JIKA berbicara tentang Pedawa, maka tidak sah kalau hanya menyebutkan bahwa Pedawa adalah salah satu desa tua (Bali Aga) di Bali bagian utara saja. Meskipun itu benar adanya, tapi Pedawa lebih dari itu.
Pedawa merupakan bentuk keseriusan Tuhan menciptakan keindahan. Sebab, dengan letak geografis di perbukitan, kontur daerah dengan kemiringan dan teraseringnya, menciptakan sebuah wajah desa yang elok dan memukau jika dilihat dari segala sisi.
Pedawa menjadi indah tidak hanya pada letak geografisnya saja. Melainkan, pada apa yang ada di Pedawa itu sendiri. Dari kebudayaan warisan leluhur, tradisi, dan semangat masyarakatnya dalam menciptakan kehidupan yang harmonis selaras dengan Tri Hita Karana, menjadi daya topang keindahan satu dengan keindahan lainnya.
Salah satu dari sekian banyak keindahan Desa Pedawa adalah, adanya Pondok Literasi Sabih. Pondok Literasi Sabih—selanjutnya ditulis PLS—merupakan sebuah komunitas pengembangan kegiatan literasi dan pelestarian budaya di Desa Pedawa. Sejak awal didirikannya pada Agustus 2018, PLS berupaya mengenalkan dunia literasi kepada anak-anak di Desa Pedawa
“Saya berpikir, bahwa ada spirit-spirit lingkungan yang harus dijelmakan melalui anak-anak,” ujar Wayan Sadyana, saat ditemui di sela-sela kesibukannya, Sabtu (6/1/2024) sore.
Sebagai pendiri Pondok Literasi Sabih, Sadyana menjelaskan bahwa, karena pendidikan lingkungan itu bersifat holistik, maka ia berupaya untuk menggarap di sektor edukasi lingkungan bagi anak-anak, dengan pembelajaran bahasa Inggris dan bahasa Jepang sebagai pintu awal anak-anak untuk mengenal tentang literasi lingkungan.
Dalam perkembangannya, PLS mendapatkan ide-ide baru bahwasanya, pondok literasi digunakan untuk menyiapkan anak-anak Pedawa yang berjiwa modern namun tidak lupa dengan akar budayanya.
Oleh karena itu, kemudian prinsip-prinsip pengetahuan budaya Pedawa juga digunakan sebagai bahan ajar untuk anak-anak, yang dilakukan melalui berbagai kegiatan. Misalnya revitalisasi sastra lisan, revitalisasi permainan anak tradisional, dan revitalisasi tembang-tembang rare.
“Salah satu hasil revitalisasi yang kami lakukan adalah bekerja sama dengan Balai Bahasa Provinsi Bali, yang dipentaskan pada tanggal 26 Mei 2022 di wantilan Desa Pedawa,” ujar Sadyana.
Rumah panggung Pondok Literasi Sabih / Foto: Bayu
Dengan merevitalisasi sastra lisan I Jaum, PLS berupaya mensosialisasikan program perlindungan bahasa daerah melalui medium sastra lisan atau cerita rakyat di Desa Pedawa agar kekayaan lokal khas Pedawa tidak punah dan tetap lestari sampai pada generasi-generasi selanjutnya.
“Kami tidak hanya menghasilkan kembali atau menuliskan ulang tentang sastra lisan I Jaum, kami juga melakukan alih wahana dengan pementasan drama Cingklik Uyung I Jaum,” tambahnya.
Upaya mengenalkan budaya kepada generasi muda yang dilakukan PLS, tidak hanya sebatas budaya lokal saja, melainkan juga mengenalkan budaya internasional kepada anak-anak Desa Pedawa, seperti penjelasan Sadyana, bahwa PLS juga bekerjasama dengan Osawa Yasuko, seorang pengajar origami di Jepang untuk memberikan pelatihan origami kepada anak-anak di Desa Pedawa.
Selain mengenalkan budaya internasional, PLS juga tetap teguh dengan tujuan awalnya, yakni pelestarian permainan anak tradisional. “Kami rutin melakukan revitalisasi permainan anak tradisional,” terangnya.
Sehingga, pada tahun lalu, PLS berhasil merevitalisasi tujuh permainan anak tradisional berbasis kemiri, dan beberapa tembang-tembang rare yang direvitalisasi dan diperkenalkan kembali kepada anak-anak.
Sebagai sebuah komunitas yang menerapkan pembelajaran informal, PLS beberapa kali terlibat dalam berbagai kegiatan literasi, seperti misalnya, kemah literasi, dan jaringan pendidikan alternatif, yang mana dalam kegiatan tersebut PLS berpartisipasi dalam acara memungut gagasan yang diadakan di Denpasar, tahun lalu.
Tak hanya itu, PLS juga berupaya mengembangkan projek pemanfaatan sampah-sampah plastik yang dijadikan kedalam berbagai kerajinan seni dan lukisan. Hal itu dilakukan guna menambah nilai kreatifitas anak-anak dan sebuah upaya bagi generasi muda lebih mencintai lingkungannya dengan memanfaatkan sampah-sampah plastik yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
Upaya Menautkan Dua Generasi
Sebagaimana penjelasan Sadyana, bahwasanya permasalahan terbesar di Pedawa adalah narasi-narasi leluhur yang tidak tersampaikan dengan baik kepada generasi berikutnya. Hal itu menyebabkan adanya suatu gep kebudayaan yang sangat besar, sehingga antara generasi perintis, generasi penerus dan generasi penikmat, tidak memiliki spirit yang sama karena adanya narasi yang terpenggal.
Atas keresahan-keresahan itulah, Sadyana mulai melirik perhatiannya kepada hal-hal yang berbau kedaerahan, serta mendirikan sebuah tempat belajar yang tujuannya untuk menyelamatkan generasi muda dari gap kebudayaan tersebut. Sehingga, ke depannya generasi muda dengan generasi tua memiliki roh dan spirit yang sama dalam kebudayaan Pedawa.
Dalam melaksanakan berbagai kegiatannya, PLS juga bekerjasama dengan Kayoman Pedawa—sebuah komunitas penggiat lingkungan dan konservasi sumber mata air di Pedawa—sehingga menciptakan sebuah kolaborasi pembelajaran yang menarik dan bermanfaat untuk generasi muda.
Dalam pelaksanaannya, PLS selain mengajarkan mata pelajaran yang dibutuhkan di sekolah seperti bahasa asing, PLS juga menjalankan program pemahaman lintas budaya. “Karena di rumah saya sering kedatangan teman-teman dari Jepang, baik itu profesor, peneliti maupun volunteer, maka saya memanfaatkan hal itu agar mereka mau untuk menularkan sesuatu yang bersifat literasi kepada anak-anak di Pedawa agar mendapat pengetahuan lintas negara,” jelasnya.
Sistem pembelajaran yang dilakukan oleh PLS untuk membangkitkan spirit literasi kepada generasi muda tidak dilakukan di dalam kelas atau lebih tepatnya tidak memiliki kelas khusus. Akan tetapi, mereka kerap mengajak peserta didiknya belajar langsung di alam.
“Kami bisa belajar di mana saja, kadang di rumah—maksudnya di Pondok Literasi Sabih—, di rumah pohon atau di sumber mata air atau di air terjun. Saya tidak menggantikan program maupun kurikulum sekolah. Tetapi, saya menggarap hal yang tidak digarap oleh sekolah,” terangnya.
Menurut Sadyana, pembelajaran seperti itu lebih efektif dikenalkan kepada anak-anak sebab mereka akan melihat secara langsung tentang lingkungan dan alam yang ada di Pedawa. Hasil dari sekolah alam tersebut, mereka berhasil membuat pupuk organik yang nantinya akan digunakan sebagai pupuk tanaman bagi masyarakat Desa Pedawa
Dengan adanya PLS, Kayoman dan beberapa komunitas lainnya di Pedawa, menjadikan masyarakat di Pedawa menjadi lebih percaya diri untuk menunjukkan kepedawaanya. Sebab, menurut Sadyana, di generasi 90-an, masyarakat menghindari atau menutup diri untuk menunjukkan bahwa mereka berasal dari Pedawa.
Hal itu terbukti karena adanya beberapa masyarakat Pedawa yang bertemu di luar Pedawa dan berbicara tidak menggunakan dialek Pedawa. Padahal, Pedawa memiliki bahasa dan dialeknya sendiri. “Seolah hal itu adalah sesuatu yang angker,” jelasnya.
Namun, untuk sekarang masyarakat sudah mulai percaya diri dan bangga dengan Pedawa itu sendiri. “Karena jika sebuah komunitas mampu mengkreasi kebudayaan, sesungguhnya bukan komunitas yang rendahan. Tetapi justru memiliki lokal jenius yang tinggi,” terangnya, sesaat setelah memberi jeda. “Sehingga, sekarang generasi muda Pedawa tidak malu dan menunjukkan kebanggaanya terhadap kebudayaan Pedawa di mana pun mereka berada,” imbuhnya.
Untuk ke depannya, Sadyana selaku pendiri serta tenaga pengajar di PLS, berharap bahwasanya sarjana-sarjana dari Pedawa agar kembali pulang ke desa untuk membagikan ilmunya kepada generasi muda. Sehingga, masyarakat Pedawa mampu mengembangkan potensi dan kekayaan Pedawa mampu terkoordinir dengan maksimal. Hal itu berguna untuk mencegah adanya gap kebudayaan yang berlangsung secara terus menerus.[T]
- BACA artikel lain tentangDESA PEDAWA di sini