NAMA Norman Kamaru sempat viral di jagat maya pada tahun 2011. Polisi asal Gorontalo itu terkenal di Tanah Air berkat joged India dan lipsing lagu Chaiyya Chaiyya yang diunggah ke Youtube. Berbagai tawaran manggung dan tampil di televisi pun berdatangan. Jadilah Norman Kamaru sosok selebriti Indonesia.
Menjadi terkenal di media dan industri hiburan membuat Norman Kamaru mengundurkan diri dari institusi kepolisian. Selanjutnya tentu saja ia berharap dapat mengubah nasib dan menjadi selebriti. Namun sayang, nasibnya tak seperti impiannya. Media tak lagi meliriknya untuk tetap bertahan di dunia hiburan. Dia pun kembali menjalani kehidupan seperti layaknya masyarakat biasa.
Masih sosok pria asal Gorontalo; adalah Fajar Sad Boy yang jadi perbincangan publik. Ketenarannya diperoleh dengan “menjajakan” raut wajah sedihnya di media sosial. Berperan sebagai sosok yang teraniaya karena cinta, Fajar Sad Boy juga viral di dunia maya. Imbasnya, ia menjadi langganan bintang tamu di berbagai stasiun televisi. Sama seperti Norman Kamaru, Fajar Sad Boy pun tak bertahan lama di media. Dia hilang bak ditelan bumi.
Fenomena Citayam Fashion Week juga menyedot perhatian khalayak. Ajang fashion show ala remaja yang sering nongkrong di dekat Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta Pusat itu menimbulkan kehebohan tersendiri di masyarakat. Fenomena itu telah melahirkan nama-nama selebriti dadakan, seperti Jeje ‘Slebew’, Bonge, dan Roy. Mereka melambung namanya setelah media meliputnya secara masif.
Kasus yang cukup anyar memunculkan nama Bima Yudho Saputro. Mahasiswa dan Tiktoker asal Lampung ini mengkritik infrastruktur di daerahnya melalui media sosial. Kritiknya dianggap tidak etis dan berlebihan, sehingga seorang pengacara melaporkannya ke polisi. Namun bukannya dijerat dengan hukum, kasus Bima Yudho Saputro justru mendapat dukungan netizen Tanah Air.
Bahkan Menkopolhukam, Mahfud Md memberikan tanggapan seolah mendukung kritik Bima itu. Tak hanya itu, Presiden Jokowi pun melakukan kunjungan kerja ke Lampung untuk mengecek infrastruktur di daerah itu. Bima Yudho Saputro menjadi dikenal di berbagai daerah. Gaya Tiktoker itu lantas ditiru oleh pegiat media sosial di daerah lain. Jadilah Bima representasi generasi Z yang kritis.
Ekonomi Media
Begitulah media. Mampu menjadikan orang sebagai apa pun dan siapa pun dalam waktu sekejap. Tak heran jika media, baik konvensional maupun modern; dijadikan ajang untuk menyalurkan pendapat, kritik, keresahan, dan panjat sosial.
Betul kiranya kata Marshall McLuhan (1964), The Medium is The Message. Sejak lama McLuhan memprediksi bahwa media bakal memiliki kekuatan luar biasa. Media mampu membentuk persepsi orang tentang pesan yang disampaikannya. Bahkan kekinian, pengaruh media dalam masyarakat lebih hebat ketimbang isi pesan yang disampaikannya. Orang lantas berburu media untuk menjadi apa pun dan siapa pun.
Meski demikian, di balik keperkasaan media tetap saja ada faktor ekonomi yang membesarkannya. Dan itu yang acapkali menjadi pertimbangan bagi media untuk menyaring pesan dan memilih orang-orang yang layak ditampilkan di media. Artinya, tak ada kekuatan yang jatuh dari langit untuk media. Selalu ada faktor ekonomi di belakangnya.
Paling tidak ada tiga hal yang secara ekonomis mendukung posisi media agar menjadi kuat. Pertama, sumber-sumber yang menopang media. Sumber yang selama ini diandalkan media adalah iklan. Sepanjang iklan masih banyak bertengger di media, maka nafas panjang media masih bisa diharapkan. Tidak hanya iklan, media (sosial) sangat membutuhkan dukungan yang bersumber dari viewer, subscriber, follower, dan like dari khalayaknya.
Sementara itu, di tengah keinginan media untuk merebut khalayaknya, kompetisi di antara media juga begitu ketat. Media penyiaran, media massa online, dan media sosial tumbuh bak jamur di musim hujan. Media dituntut memiliki kecepatan dan keakuratan dalam menyampaikan informasi agar ditonton dan dibaca khalayak sebanyak mungkin.
Satu sisi yang tak bisa dihindari media adalah orientasinya pada profit. Media tetap saja kapitalistik. Sepanjang orang-orang yang viral dadakan itu tak mampu lagi mendulang cuan, maka media akan meninggalkan. Sedangkan dengan setumpuk uang, orang dapat menyewa atau membeli ruang di media untuk menjadi apa pun dan siapa pun.
Kekuatan Media
Media memiliki kekuatan memproduksi identitas dan mengkonstruksi audience. Media turut serta membentuk identitas seseorang. Apakah seseorang akan berada di posisi terhormat ataukah teraniaya, peran media begitu besar. Media juga punya kekuatan membentuk identitas seseorang sebagai alim ataukah zalim.
Selain itu, media mampu mengkonstruksi khalayaknya. Pendukung satu kelompok musik atau klub olah raga dibesarkan oleh media. Maka dari itu, media juga turut andil dalam membentuk representasi identitas khalayak. Atribut maupun kostum para pendukung tokoh politik perlu sorotan kamera media, agar tokoh yang didukungnya dapat menjadi apa pun dan siapa pun.
Media sebagai bagian dari institusi pers membuat orang hidup dalam world of media dan media world. Media membawa dunia kepada kita dan mampu membentuk dunia. Namun lebih dari itu, pers dan dunia bisa saling menciptakan sesuatu. Itulah yang disebut Media Making ( Lawrence Grossberg, 1998).
Media making terjadi ketika pers mampu menciptakan realitas media, informasi kekinian, dan memori kolektif. Jika dikaitkan dengan situasi kekinian, bagaimana media making mewarnai Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 nanti, tentu menarik untuk dicermati. Kadangkala realitas politik di lapangan akan berbeda dengan realitas di media. Sehingga popularitas tokoh di media kerap menjadi tolok ukur keterpilihan.
Dalam media making, orang sesungguhnya hidup dalam dunia media; bukan media dunia. Mengapa? Karena media itu diciptakan; dan dalam waktu yang bersamaan media menciptakan sesuatu yang lain. Hakikat media menurut Groosberg adalah membuat sesuatu itu (making). Membuat uang. Membuat kehidupan sehari-hari. Membuat makna, identitas, realitas, perilaku, dan sejarah.
Terkait pemilu nanti, menarik untuk dikaji apakah media juga bisa menjadikan calon presiden (Capres) sebagai apa pun dan siapa pun. Akankah seorang Capres menjadi pejuang ataukah pecundang di mata khalayak. [T]
- BACA artikel lain dari penulis CHUSMERU