— Catatan Harian Sugi Lanus, 13 Agustus 2023
SEJARAH perkembangan bentuk aksara Bali — berdasarkan pengalaman saya semasa saya belajar secara formal di Jurusan Bahasa Bali, Universitas Udayana — hanya dijelaskan secara umum belaka.
Prof Semadi Astra adalah tokoh yang saya kagumi ketekunannya mengulik duduk perkara perkembangan aksara Bali yag dipakai dalam piagam raja-raja Bali kuno dari era tahun 1000an sampai tahun 1200san masehi atau abad 11 sampai abad 12. Namun setelah itu seakan terputus; bagaimana perkembangan aksara dari Bali kuno ke Bali setelah Majapahit menguasai Bali?
Muncul beberapa pertanyaan:
— Apa yang terjadi dengan perkembangan aksara setelah masuknya kekuasaan Majapahit? Bagaimana perkembangan atau perubahan rupa aksara Bali era itu?
— Apakah aksara Bali dalam piagam-piagam raja Bali kuno yang ditulis di atas lembar tembaga tetap dipakai di atas lontar era Majapahit? Ataukah aksara dan lontar-lontar Majapahit yang dipakai atau menjadi tren penulisan lontar selanjutnya?
— Apakah rupa aksara Bali kuno dalam prasasti sama dengan rupa aksara untuk penulisan lontar era itu? Apakah yang di piagam atau prasasti tegak lurus dan ketika itu lontar kursif atau bulat seperti lontar-lontar era Gelgel?
Karena pertanyaan ini mengemuka di dalam kepala saya, maka kemanapun saya diundang merawat atau memeriksa lontar-lontar selalu semangat dengan minat untuk melihat dan berjumpa dengan rupa aksara dalam lontar-lontar era kerajaan Gelgel — atau lontar-lontar dari abad 15 sampai abad 17.
.
.
Salah satu yang cukup menarik adalah lontar yang ditulis 315 tahun lalu ini. Jelas dituliskan dalam lontar ini bahwa lontar ditulis tahun Śaka 1630 atau 1708 Masehi.
Lontar bertahun ini Śaka 1630 adalah lontar Ślokantara. Koleksi Griya Batan Cempaka, Liligundi, Buleleng, milik Ida Pedanda Gede Ngenjung yang berpulang tahun 1955, kini disimpan oleh pewarisnya. Ida Pedanda Gede Ngenjung tercatat juga lontar-lontarnya disimpan di Gedong Kirtya. Mungkin disumbangkan atau diibahkan.
Dari lontar ini saya bisa membayangkan rupa aksara Bali tiga setengah abad (350 tahun).
Sebelum 350 tahun lampau bagaimana rupa aksara?
Untuk menjawab pertanyaan ini tentu saya harus terus rajin “membongkar-bongkar” koleksi tua di rumah-rumah penduduk di Bali.
Sebenarnya ada beberapa koleksi lain yang bertahun seputaran tahun lontar ini, seperti lontar-lontar Puja yang dikoleksi Rsi Bhujangga Pagan, Denpasar, yang kini dipegang oleh keluarga besar Guru Putu Suasta. Ada beberapa yang berusia 300 tahunan.
.
.
Koleksi keluarga lain adalah koleksi keluarga Rsi Bhujangga Banyuatis, Buleleng, yang konon leluhurnya bersama-sama dengan Mpu Wiraga Sandhi, putra dari Danghyang Nirartha, kesah/hijrah dari Gelgel.
Saya berhipotesis dari beberapa lontar di sana kemungkinan bisa menjadi contoh rupa aksara yang dipakai era akhir kerajaan Gelgel sebelum dipindahkan ke sekitar pusat kota Smarapura sekarang.
Koleksi lontar keluarga yang sangat luar biasa menarik adalah koleksi Rsi Bhujangga Banyuning (Bejuning), Buleleng, yang saya perkirakan sejaman dengan berdirinya kerajaan Buleleng, yaitu tahun 1660 Masehi. Koleksi keluarga Rsi Bhujangga Temukus, Buleleng, tidak kalah tuanya. Keluarga Rsi Bhujangga di Tabanan juga demikian.
Menjadi pertanyaan khusus: Ada apa dengan keluarga Rsi Bhujangga yang semuanya mengaku “kesah” (terpental secara politik dan hijrah) keluar dari pusat kerajaan Gelgel?
Ada informasi salah satu lontar menyebutkan bahwa keluarga Rsi Bhujangga terlibat dengan “pemberontakan” pada pusat kekuasaan. Selanjutnya mereka dieleminasi dari pusat kekuasaan dan dibuatkan “kisah penjatuhan” bahwa keluarga ini tidak lagi brahmana lingkar kerajaan (?).
Untuk pencarian bentuk asara era kerajaan Gelgel, informasi tentang keluarga Rsi Bhujangga terus saya telusuri karena semuanya memiliki sejarah lisan yang sama bahwa leluhur mereka dulunya berada di pusat pemerintahan dan disingkirkan.
.
.
Lontar-lontar tua sekitar era akhir Gelgel yang diwarisi keluarga ini mengkonfirmasi bahwa mereka memang dahulunya adalah para pandita di pusat kerajaan. Puja Bwat Sora dan Arga Patra, dan puja lainnya, yang dikoleksi keluarga Rsi Bhujangga ini tidak main-main, menunjukkan bahwa puja dan pengetahuannya adalah kelas purohita (pandita penasehat kerajaan).
Perjalanan saya menjawab dan membuat kronologi perkembangan aksara Bali belum selesai di sini. Sekalipun data lapangan dan foto-foto lontar-lontar tua yang saya miliki telah bisa dikatakan lebih dari mencukupi, catatan pendek ini bisa dikatakan hanyalah langkah permulaan, pemanasan belaka. [T]
- BACA artikel dan esai lain dari penulis SUGI LANUS