempat lain yang sudah bukan lagi area profesionalnya.
Kepercayaan pasien lansia diperkuat dengan keberadaannya di rumah sakit. Ia seperti berada pada sebuah tempat asing yang ada di bawah kendali dokter di depannya. Pada titik ini, sebenarnya dokter semakin dapat meningkatkan kepercayaan diri dan komunikasi yang lebih baik terhadap pasien lansia. Langkah awal yang perlu dilakukan dokter adalah memahami countertransference yang terjadi kemudian memanfaatkan aspek psikologis dari pasien di depannya dengan meraba transference yang muncul dari sisi pasien. Tetapi, hal ini sering kali tidak dilakukan karena dokter tidak paham dari mana harus memulai sehingga berakhir dengan komunikasi terapetik yang buruk. [T]
- BACA ESAI-ESAIKRISNA AJI