BERTITIK TOLAK dari sajak sepertinya kerap menjadi pilihan kreatif pelukis sekaligus penyair I Nyoman Wirata. Setelah tahun 2021 lalu menggelar pameran “Sketsa Sajak Blengbong” yang merespons sajak para penyair Pos Budaya, Selasa, 10 Agustus 2023 malam, di Dharna Negara Alaya Denpasar, Nyoman Wirata kembali menggelar pameran tunggal dengan menampilkan karya-karya lukisannya yang ditransformasi puisi. Kali ini dia merespons sajak-sajak Umbu Landu Paranggi. Hingga kini, seniman kelahiran Banjar Titih, Denpasar, Bali, 1953 itu tercatat sudah lima kali menggelar pameran tunggal dengan karya-karya transformasi dari sajak ke lukisan.
Pameran bertajuk “Citra Kata: Sajak-sajak Umbu Landu Paranggi” itu digelar serangkaian Festival Umbu Landu Paranggi (FULP) 2023 yang digelar Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), 6—20 Agustus 2023. Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, I Wayan “Kun” Adnyana membuka pameran yang sekaligus juga diisi dengan peluncuran buku Melodia Kumpulan Puisi 1959—2019 karya Umbu Landu Paranggi. Pameran untuk mengenang sekaligus merayakan hari lahir Umbu pada 10 Agustus itu direncanakan berlangsung hingga 20 Agustus 2023.
Foto-foto: Made Sujaya
Karena bertitik tolak dari sajak, di arena pameran, di samping lukisan-lukisan Nyoman Wirata juga disandingkan sajak-sajak Umbu yang menstimulasi lahirnya lukisan. Karena itu, sembari menikmati keindahan garis dan warna dalam lukisan Nyoman Wirata, pengunjung juga disilakan mencecap keindahan kata-kata dalam sajak-sajak Umbu.
Nyoman Wirata berpandangan dari kata imajinasi bermula. Kata, kata-kata dalam sajak, ditransformasi menjadi lukisan. Karena bermula dari sajak atau puisi, maka kembali ke “puisi” atau disebutnya sebagai “lukisan puitik”.
“Antara kata, kata-kata pada sajak (puisi) ada benang merahnya dengan lukisan,” kata Nyoman Wirata.
Bagi Nyoman Wirata, transformasi dari sajak ke lukisan sebagai sebuah transformasi. Menurut Nyoman Wirata, apa yang dilakukannya berbeda dengan representasi yang bisa mengarah kepada upaya mengilustrasi. Menurut Nyoman Wirata, transformasi sebagai proses kreatif merupakan sebuah perburuan pencapain nilai estetik. Sajak atau puisi adalah rimba raya perburuan.
Mengenai pilihan terhadap sajak-sajak Umbu, Nyoman Wirata menyatakan sajak-sajak Umbu kaya dengan kemungkina artistik yang bisa ditransformasi ke lukisan. Sajak-sajak Umbu, imbuh pensiunan guru seni dan budaya ini, mengandung unsur-unsur manusia dengan lingkungan tradisinya, irama, ruang, bentuk, dan warna yang membuatnya menarik sebagai medan perburuan estetik dalam proses kreatif melukis.
“Tapi, ini juga sebentuk rasa hormat secara pribadi terhadap eksistensi Umbu dalam dunia sastra di Bali,” ujar Nyoman Wirata.
Menurut penuturannya, penggarapan transformasi sajak-sajak Umbu ke dalam lukisan ini berlangsung selama setahun namun gagasan menggelar pameran ini telah muncul empat tahun lalu. Pameran ini menjadi semacam pemenuhan janji diri Nyoman Wirata bagi Umbu yang disebutnya sebagai “pengamen bisu”.
Foto-foto: Made Sujaya
Pameran menampilkan 30 lukisan yang ditransformasi dari 17 sajak Umbu. Nyoman Wirata mangakui tak selalu mudah mentransformasi sajak-sajak Umbu. Dia tak memungkiri menemukan juga kesulitan dalam mentransformasi sajak-sajak Umbu. Dia mengakui, dalam mentransformasi beberapa sajak Umbu, dia membutuhkan bantuan membaca sajak W.S. Rendra atau mendengarkan lagu tertentu. “Sajak ‘Denpasar Selatan, dari Sebuah Lorong’ terbilang sangat sulit saya transformasikan,” kata Nyoman Wirata.
Kendati begitu, Nyoman Wirata juga begitu lapang mentransformasi sajak “Ibunda Tercinta” dan “Jagung Bakar Pantai Sanur”. Dua sajak ini bisa melahirkan beberapa lukisan. “Elemen visualnya lebih mudah saya dapatkan,” kata Nyoman Wirata.
Wayan Jengki Sunarta yang menjadi penyusun buku Melodia: Kumpulan Puisi 1959—2019 karya Umbu Landu Paranggi menjelaskan
Rektor ISI Denpasar, Prof. I Wayan “Kun” Adnyana mengapresiasi upaya Nyoman Wirata merespons sajak-sajak Umbu dan peluncuran buku kumpulan puisi Umbu Landu Paranggi. Menurut Kun Adnyana, apa yang dijelajahi Wirata dalam karya-karya Umbu sudah terwujud dalam lukisan yang menarik. Dengan kata lain, aksara sudah menjelma menjadi rupa.
Foto-foto: Made Sujaya
Kun Adnyana menyebut Umbu telah menginstana dalam memori, mencandi dalam sanubari. Umbu mengajarkan prinsip, siapa pun yang hadir dalam perguruan sastra Umbu mesti jadi, namun tidak harus menggantikan yang lain. Kendati menjadikan mereka yang hadir, Umbu tak menagih apa yang telah diberikan. ‘’Umbu sangat istimewa. Tetapi tidak mau diistimewakan,’’ ujar Kun Adnyana.
Pembukaan pameran “Citra Kata: Sajak-sajak Umbu Landu Paranggi” juga dimeriahkan pembacaan puisi oleh April Artison, Mas Ruscitadewi dan Wini Artini. [T]